Baik Plt, Plh, maupun Pjs, hanya menggantikan pejabat definitif untuk sementara waktu, terutama saat pejabat definitif berhalangan sementara untuk menjalankan tugas rutinnya sehari-hari. Oleh karena itu, terhadap Plt, Plh, dan Pjs hanya dilaksanakan pengukuhan sebelum menjalankan fungsi dan kewenangannya.
Pelantikan dan pengukuhan, jelas merupakan 2 terminologi yang berbeda. Hal ini terutama berkaitan darimana dan bagaimana kekuasaan itu diperoleh. Jadi bisa diidentifikasi berbadasarkan peristiwa hukumnya masing-masing. Jika pelantikan itu basisnya “peralihan kekuasaan”, maka pengukuhan basisnya “fungsional”, yang konteksnya adalah kekuasaan yang dijalankan hanya untuk sementara waktu, terutama disaat pejabat definitif berhalangan sementara. Hal ini memberikan kejelasan jika hitungan masa jabatan atau perodesasi jabatan kepala daerah, semestinya dimulai sejak saat peralihan kekuasaan berlangsung.
Dalam hal ini ditandai dengan proses pelantikan melalui pengambilan sumpah jabatan, sebelum kekuasaannya dijalankan, lalu dilanjutkan dengan serah terima jabatan. Dan hitungan berdasarkan pelantikan ini, hanya mungkin dilakukan terhadap jabatan-jabatan yang mencakup kepala daerah dan wakil kepala daerah definif, serta penjabat kepala daerah.
Adapun jabatan yang hanya dikukuhkan, mencakup Plt, Plh, dan Pjs, tidak termasuk dalam periodesasi atau perhitungan masa jabatan.
Pelantikan sebagai awal hitungan masa jabatan sendiri, bukanlah hal yang baru.
Dalam PKPU sebelumnya, yakni Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur, Bupati Dan Wakil Bupati, Dan/Atau Walikota Dan Wakil Walikota (PKPU Nomor 9 Tahun 2020), pelantikan sudah dijadikan patokan dalam menghitung masa jabatan. Dalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 1 PKPU Nomor 9 Tahun 2020, disebutkan bahwa, “penghitungan 2 (dua) kali masa jabatan dihitung berdasarkan jumlah pelantikan dalam jabatan yang sama, yaitu masa jabatan pertama selama 5 (lima) tahun penuh dan masa jabatan kedua paling singkat selama 2 ½ (dua setengah) tahun, dan sebaliknya”. Hal ini kemudian diperkuat dalam Pasal 4 ayat (1) huruf o angka 4 PKPU Nomor 9 Tahun 2020, yang menyatakan eksplisit bahwa, “perhitungan 5 (lima) tahun masa jabatan atau 2 ½ (dua setengah) tahun masa jabatan sebagaimana dimaksud pada angka 1, dihitung sejak tanggal pelantikan sampai dengan akhir masa jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur, atau Bupati dan Wakil Bupati atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota yang bersangkutan”.
BACA JUGA:Jadwal Debat Kandidat Pilkada Balikpapan 2024, Disiarkan Langsung di TV Nasional
Perhitungan masa jabatan sejak saat pelantikan, juga disebutkan eksplisit dalam penjelasan Pasal 38 ayat (1) huruf o Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2005 Tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, Dan Pemberhentian Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah, yang menyebutkan bahwa, “Bahwa yang bersangkutan belum pernah menjabat dua kali masa jabatan di daerah yang sama atau daerah lain dan perhitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan”. Hal ini ditegaskan dalam ratio decidendi putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009, yang menegaskan bahwa, “……Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak”. Hal ini diperkuat kembali dalam ratio decidendi Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020 sebagai berikut, “……Penjelasan Pasal 38 PP 6/2005 menyatakan bahwa Penghitungan dua kali masa jabatan dihitung sejak saat pelantikan. Penjelasan ini tidak membedakan apakah seseorang secara penuh menjabat selama masa jabatan ataukah tidak”.
Berdasarkan hal tersebut, tafsir MK berkaitan dengan dimulainya masa jabatan kepala daerah, dihitung sejak saat pelantikan.
Kedudukan PKPU
Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) memang tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan, sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3).
Namun demikian, PKPU dikualifikasikan sebagai jenis peraturan perundang-undangan lainnya sebagaimana disebutkan dalam Pasal 8 ayat (1) UU P3, yang menyebutkan bahwa, “Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat”.
BACA JUGA:Dorong Partisipasi pada Pilkada 2024, Kesbangpol Kaltim Sosialisasi ke Gen Z
Frase “badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang” dalam ketentuan a quo, memberikan legitimasi dan kekuatan hukum terhadap PKPU sebagai salah satu jenis produk perundang-undangan.
Untuk mendapatkan daya ikat, maka peraturan perundang-undangan harus berdasarkan delegasi dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibuat berdasarkan kewenangan yang dimilikinya.
Hal ini berdasarkan ketentuan Pasal 8 ayat (2) UU P3 yang menyatakan bahwa, “Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan”.