SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM – Petani adalah pahlawan pangan. Tanpa mereka, kebutuhan pokok tidak mungkin tersedia. Mereka merupakan pilar utama dalam menjaga urusan perut.
Panasnya terik surya terutupi oleh anyaman dedaunan kering. Di luar suhunya mencapai 32 derajat Celsius menurut kalkulasi BMKG. Masuk ke dalam, di sela ruang berlorong, sejumlah benih jamur tiram sudah tertata. Dua, tiga, hingga empat rak menjorok sampai ke belakang. Rak-rak tadi berisi benih hingga tiga tingkat.
Sayangnya, waktu panen sudah lewat. Masa produktif jamur untuk tumbuh cuma kala mentari terbit dan terbenam. Made Susana, si pemilik kebun, kembali mengecek benih-benih tiramnya. Di dalam gubuk setinggi hampir dua meter itu. Di situ, seorang warga lokal berkaos biru duduk jongkok. Tangannya nampak gemulai mengoles cairan lem warna biru di benih yang sudah terusun. “Itu supaya tidak ada hama yang masuk ke dalam benih,” ucap Made, di Dusun Sidakarya Desa Kerta Buana, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kukar, 6 April 2024. Tempat yang juga menjadi Pusat Pelatihan Pertanian dan Perdesaan Swadaya (P4S) Pemuda Tani Keren.
Olesan lem itu tidak akan berpengaruh dengan perkembangan benih, sebab akan luntur dengan sendirinya. Made pun menunjukkan beberapa serangga kecil yang merekat di ujung benih yang sudah terbuka. Di lubang itu nantinya jamur tiram akan lahir. Sebab kalau ada hama, jamur akan rusak dan tidak layak konsumsi.
Di dalam gubuk suhunya tidak begitu menyengat. Padahal di luar, teriknya minta ampun, mencekam hingga ke ubun-ubun. Kuncinya adalah tetap menjaga kelembaban tanah dengan sistem pengairan modern. Contohnya saat di luar sebelum masuk gubuk, sebuah selang kecil dengan diameter kurang dari satu sentimeter digantung. Ujung selang itu diatur agar menyemprotkan air secara menyebar. Tujuannya untuk mengurangi panasnya tanah. Karena jika tanah terlalu panas, jamur tidak akan tumbuh.
Made lalu mengajak keluar, melihat proses pembibitan benih jamur tiram. Bahan dasarnya adalah serbuk kayu, bekatul dan biji-bijian. Semua dipadatkan dalam satu kantong plastik bening padat. Setelah itu benih-benih tadi dipanaskan di sebuah tungku raksasa sekitar 6 jam lebih, barulah disusun di dalam gubuk tadi.
“Sehari bisa panen sampai 50 kilogram. 25 kilogram pagi, 25 kilogram sore,” ujarnya kemudian duduk bersila di teras rumah.
Ia menunda pembicaraan. Seorang laki-laki datang mengendarai motor maticnya kemudian mengambil jamur tiram yang sudah terbungkus dalam dua plastik kuning besar. Jamur itu sudah ia pesan jauh-jauh hari. Seusai mengambil lelaki tadi berlalu. Bukan tanpa alasan jika bapak satu anak itu memilih holtikultura sebagai usaha pertanian. Untungnya lebih banyak. Selama enam tahun menjadi petani jamur, harga jualnya cenderung stabil. Made biasa menjual Rp 25 ribu untuk satu kilogram jamur tiram. Baru kemudian jamur-jamur tersebut dijual kembali oleh reseller dengan harga bervariasi.
Made Susana berdiri di depan bibir jamur tiram di pekarangannya.-Ari/Disway-
Menurut Made, bertanam holtikultura bisa membantu menyediakan pangan rumahan. Atau urban farming. Konsep ini pun selaras dengan keinganan dari Otorita Ibu Kota Nusantara (OIKN) yang ingin mengembangkan urban dan smart farming. Jamur tiram Kaltim ternyata menjadi daya tarik. Alasannya produksi tanaman holtikultura jenis ini terus merangkak naik sejak tiga tahun terakhir.
Melansir data Badan Pusat Statistik (BPS) Kaltim, pada 2021 produksi holtikultura khusus jamur tiram baru 548 kuintal. 2022 naik dua kali lipat menjadi 1.670 kuintal dan 2023 naik lagi menjadi 2.839 kuintal. Perkembangan jamur tiram Kaltim justru mengalahkan produksi pertanian sayuran yang lebih banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Semisal kangkung dan labu. Karena itulah Made, sang petani jamur tiram, sempat diundang pihak OIKN untuk diajak berdiskusi bagaimana caranya mengembangkan kedua sektor tadi.
“IKN inginnya urban dan smart farming. Yang bisa jadi daya tarik dan bisa dikolaborasikan, peluang itu pasti kami tangkap,” tutur laki-laki yang juga Ketua Duta Petani Milenial Kaltim tersebut.
56,5 kilometer dari kebun Made, menyeberangi Sungai Mahakam dan melalui jalur poros Samarinda-Balikpapan, Andri Darmawan duduk bersila di dalam rumah. Ia memerlihatkan tanaman sayuran di lahan kebun miliknya di samping rumah. Salah satunya gambas. Dan lagi-lagi belum rezeki. Gambasnya sedang tidak bagus untuk dipanen karena faktor cuaca yang sengatannya mencapai 32 derajat celsius.
Andri pun memerlihatkan proses pengairan kebun gambas yang bersumber dari sumur bor. Lahannya memiliki kemiringan sekitar 20 hingga 30 derajat. Tidak terlalu terjal. Air dari sumur bor tadi disedot menggunakan pompa, yang kemudian dipasang selang berwarna hijau lalu disalurkan ke satu tandon besar. Nah, air dari tandon tadi yang dipakai untuk pengairan. Dalam sehari ia bisa menggunakan hampir satu tandon air untuk mengairi kebun. Sumber airnya tidak menggunakan aliran PDAM.
“Pohon-pohon di sini masih banyak. Kalau ada pohon, berarti ada cukup air,” kata Andri di kediamannya di Desa Tani Bhakti, Kecamatan Loa Janan, Kukar, 19 April 2024. Gambas-gambas tadi biasa ia jual secara partai seharga Rp 12 ribu per kilogram, sebelum ada yang menjual ecer ke pasaran.