Samarinda, nomorsatukaltim.com - Seratusan mahasiswa berunjuk rasa di depan gerbang kampus Universitas Mulawarman, Jalan M. Yamin, Samarinda, Kamis (23/9). Mereka membentangkan spanduk, membakar ban dan menyerukan lima tuntutan yang secara garis besar menghendaki perwujudan reforma agrarian sejati di Kalimantan Timur.
Para mahasiswa berpendapat bahwa pertanian adalah ujung tombak menuju kemandirian pangan dan realitas kesejahteraan. Tetapi permasalahan pertanian hingga kini dinilai masih terus menjadi sorotan dan kegelisahan dengan segala permasalahannya.
"Aksi ini berangkat dari masalah-masalah pertanian di Kalimantan Timur yang tidak segera terselesaikan," ujar Hari Setyo, koordinator lapangan demonstrasi mahasiswa tersebut.
Unjuk rasa itu merupakan bagian dari rangkaian peringatan Hari Tani Nasional, setiap 24 September. Yang saban tahun digelar Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Pertanian Unmul bersama organisasi-organisasi mahasiswa lainnya. Dengan tuntutan yang sama.
Substansi utama dari reforma agraria yang disuarakan mahasiswa adalah pemenuhan kesejahteraan bagi petani secara maksimal.
Namun pada kenyataannya, kata dia, dari tahun-ketahun pula, mahasiswa belum melihat bahwa tuntutan tersebut telah benar-benar terwujud di Kalimantan Timur.
Ia menjelaskan, bahwa alasan utama para calon ilmuan di sektor pertanian itu selalu menyuarakan bahwa kesejahteraan petani di Kaltim masih belum sepenuhnya diberikan. Berdasarkan data statistik, sebut Hari, hasil pangan Kaltim hingga tahun 2020 belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan regional Kaltim sendiri.
"Kita bisa lihat produksi padi Kaltim pada tahun 2020 hanya sekitar 400.000 ton. Sementara total permintaan lebih dari 1 juta ton per tahun," bebernya.
Dengan begitu mereka menafsirkan bahwa Pemprov Kaltim belum mampu mengelola sektor pertanian secara progresif. Hingga mimpi swasembada pangan terasa seperti target yang mustahil untuk bisa dicapai.
Untuk mendorong terwujudnya kedaulatan di sektor pangan dan kesejahteraan petani itu, para mahasiswa menguraikan tuntutannya menjadi lima butir.
Yang pertama, mereka menginginkan pemerintah menghentikan segala bentuk kriminalisasi dan diskriminasi terhadap petani dan aktivis pro-demokrasi di Kaltim.
Hari Setyo menjabarkan contoh-contoh dari diskursus tersebut. Di antaranya ialah kisah aktivis pro demokrasi dan petani di Sangasanga yang sedang dan terus berjuang melawan ekspansi tambang di daerahnya. Musabab air limpasan dari lubang-lubang tambang dilaporkan telah mencemari lahan pertanian mereka.
Kemudian, lanjut dia, cerita bagaimana perjuangan masyarakat adat Dayak Modang Lay, yang sampai hari ini, dikatakan belum kunjung mendapat titik terang. Atas masalah dugaan penyerobotan lahan pertanian mereka oleh kehadiran perkebunan kelapa sawit dalam skala industri.
Lalu ada pergerakan masyarakat di Marangkayu, Kutai Kartanegara. Yang sebagian besar lahan pertaniannya terkikis oleh kehadiran industri yang tidak berkelanjutan. Yakni usaha pertambangan batu bara.
"Itu semua belum mendapat perhatian serius dari pemerintah, sebagaimana yang kita harapkan," sebut mahasiswa fakultas pertanian itu.