Komentari Tindakan Represif di Samarinda, Haris Azhar: Polisi Jadi Simbol Kekerasan

Senin 09-11-2020,17:28 WIB
Reporter : admin12_diskal
Editor : admin12_diskal

Samarinda, nomorsatukaltim.com - Selain Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), tindakan represif yang dilakukan aparat kepolisian saat membubarkan massa aksi di depan Kantor DPRD Kaltim, Samarinda, Kamis petang (5/11/2020), juga jadi perhatian aktivis hak asasi manusia (HAM).

Salah satunya, mantan koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar. Tindakan pemukulan yang dialami massa aksi, kata Haris, merupakan tindakan brutalitas aparat. Ada pelanggaran prosedur di dalamnya. "Brutalitas polisi sudah masif terjadi di mana-mana, demi mengamankan agenda omnibus law UU (Undang-Undang) Cipta Kerja. Termasuk yang terjadi di Samarinda. Brutalitas ini, kasat mata sebagai pelanggaran hukum dan HAM," katanya kepada media ini. Polisi, kata Haris, saat ini tengah membangun permusuhan dengan generasi masa depan, dengan tindakan represif yang dilakukan di lapangan. Sebutan brutalitas polisi, lanjut Haris, menguatkan pelanggaran prosedur penanganan massa aksi. "Polisi menjadi simbol kekerasan saat ini. Menuduh anak muda sebagai perusuh dan anarko," ucap aktivis HAM yang wajahnya melanglang buana di stasiun televisi nasional itu. Penyebab brutalitas aparat yang dialami massa aksi, menurut Haris, tak lepas dari surat telegram Kapolri. Tertanggal 2 Oktober. Dengan nomor: STR/645/X/PAM.3.2./2020. "Ini semua terorganisasi, karena ada surat telegram. Jadi memang ada perintah atasan," ungkapnya. Soal surat telegram itu, sama seperti yang dikatakan YLBHI. Surat itu menjadi salah satu penyebab terjadinya tindakan represif kepada massa aksi. Presiden, menurut YLBHI, juga harus bertanggung jawab terhadap tindakan represif yang dialami massa aksi, oleh aparat. Sebelumnya, pada Kamis petang, ratusan mahasiswa kembali menggelar aksi. Menolak UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Aksi berlangsung di depan Kantor DPRD Kaltim. Sekira pukul 17.00 Wita, massa dibubarkan paksa oleh aparat kepolisian yang mengamankan aksi tersebut. Beberapa massa aksi menerima tindakan represif. Ada juga yang diamankan ke Polresta Samarinda. Dua di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.

DIBANTAH POLISI

Terhadap tindakan represif kepada massa aksi itu, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Arif Budiman membantah, personelnya di lapangan melakukan hal brutal. "Yang mana? Coba liatkan ke saya. Enggak ada itu (kekerasan). Karena waktu itu kan masyarakat juga berperan. Di situ, masyarakat komplain bahwa jalannya dipakai untuk demo," katanya. Di sisi lain, lanjut perwira berpangkat melati tiga di pundaknya itu, ada dugaan pelanggaran yang dilakukan beberapa massa aksi. Sehingga pihaknya menetapkan dua massa aksi sebagai tersangka. Karena dugaan melakukan pelemparan batu kepada polisi dan dugaan membawa senjata tajam. "Tindak mungkin polisi cari kesalahan. Kami melanggar (prosedur) itu di mana. Mereka (massa aksi) ada izin enggak? Ya sudah saya masih ada kegiatan dulu," kata Arif ketika dihubungi melalui sambungan telepon. (sah/zul)
Tags :
Kategori :

Terkait