Riyahd, nomorsatukaltim.com - Ini akan menjadi tahun yang sulit bagi Arab Saudi. Khususnya bagi Mohammed bin Salman (MBS). Perang minyak dengan Rusia dan wabah virus corona telah mengganggu upayanya. Untuk menegakkan kekuasaannya. Sebagai penerus Raja Saudi.
Megaproyek bernilai miliaran dolar dan rencana menjadi tuan rumah G20 menunjukkan bahwa Kerajaan Saudi yang pernah terkunci itu, membuka pintunya bagi dunia.
Suasana sangat memabukkan. Sehingga MBS, putra mahkota Arab Saudi dan penguasa de facto, membuat prediksi optimis bahwa pada tahun ini “kita akan dapat hidup tanpa minyak,” ucapnya dilansir Los Angeles Times.
Sebaliknya, dia telah memasuki perang minyak penuh dengan Rusia. Di tengah wabah virus corona. Dan apa yang tampaknya menjadi pertempuran untuk penerus raja.
Terlepas dari skandal yang menghantui MBS (pembunuhan jurnalis Saudi Jamal Khashoggi; perang di Yaman; hak asasi manusia), ia terus beroperasi dengan dukungan yang tak tergoyahkan dari Presiden AS Donald Trump.
Namun sang pangeran kini menghadapi musuh baru. Menangkap bangsawan istana, mengirim tentara, dan meretas telepon Jeff Bezos, tidak akan menjadikan virus corona tunduk pada keinginan penguasa padang pasir itu.
Virus corona dan masalah lainnya meningkatkan pertaruhan. Bagi seorang pangeran. Yang strategi dan langkah-langkahnya telah mengasingkan banyak sekutu. Yang pernah memujinya sebagai seorang reformis.
Sejak ayahnya, Raja Salman, naik takhta pada 2015, sang pangeran telah memerintah semua komando negara, menyingkirkan anggota kerajaan lain, untuk mengambil kendali kebijakan domestik dan luar negeri Saudi serta pertahanannya.
Inti dari upayanya untuk berkuasa adalah Visi 2030. Sebuah rencana luas dan seringkali fantastis. Untuk mengubah kerajaan yang sangat konservatif itu. Menjadi Shangri-La modern. Tanpa bergantung pada minyak.
Namun, keresahan yang meningkat antara Organisasi untuk Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan Rusia atas tingkat output (Moskow telah menolak permintaan OPEC untuk mengurangi pasokan karena permintaan global untuk deflasi minyak), memicu tindakan balasan oleh Saudi.
Saudi (anggota OPEC) memerintahkan peningkatan produksi dari 12 juta barel per hari menjadi 13 juta—sebuah langkah yang menekan Moskow.
Taktik untuk menurunkan harga minyak, tutur David Ottaway, seorang pengamat Timur Tengah di Wilson Center, sesuai dengan karakter sang pangeran, MBS. “Tidak menciptakan krisis ini. Tetapi dia harus mencari tahu apa yang harus dilakukan. Dan dia mengambil pilihan paling berisiko,” ujarnya.
Pengumuman oleh eksportir minyak mentah terbesar dunia itu tidak melakukan apa pun untuk menenangkan pasar yang sudah dirusak oleh virus corona. Harga minyak jatuh lebih dari 6 persen, membangun kerugian yang telah memusnahkan lebih dari seperempat dari harga di hari-hari sebelumnya. Dengan penjualan minyak mentah Brent pada US$ 36,00 pada Kamis (12/3).
Itu adalah permainan pembuka dalam apa yang para analis gambarkan sebagai permainan “ayam-ayaman” antara Saudi dan sekutu Teluk melawan Rusia.
Tetapi dalam banyak hal, itu bisa melukai kerajaan juga: pemerintah Saudi perlu menjual minyak lebih dari 2 kali lipat harga US$ 36. Untuk mencapai titik impas.