Akademisi UGM: Wilayah Kaltim Cocok Dibangun PLTN
Ilustrasi pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN).--
Hanya saja, hal itu hanya bisa digunakan pada gempa dengan frekuensi tertentu. Jika gempa itu terjadi lebih besar, maka, PLTN itu otomatis padam. Maka, secara otomatis,
PLTN sebenarnya bisa mengamankan dirinya sendiri.
Sehingga, isu tentang gempa bumi kini bukan lagi hamabtan membangun PLTN. Asalkan lahan yang dipilih benar-benar tepat.
Untuk PLTN dengan kapasitas besar, memerlukan luas lahan yang besar juga. PLTN yang masuk dalam kategori besar, memiliki kapasitas produksi di atas 700 megawatt. Dibutuhkan radius minimal 5 kilometer hingga ke lokasi PLTN.
Karena dalam pengoperasiannya dibagi menjadi dua. Yakni operasi normal dan operasi kecelakaan. Operasi normal itu risiko yang diterima publik maupun lingkungan sangat kecil. Artinya tidak ada hal yang membahayakan.
“Karena bahaya utama PLTN yang dikhawatirkan adalah radiasi. Operasi normal radiasi ini sudah sangat terkendali. Bahkan selalu diawasi. Sehingga pada operasi normal, tidak ada radiasi yang membahayakan publik maupun lingkungan,” terangnya.
Sementara, operasi kecelakaan melepaskan radioaktif. Kondisi in memancarkan radiasi pengion. Radiasi ini merupakan bentuk energi tinggi yang memiliki kemampuan untuk melepaskan elektron dari atom dan molekul, proses yang disebut ionisasi.
“Radiasi pengion inilah yang bisa membahayakan sel-sel biologis. Dengan kata lain, bisa membahayakan lingkungan dan membahayakan manusia."
"Tetapi, berdasarkan pengalaman negara yang sudah memiliki PLTN, potensi terjadinya kecelakaan ini sangat rendah. Selama ini, kecelakaan ini baru terjadi dua kali selama kurang lebih 70 tahun,” ungkapnya.
Minimnya kecelakaan itu ditentukan oleh teknologi yang digunakan oleh PLTN itu. Bukan manusia. Sehingga, ia menilai sumber daya manusia (SDM) di Indonesia khususnya Kaltim, dinilai bisa untuk mengoperasikan PLTN ini.
Dalam pembangunan infrastruktur PLTN juga, hal yang harus memperhatikan pengolahan limbah radioaktifnya. Apakah limbahnya mau dikelola sendiri atau mau dilakukan repatriasi ke negara penjual. Kalau repatriasi, artinya kita tidak perlu mengelola limbahnya,” jelasnya.
PLTN itu memiliki dua macam reaktor. Reaktor besar dan kecil. Tentunya berpengaruh terhadap kapasitas PLTN itu sendiri. Reaktor kecil itu disebut dengan small modular reactor (SMR). Keunggulannya bisa diletakkan di atas atau di dalam permukaan tanah.
“Kalau di dalam permukaan tanah, kedalamannya bisa 50 meter. Tetapi, semakin dalam semakin bagus. Karena, tanah ini memiliki penahan radioaktif yang sangat bagus. Jadi, ketika terjadi kecelakaan, tidak langsung ke manusia,” ucapnya.
Selain itu, reaktornya juga bisa diletakkan di dalam air laut. Bisa mengapung –di dalam air tapi tidak sampai di dasar laut atau diletakkan di dasar laut. Konsep ini disebut dengan marine base. “Dalam tanah maupun dalam air, hambatannya sama,” katanya lagi.
Sayangnya, di Indonesia tidak ada regulasi yang pasti tentang PLTN. Di sisi lain, hingga saat ini tidak ada investor atau pengusaha yang mengajukan untuk membangun PLTN. “Jadi ini bisa menjadi penghambat. Bisa juga jadi pemercepat. Kalau ada yang mengusulkan, bisa jadi mempercepat pembangunan PLTN ini,” terangnya.
Di Indonesia juga sudah ada organisasi yang bernama: Nuclear Energy Program Implementation Organization (Nepio). Ini adalah organisasi pelaksana program energi nuklir di Indonesia untuk mempercepat persiapan dan pembangunan PLTN.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
