Koalisi Sipil Desak ESDM Patuhi UU KIP soal Tambang, Minta Terbuka Terhadap Data
Momentum Right to Know Day diperingati dengan desakan transparansi dokumen AMDAL, RKAB, dan PPM tambang batubara di Kutim.-Mayang/Disway Kaltim-
SAMARINDA, NOMORSATUKALTIM -Sengketa informasi publik antara aktivis lingkungan di Kutai Timur dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus berlanjut.
Polemik ini bermula dari permintaan dokumen. Yakni Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB), serta Rencana Induk Program Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (PPM) milik PT Kaltim Prima Coal (KPC), salah satu produsen batu bara terbesar di Indonesia.
Permohonan informasi tersebut diajukan sejak 2022, namun ditolak oleh Kementerian ESDM. Penolakan ini kemudian memicu sengketa yang dibawa ke Komisi Informasi Pusat (KIP).
Kemudian, Pada 29 April 2025, KIP memutuskan sengketa terkait dokumen RKAB dan Rencana Induk PPM melalui mekanisme mediasi, yang berujung pada dibukanya akses publik atas dokumen tersebut. Namun, kasus berbeda terjadi pada permohonan dokumen AMDAL.
KIP sebelumnya memenangkan warga melalui putusan pada 30 Juli 2025. Akan tetapi, Kementerian ESDM memilih melawan dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Timur.
Langkah ini memunculkan kritik dari masyarakat sipil, karena dianggap melemahkan implementasi Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP).
Koordinator Pokja 30, Buyung Marajo, menjelaskan bahwa langkah ESDM menggugat balik warga merupakan sinyal buruk yang dapat melemahkan demokrasi.
Ia menegaskan, bahwa dokumen seperti AMDAL, RKAB, dan PPM tidak boleh ditutup karena menyangkut keselamatan lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Untuk itu, Buyung juga menyampaikan sejumlah tuntutan, Pertama, ESDM patuh pada UU KIP dengan segera melaksanakan putusan KIP tanpa mencari celah hukum.
Kedua, Keterbukaan dokumen tambang sebagai hak publik terutama AMDAL, RKAB, dan PPM. Karena menyangkut keselamatan lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Ketiga, Pemerintah daerah dan pusat harus memperkuat mekanisme akses informasi dan menghentikan praktik transparansi semu yang hanya menguntungkan korporasi.
Keempat, Masyarakat sipil, akademisi, media, dan komunitas lokal diminta terus mengawal kasus ini sebagai preseden penting keterbukaan informasi di Indonesia.
"Right to Know Day tahun ini mengingatkan kita semua bahwa tanpa keterbukaan informasi, demokrasi kehilangan makna. Transparansi bukan sekadar jargon, melainkan pondasi agar pertambangan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tapi juga melindungi rakyat dan lingkungan," tegas Buyung.
Sebagai informasi, Peringatan International Day for Universal Access to Information atau Right to Know Day jatuh setiap 28 September menambah relevansi polemik ini.
Hari ini pertama kali diperingati pada 2002 di Sofia, Bulgaria, ketika organisasi masyarakat sipil dari berbagai negara menegaskan kembali hak warga atas informasi.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
