BPJS Kesehatan Naik, Masyarakat Samarinda Merasa Tersakiti

BPJS Kesehatan Naik, Masyarakat Samarinda Merasa Tersakiti

  Samarinda,DiswayKaltim.com - Masyarakat Kota Tepian angkat suara. Perihal naiknya tarif BPJS kesehatan. Mayoritas menolak kenaikan itu. Bahkan merasa dikerjai oleh pemerintah. Fiena Clarissa Chandra diantaranya. Mahasisiwi Hubungan Internasional Umul angkatan 2014. Tetapi dia tidak sepenuhnya menolak. Dara 24 tahun tersebut mengutarakan pemerintah berhak menaikkan biaya. Tapi harus disesuaikan dengan peningkatan pelayanan kepada masyarakat. "Kalau misalkan dinaikkan tapi pelayanan juga makin bagus sih yah tidak apa-apa," katanya. Birokrasi dalam pengurusan BPJS juga harus dipangkas biar lebih gampang. Karena dirinya pernah mengalami kesulitan saat ingin mengurus BPJS. "Disuruh pake JKN mobile terus tetap bolak balik kantor BPJS," keluhnya. Berbeda dengan Achmad Ali Akbar. Pria 22 tahun ini mengutarakan kenaikan bukanlah solusi. Terlebih bagi masyarkat ekonomi kelas menengah. "Kenaikan tanpa sebab, kasihan masyarakatnya. Apalagi masa-masa COVID-19 ini," terangnya. Tak lupa ia meminta untuk tidak ada perbedaan antara pengguna BPJS dengan yang tidak. Karena dari pengalamannya, pembayaran diluar BPJS selalu didahulukan. Reza Saifullah, mahasiswa asal Balikpapan juga mengaku keberatan dengan kenaikan tariff BPJS. Dirinya menyampaikan ia membayar iuran BPJS bersama kakaknya. Ia pun merasa tidak mampu membayar sesuai dengan tarif baru. "Kalau naik, terus pelayanannya juga naik, worth it aja," jelasnya. Ia mengaku membayar iuran dengan cara patungan bersama keempat saudaranya. Ia berharap tarif BPJS bisa turun. Reza pun merasa dikerjai. Atau terkena prank. Ia cuam berharap pemerintah bisa melihat adanya masyarakat yang bekerja dengan gaji harian untuk dibantu. "Tidak semuanya bekerja online berpenghasilan dari situ, jadi perlu diperhatikan lagi," pungkasnya. Fadil Hidayatul Fajri, tenaga honrer di Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kaltim malah lebih keras. Pemerintah tidak punya rasa peduli dan empati kepada masyarakat katanya. “Justru yang dibutuhkan masyarakat bantuan sosial, bukan kenaikan,” ketusnya. Menurut bujang 26 tahun ini, jika dibebankan pada masyarakat mampu mungkin tidak menjadi soal. “Tapi masyarakat di desa-desa yang belum terdaftar jadi PBI berat itu. Apalagi yang notabene-nya sehat, jarang menggunakan kartu itu tapi dia harus bayar per bulan kan tidak adil,” kesalnya. Akademisi Fahukum Unmul Herdiansyah Hamzah malah menyebutnya pembangkangan hukum. Karena telah mengabaikan putusan MA yang sebelumnya membatalkan kenaikan tarif sebelumnya. Padahal putusan MA itu bersifat final dan mengikat kepada siapapun. Termasuk presiden. “Disamping itu, kenaikan tarif BPJA dimasa pandemi, pertanda pemerintah sama sekali tidak punya sense of crisis. Saya meyakini, kalau Perpres 64/2020 diuji ke MA, maka kenaikan tarif itu akan dibatalkan kembali,” jelas Herdi. (nad/boy2)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: