Hukum Ketenagakerjaan Tak Pro Buruh
OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI* Peringatan hari buruh tahun ini tidak seantusias tahun-tahun sebelumnya. Karena sedang berada pada pandemi corona. Padahal tahun ini para buruh sedang dirundung isu RUU Cipta Kerja (RUU Ciptaker). Namun para buruh tentu menghadapi dilema untuk melakukan aksi. Karena sedang berada di tengah ancaman pandemi dan larangan berkumpul dari pemerintah. Akan tetapi para buruh sejatinya akan tetap menolak RUU Ciptaker karena dirasa merugikan pekerja. RUU Ciptaker merupakan upaya reformasi hukum ekonomi dalam rangka memajukan iklim investasi di Indonesia. RUU Ciptaker dibuat dengan metode omnibus law. Dengan penggabungan regulasi. Efisiensi perizinan investasi sampai pengaturan tenaga kerja diatur dalam satu undang-undang. Akan tetapi RUU Ciptaker membawa polemik di tengah masyarakat. RUU ini dinilai mempermudah investasi. Namun di sisi lain, RUU ini justru timpang bagi pekerja. Persoalan buruh atau tenaga kerja memang sampai sekarang belum ada habisnya. Padahal banyak evaluasi yang perlu dilakukan terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan). Muncul lagi isu RUU Ciptaker yang menciptakan masalah baru dalam ketenagakerjaan. Pemerintah dan DPR wajib melakukan evaluasi substansi RUU Ciptaker yang bisa mendongkrak iklim investasi Indonesia dan tetap menjamin kesejahteraan pekerja. Pertama, polemik pada pengaturan upah dalam RUU Ciptaker menjadi alasan agar aturan ini dikaji ulang. Dalam RUU Ciptaker tidak diatur upah minimum sektoral kabupaten/kota. Artinya, ada peluang penerapan upah yang sama secara nasional. Padahal kondisi ekonomi dan kebutuhan masyarakat per daerah berbeda. Kisaran upah harus disesuaikan dengan kondisi daerah. Ketika upah disamaratakan, maka akan terjadi ketimpangan pendapatan bagi para buruh untuk memenuhi kebutuhannya. Persoalan upah dalam RUU Ciptaker yang selanjutnya menjadi sorotan adalah tentang aturan pemberian upah berdasarkan jam kerja. Regulasi ini akan berlaku apabila pekerja itu bekerja di bawah 40 jam. Namun permasalahannya, kisaran besaran standar upah per jam belum jelas. Tentu ini peluang bagi pekerja yang akan mendapatkan upah murah. Apabila aturan upah per jam ini diterapkan, harus ada ketentuan yang bisa menjamin bahwa upah tersebut proporsional dengan kualitas pekerjaan. Agar tidak merugikan pekerja. Masih dalam soal ketentuan upah. RUU Cipataker menghapus uang pesangon. Ketentuan tersebut menghapus kewajiban perusahaan memberi pesangon sebagaimana amanat UU Ketenagakerjaan. Padahal uang pesangon memiliki urgensi bagi buruh. Karena aktivitas perusahaan tidak lepas dari peran buruh. Keuntungan-keuntungan perusahaan tidak akan bisa didapatkan tanpa tenaga buruh. Karena itu, perusahaan perlu memberikan penghargaan bagi buruh di akhir masa kerja melalui pemberian pesangon. Namun jika RUU Ciptaker tetap tidak mengatur pesangon, perlu ada ketentuan kewajiban perusahaan yang imperatif untuk mendaftarkan asuransi para pekerja di Jamsostek. Agar bisa mengakomodir hak pekerja seperti pesangon. Sehingga hak pesangon pekerja tetap bisa dipenuhi. Kedua, polemik aturan status pekerja pada RUU Ciptaker. RUU ini tidak mengatur pembatasan jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) seperti halnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan tentang pembatasan PKWT paling lama dua tahun. Dengan kemungkinan diperpanjang satu tahun. Akibat tidak ada pembatasan pekerja, perusahaan bisa memperkerjakan buruh outsourcing dan pekerja kontrak tanpa batas waktu. Ketika pekerja hanya memiliki status kontrak, maka pekerja berpotensi tidak akan mendapat tunjangan pensiun serta tunjangan kesehatan yang minim. Ketiga, penghilangan kewenangan pejabat berwenang. Pemberian izin Tenaga Kerja Asing (TKA) bisa berdampak mudahnya TKA masuk di Indonesia. Padahal dalam Pasal 42 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur, “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang ditunjuk.” Namun dalam RUU Ciptaker diubah menjadi, “Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki pengesahan rencana penggunaan tenaga kerja asing dari pemerintah pusat”. Perubahan pasal di atas memberikan peluang bagi TKA yang akan mudah dipekerjakan di Indonesia. Karena ketika RUU tersebut berlaku, TKA tidak lagi membutuhkan izin menteri serta visa tinggal terbatas sesuai Perpres Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. TKA hanya perlu rencana pengesahan tenaga kerja. Kemudahan TKA bekerja di Indonesia akan berdampak buruk pada pekerja domestik (lokal). Saat ini isu ketersediaan lapangan kerja masih minim bagi warga negara Indonesia. Akan tetapi jika TKA kembali dipermudah, maka akan lebih menyulitkan pekerja domestik untuk memperoleh pekerjaan. Ketujuh, dalam RUU Ciptaker tidak diatur batas minimal istirahat panjang bagi pekerja/buruh. Padahal dalam Pasal 79 ayat (2) UU Ketengakerjaan diatur tentang istirahat panjang sekurang-kurangya dua bulan. Tetapi dalam RUU tidak diatur secara jelas. Pasal 79 ayat (5) RUU Ciptaker hanya mengatur cuti panjang melalui perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian bersama. Sehingga kekuatan mengikatnya sangat lemah dibandingkan ketentuan tersebut diatur dalam undang-undang. Selain itu, jika dilihat dari sudut pandang psikologis, sangat memungkinkan buruh yang membuat suatu perjanjian kerja mengalami tekanan psikologis. Sehingga dalam pengambilan keputusannya tidak sesuai kehendak dari buruh. Terutama dalam hal meminta kebijakan pemberi kerja untuk dicantumkan batasan waktu istirahat panjang. Berdasarkan penjelasan di atas, telah diutarakan beberapa masalah pokok perlunya evaluasi pada RUU Ciptaker. Evaluasi dilakukan dalam rangka memenuhi hak pekerjaan bagi warga Indonesia sesuai UUD 1945. Pemerintah dan DPR perlu mengkaji ulang regulasi ini agar menjadi aturan yang tepat. Tujuannya agar masa depan investasi Indonesia berjalan baik dan masa depan kesejahteraan buruh juga terlindungi. (*Pemerhati Hukum dan Alumni Pascasarjana FH Universitas Brawijaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: