Dilema Antara Karantina Wilayah dan PSBB
OLEH: ADITYA PRASTIAN SUPRIYADI* Penyebaran virus corona (COVID-19) di Indonesia tak kunjung berakhir. Padahal virus ini sudah hampir satu bulan menjangkiti sebagian warga Indonesia. Hal ini mengakibatkan pemerintah mengeluarkan status darurat kesehatan melalui keputusan presiden. Penetapan status darurat kesehatan tersebut juga berbarengan dengan penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Aturan tersebut dikeluarkan sebagai kepastian hukum pemberlakuan pembatasan kegiatan. Guna mencegah penularan COVID-19. Dengan melibatkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Berdasarkan pasal 1 angka 11 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, PSBB dilakukan dengan membatasi kegiatan tertentu pada wilayah yang diduga terinfeksi penyakit untuk mencegah terjadinya penularan. Kemudian amanat PP tersebut, PSBB bisa dilakukan dengan meliburkan sekolah, tempat kerja, pembatasan kegiatan keagamaan, kegiatan umum, atau fasilitas umum. Penerapan PPSB di tengah pandemi COVID-19 dilakukan agar masyarakat mengarantina diri di rumah dan mengurangi aktivitas di luar supaya tidak tertular virus di tempat umum. Pemberlakuan PSBB oleh pemerintah memunculkan perdebatan di masyarakat. Karena kebijakan tersebut dinilai tidak tepat untuk mengatasi COVID-19. PSBB dianggap bukan solusi utama. Apalagi sebelum terbitnya PP PPSB, pembatasan aktivitas mulai peliburan sekolah dan pembatasan aktivitas umum sudah berjalan. Namun faktanya, korban yang terinfeksi COVID-19 semakin bertambah. Bahkan sampai hari ini, 7.135 orang dinyatakan positif dan 616 orang meninggal dunia. Dengan tak terkendalinya penyebaran COVID-19, beberapa pakar kesehatan di Indonesia mengusulkan agar pemerintah segera memberlakukan karantina wilayah. Dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, karantina wilayah merupakan tindakan pembatasan penduduk di suatu wilayah. Perbedaannya, karantina di wilayah dilakukan dengan menutup akses keluar masuk wilayah. Sedangkan dalam kebijakan PSBB, akses masuk wilayah tidak ditutup. Ketika karantina wilayah diterapkan, maka akses wilayah dibatasi. Tujuannya agar penyebaran virus yang sudah terjadi di wilayah tersebut bisa ditangani dengan maksimal dan mencegah penularan ke wilayah lain serta menangkal penyebaran virus dari luar. Berdasarkan Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan, saat ini seharusnya karantina wilayah bisa diterapkan di Indonesia. Dalam Pasal 14 ayat (1), karantina wilayah dapat diterapkan jika terjadi darurat kesehatan yang meresahkan dunia. Kemudian Pasal 53 ayat (2) menyebutkan, karantina wilayah bisa diterapkan jika ada konfirmasi dari laboratorium bahwa telah terjadi penyebaran penyakit di wilayah. Saat ini, penularan COVID-19 telah terjadi di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Dengan kondisi tersebut, seharusnya karantina wilayah bisa diterapkan karena syarat yang diatur dalam undang-undang tersebut sudah terpenuhi. Pertimbangan penerapan karantina wilayah tidak hanya berdasarkan penularan penyakit. Namun Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan menyebutkan, ada pertimbangan lain yang perlu dipenuhi. Karena penerapan karantina wilayah akan berdampak buruk di segala aspek. Sehingga perlu diantisipasi. Dalam Pasal 49 ayat (2), pelaksanaan karantina wilayah harus mempertimbangkan epidemiologis, besaran ancaman, efektivitas dukungan sumber daya, teknis operasional, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, dan keamanan. Semua aspek tersebut harus dipertimbangkan secara matang dan terintegrasi. Supaya dampak buruknya bisa diantisipasi. Terlepas dari dilema penerapan karantina wilayah atau PSBB, tentu kembali ke pemerintah sebagai pemegang kebijakan. Pemerintah memegang tanggung jawab penyelenggaraan negara untuk melindungi bangsa berdasarkan amanat alinea keempat UUD 1945. Artinya, pemerintah wajib melindungi warganya dari COVID-19 yang bisa mengancam jiwa dan raga. Entah melalui PSBB atau karantina wilayah. Jika pemerintah mengambil keputusan karantina wilayah, maka perlu dipertimbangkan dengan matang berbagai aspek yang sudah disebutkan di atas. Jangan sampai seperti di India dan Philipina. Di mana negara tersebut menerapkan lokcdown (karantina wilayah). Namun terjadi kerusuhan di mana-mana. Karena itu, pertimbangan pelaksanaan karantina wilayah harus dilakukan secara tepat dan cermat. Pada saat karantina wilayah diterapkan, kebutuhan masyarakat perlu dipenuhi. Mulai dari kebutuhan pangan, listrik dan kebutuhan utama lainnya. Ini menjadi tugas pemerintah sebagaimana diatur dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Kekarantinaan Kesehatan. Ketika kebutuhan pokok dipenuhi oleh pemerintah, maka mitigasi dampak buruk dapat dilakukan dengan baik. Di sisi lain, apabila pemerintah tetap menerapkan PSBB seperti saat ini, maka mesti diterapkan secara tepat. Pembatasan akivitas masyarakat harus benar-benar dilakukan secara maksimal. Aparat hukum perlu dilibatkan untuk menindak warga yang tidak patuh pada pembatasan aktivitas. Apalagi isu mudik sedang hangat di tengah masuknya bulan suci Ramadan. Kebijakan PSBB harus bisa mengantisipasi mobilisasi massa. Supaya PSBB bisa menekan penularan COVID-19. Dalama penerapan PSBB, pemerintah juga mesti memberikan solusi terhadap dampak yang telah terjadi. Salah satu akibatnya, pendapatan masyarakat turun. Karena produktivitas kerja berkurang akibat pembatasan aktivitas di luar. Berkurangnya pendapatan masyarakat akan menyulitkan mereka memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Walaupun Undang-Undang Kekarantinaan tidak mengatur tanggung jawab pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat, pemerintah harus tetap peduli degan warganya. Pemerintah memiliki tugas untuk melindungi warganya sesuai amanat UUD 1945. PSBB adalah bagian dari kekarantinaan kesehatan. Maka tugas pemerintah tidak hanya merawat masyarakat yang terinfeksi virus corona. Namun pemerintah sebagai representasi negara juga harus membantu masyarakat yang terkena dampak pemberlakuan PSBB. Tujuannya agar kebutuhan pokok masyarakat tetap terpenuhi dan penyebaran COVID-19 di Indonesia bisa segera teratasi. (*Pemerhati Hukum dan Alumni Pascasarjana FH Universitas Brawijaya)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: