Sepucuk Surat untuk Presiden

Sepucuk Surat untuk Presiden

OLEH: IMRAN DUSE* Matahari baru saja mengintip. Sinarnya masih memerah. Saat aku berlari-lari kecil di pagi yang sejuk itu. Langit di kota kami cerah dan udara semakin bersih. Cetak biru ‘di-rumah-saja’ rupanya telah meluap penggunaan energi dan mengekang emisi karbon. Ketika memelankan langkah, kutemukan sepucuk surat pada sebuah simpang jalan Kota Tepian—sebuatan untuk Samarinda. Amplopnya belum direkatkan. Tampak mulai kusam karena debu dan embun pagi yang baru saja menyapanya. Arkian, seraya beristirahat di sebuah kedai kopi di pojok perempatan jalan itu, saya membuka isi amplop. Lalu membacanya pelan. “Bapak Presiden yang saya hormati. Pertama-tama, saya menyampaikan belasungkawa sedalam-dalamnya atas wafatnya ibunda tercinta Bapak Presiden. Saya bisa merasakan getaran pilu Bapak saat bersimpuh di sisi almarhumah. Kehilangan orang yang sangat kita cintai selalu mengundang berjumput nelangsa. Apalagi Bapak sedang mengemban tugas maha berat: memimpin 270 juta penduduk yang sedang risau akibat pandemi COVID-19. Saya menaruh respek kepada Bapak yang hari itu langsung kembali ke Istana Bogor untuk mengikuti Virtual Summit G-20. “Bapak Presiden, saat ini kita memang menghadapi masalah sulit. Tapi kami percaya, Indonesia adalah bangsa pemenang. Bukan hanya karena faktor sentimentil semata. Tetapi diorama sejarah kebangsaan kita telah memahat dengan baik kemampuan adaptif anak-anak Ibu Pertiwi. Di pundak Bapak, kesempatan itu kini hadir. Kesempatan untuk melanjutkan hikayat negeri dalam lintasan diorama tadi, melalui keputusan cepat, tepat dan akurat. “Andai kata ada kesalahan dalam keputusan proyek infrastruktur, saya yakin Bapak masih bisa perbaiki. Begitu juga sekiranya ternyata ada kekurangtepatan dalam tauliah menteri. Atau juru bicara yang ada kalanya salah bicara. Setiap waktu dapat diganti, dengan hak prerogatif yang diberikan konstitusi kepada Bapak Presiden. Tapi dalam urusan penanganan COVID-19, kami memohon dengan penuh pengharapan kebestarian Bapak Presiden mengambil keputusan terbaik, dengan meletakkan keselamatan jiwa warga negara sebagai garis haluan. “Kami mafhum, Bapak Presiden telah mengambil sejumlah kebijakan. Bukan perkara gampang, memang. Berbagai faktor menjadi timbangan Bapak. Bahkan Keppres No.7/2020 hanya berumur tujuh hari. Karena dikoreksi oleh Keppres No.9/2020 yang Bapak tandatangani tanggal 20 Maret 2020. Sebuah pertanda adanya respons terhadap dinamika. “Termasuk saat Bapak terbitkan Keppres No.12/2020 pada 13 April 2020 yang menetapkan penyebaran COVID-19 sebagai bencana nasional. Dengan menyandang status bencana nasional, langkah penanganan dapat lebih terorganisir dan terstruktur dengan baik di bawah komando Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19. “Bapak Presiden, barangkali tata kelola penanganan COVID-19 juga perlu diperbaiki. Hemat saya, jumpa pers yang saban hari digelar mulai agak membosankan. Narasi juru bicara tidak beranjak semenjak satu bulan terakhir: ‘tetap di rumah saja, jaga diri dan keluarga, makanlah yang bergizi, di luar sana masih terjadi penularan’. Yang bertambah hanya angka-angka. Atau masker batik juru bicara yang berubah-ubah warna dan coraknya. Bahkan, dua hari ini (13-14/4) saya gagal paham kalimat ‘terpaksa harus meninggal’ yang disampaikan juru bicara terkait korban COVID-19. “Mengapa imbauan juru bicara terkesan membosankan? Karena tidak berpijak pada realitas sesungguhnya yang hari-hari ini dihadapi masyarakat. Ada semacam ‘jarak’ yang terbentang antara imbauan dengan kerisauan hebat yang kami—masyarakat—rasakan saat ini. Jika di rumah saja, lantas bagaimana kami memberi makan keluarga? Apatah lagi makanan bergizi. Dengan kata lain, imbauan itu menjadi majal. “Sering pula memakai bahasa canggih yang kami tidak paham: real time PCR, konversi tes molekuler, eksisting, physical distancing. Seandainya juru bicara mencontoh gaya komunikasi Bapak Presiden yang merakyat, tentu kami cepat mengerti. Atau seperti Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, yang selain bicaranya mudah dipahami, juga selalu memakai rompi (tentu beliau punya batik yang bagus) yang kami maknai sebagai pertanda kesiapsiagaan menghadapi pandemi COVID-19. Begitu juga Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Dan tentu saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. “Bapak Presiden yang kami hormati. Saya menulis ini, semata-mata karena saya, sebagaimana halnya Bapak, sangat mencintai negeri ini. Saya mendambakan jumpa pers yang berdampak. Konferensi pers yang efektif dan memberikan edukasi kepada publik. Tentang apa yang akan dilakukan pemerintah, bagaimana dan kapan. Sungguh mewah jika hanya dipakai mengumumkan jumlah kasus positif, kematian dan kesembuhan. Lalu menganggap beres, sementara di lapangan banyak hal yang tak terurai.   “Bapak Presiden, waktu kita tak banyak. Mari lupakan hembusan angin sepoi-sepoi yang mengabarkan ketangguhan iklim negeri kita menghadapi musuh tak kasatmata itu. Atau iklan apapun yang (dapat) membuat kita abai. Ini adalah waktu untuk menyatakan sesuatu dengan tindakan, bukan imbauan (seperti yang kerap tampak dalam jumpa pers itu). Misalnya, imbauan bergotong royong dan tidak mudik. “Alangkah elok sekiranya narasi disampaikan tokoh-tokoh informal—melalui jumpa pers itu. Libatkan semua organisasi paguyuban. Berikan ruang-waktu kepada tokoh-tokoh masyarakat: Minang, Aceh, Bugis, Makassar, Ambon, Dayak, Batak, Kutai, Papua, Jawa, Madura, dan seterusnya. Juga para tokoh agama dan publik figur berpengaruh. Dengan cara itu, mungkin kita bisa melewati ‘dua-tiga pulau’ dengan sekali mendayung: imbauan tidak mudik (saya kira) bisa lebih didengar, dan sekaligus menunjukkan wujud kongkret kegotongroyongan di ruang publik. “Bapak Presiden. Dengan rendah hati, mohon kiranya Bapak memimpin langsung penanganan COVID-19, sebagaimana berhasil memimpin pembangunan infrastruktur. Instruksi Bapak untuk membuka informasi COVID-19 terbukti efektif. Juru bicara pun langsung menyesuaikan sehari setelahnya. Saya yakin, investor tak akan pergi jauh. Hanya menunggu waktu pandemi berlalu. Dan dunia internasional kembali menaruh kepercayaan dengan melihat kesungguhan kita menghentikan penyebaran COVID-19. “Bapak Presiden yang saya hormati. Di akhir surat ini, saya mohon maaf jika ada yang kurang berkenan. Saya doakan Bapak selalu dalam lindungan Allah SWT untuk memimpin kemajuan bangsa yang—entah kenapa—sangat berarti bagi kami. Setelah melewati outbreak ini, kami yakin Merah Putih akan semakin berkibar di langit yang tinggi. Kita hanya perlu bersatu-padu; menjadi sebuah ‘orkestra’. Atau, mungkin juga kita perlu mendengar pesan Panglima Besar Jenderal Soedirman: ‘Mari, marilah, seluruh barisan, badan-badan berjuang sungguh-sungguh dan jangan membiarkan rakyat menjadi korban’.” Surat tersebut berhenti sampai di situ. Anehnya, tanpa disertai nama dan alamat pengirim. (*Sekretaris Tim KKSS TANGGAP COVID-19 dan mantan Ketua KPID Kaltim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: