Menimbang Sistem, Peran Penyelenggara, dan Klasifikasi Pemilih di Pilkada
OLEH: HAIDIR AZRAN* Proses seleksi kepemimpinan daerah melalui Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) adalah sarana yang sesuai dengan prinsip demokrasi yang telah diatur dalam perundangan yang berlaku di Indonesia. Proses ini sudah berjalan pasca era Reformasi. Yang diyakini sebagai perbaikan dari sistem Pilkada di masa Orde Baru yang bersifat sentralistik. Pada masa Orde Baru, prosesnya sangat bergantung kepada kebijakan pemerintah pusat. Kala itu, daerah melalui DPRD hanya berhak mengajukan lima nama calon kepala daerah ke pemerintah pusat. Dari lima nama itu, pemerintah pusat akan menyeleksi dan menurunkan kembali tiga nama yang akan dipilih oleh DPRD. Pada masa itu masyarakat boleh dikatakan tidak memiliki akses untuk menentukan siapa yang mereka kehendaki untuk memimpin daerah dalam masa waktu lima tahun. Hal ini berbeda dengan sistem Pilkada setelah Reformasi. Di mana peran masyarakat cukup maksimal untuk menentukan pemimpin daerah selama lima tahunan. Dengan sistem pemilihan langsung, masyarakat dapat menimbang bobot dan bibit calon kepala daerah yang mereka pilih untuk memimpin daerah. Di sisi lain, sistem Pilkada ini, baik di masa Orde Baru maupun Orde Reformasi, tentu memiliki keunggulan dan kelemahan. Sistem Pilkada di masa Orde Baru memiliki kelemahan dalam partisipasi masyarakat. Tidak jarang calon yang terpilih bukan berasal dari daerah pemilihan. Komitmen kepala daerah pun sering tersandera oleh kepentingan pejabat-pejabat di pemerintah pusat. Sehingga lemah pada komitmen masyarakat daerah. Namun sisi positifnya, biaya Pilkada lebih murah. Karena hanya menggunakan mekanisme di DPRD. Sementara Pilkada setelah Reformasi telah melibatkan partisipasi aktif masyarakat. Memberikan ruang maksimal untuk para calon membangun komitmen kuat dengan masyarakat. Karena penentuan akhir siapa yang akan dipilih ada di tangan masyarakat. Namun demikian, beberapa kelemahan juga terjadi dalam Pilkada langsung ini. Seperti biaya yang lebih mahal, politik uang, beban biaya yang ditanggung oleh para calon yang sangat besar ditenggarai menjadi penyebab para kepala daerah tersandung kasus hukum karena korupsi. Pada masa-masa awal Pilkada langsung dilaksanakan, terjadi banyak konflik horizontal antara pendukung calon kepala daerah. Hal ini merupakan salah satu kelemahan Pilkada langsung. Meskipun pada penyelenggaraan berikutnya potensi konflik tersebut relatif terus berkurang ketika dibuka ruang hukum dan lembaga yang menangani sengketa dan pelanggaran Pilkada. Perubahan-perubahan aturan mekanisme Pilkada langsung terus dilakukan. Walaupun ada yang dinilai positif untuk perbaikan dan beberapa dianggap sebagai kemunduran. Salah satu hal yang dinilai positif adalah ketika ada aturan yang membolehkan calon kepala daerah untuk mengikuti Pilkada langsung dengan menggunakan jalur perseorangan (independen). Pencalonan kepala daerah melalui jalur perseorangan mampu mengurangi hegemoni kekuasaan partai politik dalam Pilkada. Akan tetapi jika dinilai, pencalonan melalui jalur perseorangan tidak memberikan nilai lebih kepada kepentingan para calon ataupun masyarakat dibandingkan dengan menggunakan perahu partai politik. Data statistik menunjukkan, calon kepala daerah yang memenangi Pilkada langsung melalui jalur perseorangan tidak signifikan dibandingkan calon kepala daerah yang memenangkan Pilkada melalui jalur partai politik. Belum terdapat pula gambaran ideal bagi kepala daerah yang memenangi Pilkada melalui jalur perseorangan berhasil secara cemerlang dan menjanjikan kemajuan daerah yang dipimpinnya dibandingkan dengan yang terpilih melalui jalur partai politik. Sehingga tidak bisa ditetapkan bahwa kedua jalur ini baik. Melalui jalur perseorangan lebih baik atau sebaliknya. Jika dibandingkan dengan mekanisme pencalonan melalui partai politik. Oleh karena itu, belum ditemukan formulasi yang lebih baik untuk menentukan mekanisme pencalonan kepala daerah selain melalui jalur partai politik dan jalur perseorangan pada Pilkada langsung. Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara Pilkada langsung sangat terikat dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku. Artinya, kualitas KPU sangat terkait erat dengan peraturan perundangan yang menjadi landasan kerja yang mengikatnya. Apabila ada beberapa kelemahan KPU sebagai penyelenggara, hal itu bersifat kasuistik. Bukan merupakan indikasi langsung terhadap lemahnya regulasi Pilkada. Kelemahan-kelemahan penyelenggara yang paling krusial banyak terjadi pada situasi dan kondisi adanya “perselingkuhan” penyelenggara dengan kontestan. Hal seperti ini sudah diantisipasi oleh regulasi dengan menunjuk Badan Pengawas Pemilu (bawaslu). Keberadaannya mengikuti tingkatan KPU. Secara keseluruhan, tentu regulasi dan lembaga penyelenggara Pilkada langsung membutuhkan perbaikan-perbaikan. Terutama masalah netralitas penyelenggara. Baik KPU ataupun Bawaslu. Agar sistem pelaksanaan Pilkada langsung bisa memenuhi harapan masyarakat. Pilkada langsung itu berpondasi pada dua instrumen penting: kualitas calon kepala daerah dan kualitas pemilih. Kualitas calon kepala daerah menjadi ranah dan tanggung jawab partai politik dan masyarakat pemilik Kartu Tanda Penduduk (KTP)—khusus bagi calon perseorangan. Seleksi oleh partai politik terhadap calon kepala daerah diharapkan mampu menyaring orang-orang yang berkualitas untuk dicalonkan sebagai kepala daerah. Proses verifikasi administrasi dan faktual dukungan perseorangan oleh KPU dan diawasi Bawaslu juga memberikan harapan positif bagi terjaringnya calon-calon kepala daerah yang berkualitas. Partai politik melakukan fit and proper test terhadap calon. Jika dijalankan dengan baik dan konsisten, maka akan mampu menyeleksi calon-calon yang berkualitas. Di lain cara, verifikasi menyeluruh terhadap dokumen secara administratif dan faktual dukungan perseorangan kepada calon kepala daerah sangat menjanjikan terseleksinya calon-calon yang berkualitas. Mekanisme yang demikian sangat bisa diharapkan untuk menentukan kualitas para calon kepala daerah. Sehingga pada proses ini relatif tidak ada masalah yang berarti bagi jaminan kualitas Pilkada langsung. Akan tetapi tidak demikian halnya kepada instrumen pemilih. Dalam Pilkada, kualitas pemilih menjadi semu dan tidak berstandar. Tidak ada pembeda nilai suara yang pada konsep kehidupan praktis lainnya itu berlaku standarisasi nilai. Pemilih yang berpendidikan rendah bahkan mungkin tidak pernah mengecap bangku sekolah dengan seorang berpendidikan sampai doktoral. Tidak ada perbedaan seseorang yang merupakan pelaku kejahatan dengan seorang yang memperjuangkan moralitas sosial agama. Semuanya dinilai sama. Memiliki satu suara. Padahal perbedaan-perbedaan yang demikian diapresiasi dan menentukan penilaian yang berbeda di kehidupan praktis. Secara relatif, perbedaan-perbedaan yang demikian disadari memang menentukan kualitas pandangan satu dengan yang lain. Oleh karena itu, dalam hal ini diperlukan perbaikan-perbaikan sistem kepemiluan untuk bisa menentukan proporsionalitas yang dapat menentukan kualitas Pilkada di Indonesia di masa yang akan datang. Sulit bagi bangsa manapun untuk meningkatkan kualitas masyarakat pemilih karena perbedaan kualitas itu memang bersifat alami. Tetapi yang sangat mungkin adalah menentukan proporsionalitas nilai pemilih sebagai tanggung jawab moral penghargaan kepada setiap usaha yang telah dilakukan oleh masyarakat yang diberikan hak untuk menentukan pilihan yang berkualitas kepada orang-orang yang akan dipilih pada Pilkada langsung. Jika konsep ini bisa dijalankan, maka sistem demokrasi Indonesia ke depan akan berada pada level yang lebih baik dan berkualitas. (qn/*Akademisi dan Praktisi Politik di Kutai Kartanegara)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: