Karantina Virus di Antara Perkembangan Teknologi Komunikasi
PROSES karantina penderita suspect virus di masa kini, sungguh jauh berbeda dengan proses yang harus dilalui saat suatu pandemi melanda di tahun-tahun yang lalu. Di mana saat itu orang-orang harus terkurung dalam ruang-ruang rapat dengan diselimuti rasa kekhawatiran yang luar biasa. Kini, meskipun fisik mereka dibatasi ruang dan jarak, tetapi kehidupan virtualnya masih dapat mengembara luas. Yardley Wong, warga negara Jepang yang merupakan salah satu penumpang kapal pesiar Diamond Princess yang harus menjalani isolasi akibat penyebaran kasus virus korona, membagikan satu foto yang mampu menggambarkan tentang bagaimana kehidupan dalam karantina. Dari dalam kamar kabinnya yang kecil, Yardley mengambil foto sebuah pintu kamar yang tertutup, dan kemudian membagikannya melalui akun twitter miliknya @phantomyw pada 5 Februari lalu dengan keterangan singkat “So much wondering through this door.” Dari pandemi wabah hitam (black plague) yang terjadi di akhir abad ke-14, pandemi flu di tahun 1918, lalu sampai pada wabah yang terjadi akhir-akhir ini; sejarah aktivitas karantina dan isolasi medis menunjukkan keterkaitan emosional dari kedua sisi pintu. Sebagaimana yang ditampilkan oleh Yardley tersebut. Yakni perasaan ketidakpastian, teror, kesepian, atau bahkan perpisahan. Tetapi dari kejadian kali ini, halangan fisik tersebut mulai terlihat celahnya, berkat adanya ponsel pintar. “After some emotional breakdown, I find my peace from you all. Thank you for the kindness. Your tweets give me strength,” kicau Yardley, beberapa hari setelah postingan pertamanya saat karantina. Direspon oleh ribuan orang dari seluruh dunia sebagai bentuk dukungan. Saat koran, radio dan televisi mencoba menyamarkan beratnya peristiwa sekuestrasi sebagaimana yang terjadi di masa lalu, karantina virus korona di tahun 2020 ini berbeda dari berbagai peristiwa lainnya yang pernah terjadi selama sejarah manusia, karena universalitas koneksi digital yang ada. Laptop, tablet dan ponsel pintar memungkinkan manusia yang berada dalam ruang karantina untuk tetap bisa melakukan pekerjaannya dari jarak jauh. Memesan makanan, belanja di market place, ngobrol face-to-face dengan sahabat dan orang-orang terkasihnya, mengikuti perkembangan informasi di media sosial, bahkan mengunduh film dan musik. Pendek kata, para penderita suspect tersebut tetap bisa terhubung dengan dunia dan mengerjakan sejumlah aktivitas sebagaimana kehidupan mereka biasanya. Karey Maniscalco, seorang agen real estat asal Amerika yang juga menjalani karantina bersama suaminya, Roger. Dalam kapal yang sama dengan Yardley. Juga menyatakan bahwa proses isolasi tersebut ternyata justru malah begitu menyibukkan mereka. Dalam sebuah artikel di surat kabar New York Times mereka menyatakan bahwa mereka disibukkan dengan berbagai aktivitas guna menyelesaikan pekerjaan mereka secara online dan membalas berbagai pesan yang masuk dalam akun Facebook mereka. Sebelum pemerintah Amerika Serikat mengevakuasi penumpang berkewarganegaraan Amerika dari kapal pesiar dan menerbangkan mereka pulang ke negaranya. Kemudian menjalani karantina lanjutan. Selain menjawab berbagai pesan yang masuk melalui layanan email dan media sosial, berbagi video TikTok juga dinyatakan Karen menjadi sarana untuk mengatasi ketegangan emosional yang kerap menghampiri. Lain lagi kisah Isabel Dahm, guru asal Amerika Serikat yang tengah mengajar di salah satu sekolah di Cina menceritakan melalui media sosial. Rasa bahagianya bisa melihat keluarga dan binatang peliharannya meskipun hanya melalui aplikasi WeChat. Isabel yang berada di provinsi Zhejiang sejak November lalu, berbagi informasi dari kamar apartemennya yang masuk dalam zona karantina. Isabel menceritakan bagaimana mereka hanya diperbolehkan untuk keluar dari apartemen beberapa hari sekali, sehingga ia pun melakukan proses belajar mengajar dengan bantuan jaringan internet dari komputer yang dimilikinya di kamar apartemen kecilnya. Dengan bantuan jaringan virtual pribadi yang dimilikinya, Isabel menceritakan bagaimana hal tersebut bisa membantunya untuk tetap waras karena ia masih memiliki akses seperti saat ia di Manhattan, yakni akses terhadap Netflix, Hulu dan YouTube, serta kemudahan untuk memesan makanan secara online yang tentunya tidak dimiliki mereka yang hidup di abad pertengahan. Artinya, secara substantif mereka yang harus menjalani proses karantina tersebut masih memiliki akses informasi bahkan terhadap virus itu sendiri yang tidak terjadi di masa sebelumnya. Seperti misalnya yang dikisahkan oleh Yuliannova Chaniago, WNI yang kemarin dievakuasi dari Wuhan. Seorang mahasiswa doktoral di Central China Normal University yang menceritakan bagaimana dia selalu mengikuti perkembangan terbaru virus korona ini langsung dari website Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan Centers for Disease Control and Prevention. Atau jika sewaktu-waktu saat dia dan kawan-kawannya melihat keluar jendela apartemen untuk memperhatikan bagaimana sepinya kondisi jalanan, yang dimaknai bahwa infeksi virus korona semakin menyebar. Untunglah jaringan telepon dan internet tetap berfungsi sehingga mereka tetap bisa berkoordinasi dengan pihak terkait untuk mendapatkan informasi terbaru. Di masa lalu, orang-orang mungkin hanya bisa memikirkan kekhawatiran mereka tentang seberapa dekat kasus yang terdeteksi dari wilayah mereka berada. Namun di abad ke-21 ini aplikasi WeChat misalnya, bisa menjawab kegelisahan tersebut dengan menampilkan peta kasus yang dilaporkan ada untuk diakses publik sebagaimana diceritakan oleh Lang Blackwood seorang guru berkebangsaan Amerika yang tinggal di wilayah Shenzhen. Sebuah kombinasi perasaan yang tidak biasa di antara masifnya aliran informasi dan rapatnya ruang isolasi. Luasnya konektivitas informasi ini, nampaknya mengubah sifat alamiah isolasi karantina pandemi menurut para ahli dari dua disiplin ilmu yang berbeda; yakni mereka yang mengkaji dari sisi sosiologi penggunaan teknologi, dan mereka yang mempelajari tentang karantina pandemi. Pada tahun 1918, saat pandemi flu spanyol berlangsung, sebagian negara menerapkan strategi yang disebut dengan ‘jarak sosial’ atau social distancing yang secara eksplisit ditujukan untuk membatasi paparan antar manusia. Dimana pada saat ini hanya sepertiga masyarakat dunia yang memiliki jaringan telepon, sehingga orang-orang memiliki ketakutan yang luar biasa untuk bahkan menyentuh surat kabar karena takut akan penyebaran kuman. Sejumlah penelitian yang dilakukan para ahli menunjukkan bagaimana kehadiran media baru membantu mengatasi proses isolasi yang tidak jarang mengganggu manusia secara psikologis. Sebuah penelitian dari Gardiner, Geldenhuys dan Gott pada tahun 2018 lalu menunjukkan bahwa siaran radio membantu meningkatkan semangat para pasien yang berada di ruang isolasi rumah sakit. Burzynska, Binkowska-Bury dan Januszewicz pun pada tahun 2015 sudah menyatakan bahwa siaran televisi membantu memperbaiki mood para pasien yang berada di rumah sakit jiwa saat mereka bisa melihat rekaman film yang mempertontonkan saudara dan sahabat mereka. Bandingkan dengan kondisi pada tahun 1832 lalu saat wabah kolera menyerang Amerika Utara, dimana suratkabar merupakan satu-satunya sumber informasi publik yang memberitakan tentang penyebaran infeksi tersebut. Oleh sebab itu, kiranya merupakan perjalanan sejarah yang panjang bagaimana media baru mengubah kondisi tersebut dari waktu ke waktu. Media saat ini yang mengkombinasikan semua unsur tersebut (dari penulisan surat, video, radio dan televisi), di mana semuanya dapat dilakukan secara instan dan di manapun kita berada. Bahkan berkaca pada pandemi flu babi yang terjadi pada 2009 lalu, evolusi penggunaan jejaring sosial dan komunikasi maya untuk mengakses informasi terkait H1N1 belum semasif seperti saat ini. Namun demikian, Nobel, ilmuwan asal Harvard University menyatakan kekhawatirannya bahwa meningkatnya kemampuan berkomunikasi juga dibarengi dengan besarnya kemampuan untuk melakukan manipulasi, distorsi dan sensor informasi. Hal ini kemudian bisa menyebabkan orang-orang yang berada dalam karantina memiliki kekhawatiran berlebih jika aparat berwenang menyampaikan informasi secara utuh, yang berpotensi menciptakan ketegangan tersendiri dalam proses komunikasi antar pribadi dan ketidaknyamanan dalam komunikasi publik. Terutama di masa kini yang kerap diwarnai dengan berita palsu, yang membuat orang-orang seringkali dihantui pertanyaan apakah yang dimaksud dengan fakta, dan informasi mana yang mengandung kebenaran. Akhir Desember lalu, seorang dokter di Cina yang pertama kali membisikkan informasi tentang penyebaran virus covid-19 ini dalam sebuah kelompok chat menyampaikan bahwa ia dikarantina dalam sebuah ruangan gawat darurat. Dokter tersebut, yang bernama Li Wenliang, kemudian meninggal karena infeksi yang ia alami. Selain itu, cerita menarik lainnya berasal dari Shirley Lin, seorang pengusaha periklanan asal Silicon Valley yang melakukan komunikasi secara rutin melalui grup WeChat dengan teman dan kolega kerjanya di Cina, yang beberapa di antaranya berasal dari Wuhan. Pusat penyebaran virus korona ini. Lin menceritakan bagaimana video yang diposting oleh seseorang di dalam grup tersebut menghilang dengan tiba-tiba sebelum dilihat oleh seorang pun anggota grup, jika mengandung kritik terhadap pemerintah Cina terkait penanganan kasus korona ini. Dalam sebuah artikel di New York Times, Lin juga menceritakan bagaimana pengawasan pemerintah menjadi sangat terlalu berlebihan yang menjadikan anggota grup chat-nya kerap mengabaikan aplikasi WeChat tersebut yang kebetulan dimiliki oleh sebuah perusahaan asal Cina, dan berpindah menggunakan aplikasi chatting terenkripsi lainnya, seperti Telegram atau WhatsApp. Namun dia juga menceritakan bagaimana kemudian mereka selalu menyamarkan istilah dan informasi tertentu untuk menjaga agar tetap berada di luar radar pemerintah. Padahal, menurut sejumlah ilmuwan, seperti Hostinar (psikolog asal University of California) serta Dawans, Fischbacher, Kirschbaum, Fehr dan Heinrich yang merupakan psikolog dari University of Freiburg menyatakan bahwa interaksi sosial merupakan elemen penting yang bisa menstimulasi reward system yang ada di otak manusia. Pada gilirannya bisa mengurangi stress dan meningkatkan resiliensi. Bahkan meningkatkan kesehatan fisik. Creswell, seorang profesor psikologi dari Carnegie Mellon University juga menegaskan bahwa ponsel pintar, sejauh digunakan untuk menjaga koneksi sosial, sangatlah membantu untuk meminimalisasi stress yang ditimbulkan akibat proses isolasi karantina. Sampai pada titik ini, maka benar kiranya bahwa menjalani hidup tanpa adanya kontak sosial akibat isolasi dan karantina pandemi virus tidak kalah mengerikannya sebagaimana hukuman penjara. Sehingga seperti yang dinyatakan oleh Katz, seorang profesor media baru dari Boston University bahwa diasingkan secara sosial bisa menjadi sebuah bentuk kematian baru. Oleh sebab itu, interaksi komunikasi yang tetap mungkin dilakukan dengan kehadiran media baru saat ini kiranya bisa sangat membantu manusia untuk bisa kuat beradaptasi secara psikologis, terhadap realita yang berada di luar kerangkeng fisik mereka yang harus menjalani proses panjang karantina akibat virus covid-19 yang menyebar semakin luas. Semoga kiranya perkembangan teknologi informasi saat ini bisa membantu kita untuk tetap menjalani hidup secara waras di tengah kepanikan global pandemi korona. (Dosen Prodi Ilmu Komunikasi - Unmul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: