Jilbab dalam Perspektif Islam

Jilbab dalam Perspektif Islam

OLEH: NUR HASANAH* Benarkah penggunaan jilbab bagi Muslimah bukan kewajiban? Apakah hanya pilihan atau simbol-simbol? Atau memang pembeda bagi kaum Muslimah agar tidak diganggu? Ada fenomena unik yang berkembang pada sebagian perempuan. Mereka mengklaim, seorang Muslimah yang belum mendapat hidayah tidak wajib menutup aurat. Yang penting, menurut mereka, hatinya ditutup. Lalu bagaimana tanggapan para ulama terkait kawajiban berjilbab ini? Sebagian ulama mengatakan siapa pun yang menyangkal suatu kewajiban berjilbab, maka dia adalah kafir. Bahkan dihukumi murtad. Kiranya perlu kita mengurai masalah jilbab ini berdasar Alquran dan Hadis. Dalam Alquran, sebagaimana Allah menjelaskan melalui Nabi Muhammad SAW, tentang suatu pemberitahuan kepada istri-istri beliau, anak-anak perempuan dan istri-istri orang Mukmin, hendaknya mereka menutupkan jilbab ke seluruh tubuhnya. Kata jilbab banyak dimaknai sejenis baju kurung lapang. Yang dapat menutup kepala, wajah, dan dada. Adapun tujuan perintah tersebut bermakna sebagai pembelajaran supaya perempuan Muslimah mudah dikenal identitas atau suatu pembeda antara perempuan merdeka dan perempuan budak. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Ahzab ayat 59, “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka menutupkan jilbab kepada seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka mudah dikenal. Sehingga mereka tidak diganggu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Dilihat dari asbabun nuzul ayat tersebut, perempuan pada zaman Rasulullah sering pergi ke padang pasir untuk melakukan suatu aktivitas yang salah satunya membuang hajat. Sebagian kaum lelaki meyakini mereka sebagai pekerja seks atau sebagai budak perempuan. Pada saat itu tidak ada pembeda antara perempuan merdeka dan perempuan budak. Karenanya, kaum laki-laki kesulitan membedakannya. Melihat fenomena itu, mereka mengadukan kepada Rasulullah. Maka turunlah ayat tersebut. Menurut Asynawi, aturan dan kewajiban berjilbab hanya berlaku pada masa Nabi Muhammad SAW. Artinya hanya bersifat temporal. Kewajiban berjilbab pada masa Rasulullah tidak lagi relevan dengan kondisi sekarang. Dengan bersandarkan pada illah (alasan) tertentu. Ahli fikih telah menetapkan kaidah al hukm yaduru ma’a allah wujudan wa adaman. Karenanya, hilanglah alasan pada hukum memanjangkan jilbab. Alasannya, saat ini sudah ada kamar mandi di rumah-rumah dan diskriminasi atas perempuan karena pakaian mulai terkikis di masyarakat. Masih menurut Asynawi, jilbab bukan kewajiban agama atau bukan sebagai prinsip dalam syariat. Melainkan simbol politik. Menurutnya, hakikat jilbab berfungsi sebagai benteng diri terhadap suatu dosa-dosa. Tanpa terkait dengan pakaian tertentu. Pada prinsipnya jilbab erat kaitannya dengan masalah etika universal. Yang mencakup kesopanan dan kehormatan. Kata dia, jilbab bukanlah satu-satunya tolak ukur suatu kesopanan dan kehormatan. Ulama tersohor dan pemikir liberal kontroversial dari Syria dan dijuluki sebagai Immanuel Kant dari Arab dan Martin Luther dunia Islam, Muhammad Shahrur, dalam bab pakaian (al-libas) dari kitabnya nahwa usul jadidah li al fiqh al islamiy: fiqh al-mar’ah--diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Metodologi Fiqih Islam Kontemporer--ia mengungkapkan dalam Alquran, masalah penutup (hijab) dan kerudung (khimar) hanya dibahas di tiga ayat. Pertama, surah Al-Ahzab ayat 53 yang berbunyi, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki rumah-rumah Nabi kecuali kamu diizinkan untuk makan dengan tidak menunggu-nunggu waktu masak (makanannya). Jika kamu diundang maka masuklah dan bila kamu selesai makan keluarlah kamu tanpa asyik memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu Nabi. Lalu Nabi malu kepadamu untuk menyuruh kamu keluar dan Allah tidak malu menerangkan yang benar. Dan apabila kamu meminta sesuatu kepada istri-istri Nabi, maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian lebih suci bagi hatimu dan bagi hati mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti hati Rasulullah dan tidak pula mengawini istri-istrinya  selama-lamanya sesudah ia wafatnya. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar dosanya di sisi Allah.” Ayat ini berbicara tentang hijab yang secara eksplisit maupun implisit hanya terbatas pada istri-istri Nabi. Tidak ada isyarat yang mengaitkan tentang istri-istri orang yang beriman secara umum. Selanjutnya beliau memaparkan bahwa redaksi ayat tersebut berkaitan dengan masalah hijab. Allah berbicara dalam ruang lingkup kenabian dengan maqam an nubuwwah. Yang fungsinya sebagai seorang Nabi. Selanjutnya sebagai ta’lim pada saat Allah mengharamkan orang-orang menikahi para janda Rasulullah. Allah menyebutnya dalam ruang lingkup risalah atau maqam ar-risalah yang fungsinya sebagai seorang Rasul. Kedua, surah Al-Ahzab ayat 59 yang artinya, “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya  mereka lebih mudah dikenal. Karena itu mereka tidak diganggu dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Ayat tersebut berbicara tentang jilbab yang ditujukan kepada istri-istri Rasul dan istri orang yang beriman. Sebab turunnya ayat ini diriwayatkan Aisyah, “Saudah keluar untuk memenuhi kebutuhannya setelah diwajibkannya hijab atas istri-istri Nabi--pada saat itu perempuan-perempuan berjalan keluar ke kota pada sore hari untuk memenuhui kebutuhannya. Kemudian Umar melihat Saudah. Ia berkata, ‘Wahai Saudah, apa yang kamu sembunyikan dari kami? Maka telitilah apa yang kamu pakaikan untuk kamu pergi keluar.’ Masalah itu diadukan Saudah kepada Rasullah. Maka turunlah wahyu kepada Nabi Muhhammad dan beliaupun berkata, ‘Sesungguhnya Allah mengizinkan kalian (perempuan) untuk keluar memenuhi kebutuhan kalian.” (H.R Al-Bukhari Nomor 4421). Muhammad Sahrur mencatat beberapa aspek yang sangat penting terkait ayat tersebut serta asbabun nuzul-nya. Ayat itu berbicara kepada Rasulullah dalam wilayah nubuwwah (ya ayyuhan-nabi). Ayat itu turun dalam kondisi objektif yang berlaku pada masa Nabi. Oleh sebab itu, ayat di atas hanya berfungsi sebagai ayat ta’lim (pengajaran). Bukan sebagai ayat yang dapat dijadikan dasar penetapan hukum (tashri’yah). Dalam konteks ayat tersebut, diterangkan tata cara bepergian seorang perempuan sesuai kebiasaan setempat. Tujuannya supaya terhindar dari gangguan sosial. Ketiga, surah An-Nur ayat 31 yang artinya, “Katakanlah kepada wanita yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang biasa nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya dan jangalah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, putra-putra mereka, putra-putra suami mereka, putra-putra saudara mereka, wanita-wanita Islam, budak-budak yang mereka miliki, pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan terhadap wanita, dan anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan jangalah mereka memukulkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” Sebab-sebab turunya ayat tersebut dijelaskan Muqatil ibn Sulaiman, “Telah sampai kabar kepada kami bahwa Jabir Ibn Abd Allah berkata bahwa Asma Binti Murtad sedang berada di kebun kurma miliknya. Ia mengundang beberapa teman perempuannya untuk masuk ke dalamnya. Tetapi karena mereka tidak mengenakan kain penutup kaki sehingga gelang kaki mereka kelihatan. Demikian juga gulungan rambut dan bagian dada mereka terlihat. Kemudian Asma berkata “alangkah buruknya ini’. Kemudian turunlah ayat tentang hal ini.” Selanjutnya diriwayatkan Ibn Jarir dari Hadrami bahwa seorang perempuan mengambil mata uang yang terbuat dari emas untuk dibuat menjadi sebuah cincin. Ia berjalan di depan sekelompok orang. Kemudian menghentak-hentakkan kakinya. Sehingga membunyikan lonceng gelang kakinya. Dari dari beberapa paparan di atas, Muhammad Sahrur menyimpulkan konsekuensi perbedaan dalam persoalan pakaian dan hijab antara perempuan merdeka dan perempuan budak adalah bukan merupakan suatu beban syariat bagi perempuan. Akan tetapi standar kesopanan yang dituntut pola kehidupan sosial yang berubah-ubah. Perempuan mukminah hendaknya mengenakan pakaian luarnya dan melakukan aktivitas sesuai kebiasaan yang berlaku di masyarakat setempat. Agar perempuan tidak menjadi bahan celaan dan gangguan. Jika ia tidak melakukan hal demikian, maka ia akan mendapat gangguan sosial. Hal inilah satu-satunya bentuk hukuman yang diterimanya. Dalam hal ini Allah tidak menetapkan pahala maupun hukuman tertentu baginya. Bagaimana batas maksimal berpakaian seorang perempuan supaya tidak dihukumi berlebihan? Nabi Muhammad menetapkan melalui sabdanya, “Seluruh tubuh perempuan adalah aurat selain wajah dan kedua telapak tangannya.” Nabi Muhammad telah memberikan tuntunan kepada para perempuan. Agar menutup seluruh tubuhnya. Fungsinya sebagai bentuk batas maksimal. Nabi tidak membolehkan perempuan menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Karena wajah adalah salah satu ciri khasnya. Muhammad Sahrul mengungkapkan, jika seorang perempuan keluar dengan berpakaian yang hanya menutup daerah intim bagian bawahnya saja, maka dia telah keluar dari batasan Allah SWT. Dalam hal ini ia berpegang pada surah Al-Ahzab ayat 59. Yang memberikan batasan maksimal berpakaian. Yakni seluruh bagian tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan. Adapun batas minimalnya adalah daerah dada, bagian tubuh yang terbuka, bawah ketiak, serta kemaluan dan pantat. Ia juga berpendapat, fitrah manusia dalam berpakaian ditentukan batasan maksimal dan batasan minimal. Dalam hal ini konsep pemberlakuan elastisitas yang tetap berpegang teguh pada batasan dari Allah dan Rasullah. Sebagaimana diterangkan dalam surah Al-Ahzab ayat 59. (qn/*Mahasiswi Universitas Islam Indonesia Yogyakarta)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: