Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?
PLTU Teluk Balikpapan telah menerapkan kebijakan Co-Firing sejak akhir tahun 2022.-(Disway Kaltim/ Salsa)-
“Ini bukan hanya masalah dari PLTU, tetapi dari semua perusahaan. Jika limbah minyak terlihat jelas, limbah batubara dari PLTU tidak tampak alirannya ke mana,” tegasnya.
Persoalan lain yang dihadapi nelayan adalah debu pembakaran PLTU yang mengancam kesehatan.-(Disway Kaltim/ Salsa)-
Minim Dukungan Pemerintah Daerah
Implementasi kebijakan Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan juga dihadapkan pada minimnya dukungan dari pemerintah daerah.
Anggi dari Forest Watch Indonesia (FWI) menegaskan, program ini berjalan secara top-down dari PLN tanpa keterlibatan pemerintah setempat dalam pengawasan dan mitigasi dampak lingkungan.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait kesiapan mitigasi risiko, terutama dalam pengawasan lingkungan dan keamanan operasional.
Selain itu, koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dalam kebijakan energi ini terlihat kurang harmonis dan tidak terintegrasi, berdampak pada ketidaksesuaian antara kebijakan pusat dan kebutuhan atau kesiapan di daerah.
Misalnya, pemerintah daerah belum memiliki regulasi dan perangkat yang cukup untuk menangani aspek pemantauan lingkungan, seperti Rencana Kelola Lingkungan (RKL), Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).
“Sejalan dengan target PLN untuk mencapai bauran energi hingga 5-10 persen dari biomassa di 52 PLTU pada tahun 2025, co-firing tampaknya dicanangkan secara ambisius,” ujarnya.
Kendati demikian, Anggi menilai bahwa program ini terkesan dipaksakan tanpa memperhitungkan kesiapan sumber daya manusia, kemampuan pemerintah daerah, maupun kesiapan perangkat kebijakan di tingkat lokal.
Seharusnya, penyusunan kebijakan energi ini mengutamakan prinsip partisipatif dengan proses-proses Free, Prior, and Informed Consent (FPIC), di mana publik diajak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan melalui penelitian dan konsultasi yang lebih luas.
Implementasi co-firing sejauh ini juga masih menghadapi masalah dalam pemenuhan bahan baku biomassa.
Karena kurangnya sumber bahan baku yang stabil, PLN mulai mempertimbangkan berbagai alternatif, termasuk penggunaan lahan tidur.
Namun, pemanfaatan lahan ini harus sesuai dengan tata ruang dan prinsip-prinsip konservasi lingkungan, seperti perlindungan sumber air dan tanah.
Potensi ancaman ekologi dari program co-firing ini dikhawatirkan akan menimbulkan masalah baru di sektor lingkungan, misalnya risiko alih fungsi ruang terbuka hijau (RTH) untuk memenuhi kebutuhan bahan baku biomassa.
Anggi juga menyebut adanya kekhawatiran akan potensi alih fungsi lahan mangrove di kawasan Teluk Balikpapan, yang memiliki peran penting dalam ekosistem pesisir.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: