Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?

Co-Firing di PLTU Teluk Balikpapan, Transisi Energi atau Ancaman Ekologi?

PLTU Teluk Balikpapan telah menerapkan kebijakan Co-Firing sejak akhir tahun 2022.-(Disway Kaltim/ Salsa)-



Nelayan mengaku area tangkap ikan mereka kian menyempit di Teluk Balikpapan. -(Disway Kaltim/ Salsa)-

Permasalahan Ekonomi dan Lingkungan

Dampak lingkungan dari aktivitas PLTU yang masih dominan menggunakan batu bara juga menjadi perhatian. 

Di tengah desiran ombak dan riuhnya kehidupan pesisir, nelayan-nelayan di Teluk Balikpapan kini menghadapi tantangan yang semakin berat. 

Kehadiran perusahaan-perusahaan besar seperti PLTU Co-Firing Teluk Balikpapan, Petrosea, dan BCT tidak hanya mengubah wajah lingkungan, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup mereka. 

Bilal, salah seorang nelayan, merasakan dampak langsung dari aktivitas perusahaan-perusahaan ini.

"Kami hanya diberi jarak 100 meter dari jeti perusahaan. Jika itu yang ditetapkan, kami mau ke mana?" keluh Bilal dengan nada pasrah. 

Jarak tersebut seakan mengurung mereka dalam area yang semakin menyempit, membuat aktivitas menangkap ikan menjadi semakin sulit. 

Ia merasa bahwa semua perusahaan yang beroperasi di sekitar mereka memiliki dampak yang signifikan terhadap hasil tangkapan nelayan.

Meskipun PLTU Co-Firing menggunakan campuran biomassa dari limbah kayu, sebagian besar bahan baku yang diandalkan tetap batu bara. Ini menjadi sumber keprihatinan bagi Bilal dan rekan-rekannya. 

Setiap hari, mereka harus menghirup asap pembakaran dan debu batu bara yang melayang dari cerobong asap PLTU. 

“Debu itu dari boiler yang dibakar, terbang ke udara, dan dibawa angin utara ke sini. Kami hanya bisa pasrah dengan nasib,” katanya.

Bau batu bara yang menyengat seolah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Masyarakat pesisir merasa terpaksa untuk tetap beraktivitas, meskipun khawatir dengan dampak polusi yang mengintai. 

“Kalau kami takut dengan baunya, kami tidak bisa beraktivitas di laut. Mau tidak mau, kami harus menerima keadaan ini,” ungkapnya.

Limbah batu bara yang dihasilkan oleh PLTU juga menjadi ancaman serius bagi hasil tangkapan nelayan. Nelayan-nelayan di Teluk Balikpapan, yang berada di ring satu, jelas menjadi pihak yang paling merasakan dampak dari keberadaan perusahaan-perusahaan tersebut.

Bilal mengakui bahwa ia belum mengetahui dengan pasti jarak antara tempat tinggalnya dan perusahaan-perusahaan tersebut, tetapi satu hal yang jelas: nelayan adalah pihak yang merasakan dampak langsung. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: