Netralitas TNI, Polri, dan ASN di Pilkada

Netralitas TNI, Polri, dan ASN di Pilkada

OLEH: WAMUSTOFA HAMZAH* Setiap warga negara memiliki hak memilih dan dipilih. Yang dijamin berbagai instrumen hukum yang berlaku secara nasional maupun internasional. Pasal 21 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan, “1. Setiap orang berhak turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun dengan perantaraan wakil-wakil yang dipilih dengan bebas; 2. Setiap orang berhak atas kesempatan yang sama untuk diangkat dalam jabatan pemerintahan negerinya.” Kemudian Pasal 28D ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.” Sementara Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyebut, “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Tapi apakah instrumen hukum tersebut berlaku mutlak bagi anggota TNI, Polri, dan Aparatur Sipil Negara (ASN)? Ada beberapa aturan perundang-undangan yang melarang TNI, Polti, dan ASN untuk menggunakan hak politiknya. Dalam Pasal 28 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyatakan, “Polri bersikap netral dalam kehidupan politik dan tidak melibatkan diri pada kegiatan politik praktis serta tidak menggunakan hak memilih dan dipilih. Serta anggota Polri dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pension dari dinas kepolisian.” Dalam Pasal 39 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI disebutkan, “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis.” Kemudian di Pasal 47 ayat (1) menegaskan, “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan.” Sementara Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 Tentang AS menyatakan, “Pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.” Di Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Tahun 2014 tentang AS menegaskan, “Pegawai ASN dari PNS yang mencalonkan diri atau dicalonkan menjadi Presiden dan Wakil Presiden; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat; ketua, wakil ketua, dan anggota Dewan Perwakilan Daerah; gubernur dan wakil gubernur; bupati/wali kota dan wakil bupati/wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS sejak mendaftar sebagai calon.” Jika mengacu aturan perundang-undangan tersebut, maka cukup jelas ada pembatasan hak politik untuk memilih dan dipilih bagi TNI, Polri dan ASN. Apabila mereka berkeinginan terlibat dalam kegiatan politik praktis, maka mereka harus mengundurkan diri atau pensiun. Namun jika mengacu pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 41/PUU-XII/2014. Yang menyatakan Pasal 119 dan Pasal 123 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai pengunduran diri secara tertulis sebagai PNS dilakukan sejak ditetapkan sebagai calon peserta Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wali Kota, Pemilu Presiden/Wakil Presiden, serta Pemilu Anggota DPR, DPRD dan DPD. Pun tertuang dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang, “Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama untuk mencalonkan diri dan dicalonkan sebagai Kepala Daerah. Bagi Anggota TNI, Polri dan ASN harus mengundurkan diri dari TNI, Polri dan ASN sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan”. Putusan MK dan undang-undang pemilihan kepala daerah yang tersebut memberikan ruang atau hak politik untuk memilih dan dipilih kepada TNI, Polri, dan ASN. Untuk maju sebagai kepala daerah. Meskipun mereka harus mengundurkan diri atau sudah pensiun sejak ditetapkan sebagai calon peserta pemilihan. Bawaslu sebagai lembaga pengawas pemilu yang memiliki kewenangan melakukan pengawasan terhadap netralitas TNI, Polri dan ASN harus tepat menerapkan hukum dan memilah antara ranah hak politik dan ranah netralitasnya. Bakal calon kepala daerah yang berasal dari TNI, Polri dan ASN yang belum ditetapkan sebagai calon kepala daerah oleh KPU, berarti masih terikat dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di dalam instansinya. Sementara mereka harus mendapatkan dukungan sebagai calon kepala daerah dari partai politik sebagai pengusung atau dukungan dari masyarakat dengan mengumpulkan KTP bagi calon independen. Untuk mendapatkan dukungan tersebut, mereka harus melakukan kerja-kerja politik. Kerja politik yang dimaksud bisa berupa pendekatan dengan partai politik dan pertemuan-pertemuan dengan masyarakat. Di dalam kerja-kerja politik tersebut berpotensi terjadi pelanggaran netralitas TNI, Polri, dan ASN. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa TNI, Polri, dan ASN memiliki hak politik untuk memilih dan dipilih setelah mengundurkan diri atau pensiun dari instansinya. Oleh karena itu, bagi setiap anggota TNI, Polri, dan ASN yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan belum pensiun atau mengundurkan diri dari instansinya, masih terikat dengan aturan perundang-undangan yang berlaku di dalam intansinya. Yang berarti wajib menjaga netralitas dan tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis dan/atau melakukan pendekatan dengan partai politik. Kerja politik yang dilakukan TNI, Polri, dan ASN yang akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah sangat berpotensi menimbulkan pelanggaran netralitas TNI, Polri dan ASN. Baik yang dilakukan bakal calon itu maupun tim sukses yang berasal dari instansinya. Karenanya, Bawaslu perlu melakukan koordinasi dan mengimbau instansi TNI, Polri, dan Komisi ASN sebagai langkah persuasif atau pencegahan pelanggaran pemilihan. Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengawasi dan menindaklanjuti dugaan pelanggaran yang ditemukan oleh pengawas pemilihan atau laporan dari masyarakat. Temuan seperti apa dan tindak lanjut yang bagaimana yang dapat dilakukan Bawaslu dalam mengawasi anggota TNI, Polri dan ASN yang mencalonkan diri sebagai kepala daerah? Berdasarkan putusan MK Nomor 41/PUU-XII/2014 dan Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Menjadi Undang-Undang, anggota TNI, Polri, dan ASN memiliki hak politik untuk mengajukan diri sebagai bakal calon kepala daerah. Pencalonan mereka bukan pelanggaran pemilihan kepala daerah. Akan menjadi temuan atau laporan dugaan pelanggaran apabila dalam masa pencalonan, mereka melanggar asas netralitas yang disebutkan Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014; melanggar kode etik Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode Etik PNS, dan melanggar disiplin PNS yang disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin PNS. Terhadap temuan atau laporan tersebut, Bawaslu menindaklanjutinya berdasarkan apa yang telah ditetapkan dalam Peraturan Bawaslu Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pengawasan Netralitas ASN, TNI dan Polri. Juga Peraturan Bawaslu Nomor 14 Tahun 2017 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Kepala Daerah. Bawaslu memeriksa pihak-pihak yang terkait untuk dimintai klarifikasi, melakukan kajian dan membuat rekomendasi yang disampaikan kepada instansi TNI, Polri, dan ASN. Karena kewenangan memberikan sanksi ada pada instansinya masing-masing. (qn/*Koordinator Bidang Penindakan Pelanggaran Bawaslu Kota Balikpapan)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: