Urgensi Netralitas ASN di Pilkada Kukar

Urgensi Netralitas ASN di Pilkada Kukar

OLEH: MARTAIN* Penyelenggaraan kenduri demokrasi di daerah ini tak ada habis-habisnya. Pada 2018, kita disuguhkan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim periode 2018-2023. Kemudian 2019, kita kembali disuguhkan dengan menu yang tak kalah menarik. Secara serentak diselenggarakan Pemilihan DPR, DPD, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota, serta Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019-2024. Pada 23 September 2020, kita akan melaksanakan pemilihan kepala daerah. Berdasarkan data Komisi Aparatur Sipil Negara Republik Indonesia (KASN RI), pada 2020 akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah di 271 daerah. Dengan rincian sembilan daerah di tingkat provinsi, 224 pada tingkat kabupaten, dan 37 kota serta satu daerah pemilihan kepala daerah ulang tingkat kota. Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) adalah satu dari 224 kabupaten yang akan melaksanakan kenduri demokrasi ini. Menurut laporan Kinerja Tahunan Bawaslu RI pada 2019, Indeks Kerawanan Pemilu 2019 dilihat dari empat variabel: konteks sosial politik, penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil, kontestasi, dan partisipasi politik. Variabel pertama diturunkan dalam beberapa indikator: orang kuat lokal, kekerabatan politik atau dinasti, mobilisasi dengan politik uang, kelompok bisnis, tidak netralnya ASN, dan mobilisasi dengan ancama atau intimidasi. Variabel ini memperlihatkan 63,40 persen ASN tidak netral. Hal ini tentu cukup mengkhawatirkan. Mengingat posisi mereka sebagai pelayan publik yang dituntut netral dan profesional serta tidak terlibat politik praktis. Fakta ini tidak menutup kemungkinan terjadi di Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kukar. Sebab Kukar memiliki sekira 14 ribu orang ASN. Belum lagi jumlah honorer yang berjumlah sekira 7 ribu orang. Jumlah ini tentu tak mengkhwatirkan bila semua ASN benar-benar memahami sumpahnya sebagai ASN. Siapa yang bisa menjamin netralitas mereka? Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 pasal 66 dijelaskan, ASN akan senantiasa menjaga kehormatan negara, pemerintah, dan martabat pegawai negeri serta akan senantiasa mengutamakan kepentingan negara daripada kepentingan diri sendiri, seseorang atau golongan. Begitu pula dalam Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010. Terdapat beberapa larangan. Di antaranya ASN tidak boleh berafialiasi dengan partai politik tertentu, ASN dilarang menjadi penyelenggara maupun peserta kampanye calon, dilarang membuat kegiatan yang menjurus pada keberpihakan politik, dan dilarang menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Benar secara regulatif AS telah dilarang terlibat dalam politik praktis. Namun realitas di lapangan berbeda. Masih banyak ditemukan oknum ASN yang berafiliasi kepada calon tertentu. Mereka secara tertutup mengampanyekan calon tertentu ataupun membicarakan pilihan politiknya. Data yang telah dirilis Bawaslu RI di atas memperlihatkan peran ASN masuk dalam salah satu titik rawan pemilu. Sehingga perlu mendapatkan perhatian secara khusus dan komprehensif. Banyak alasan tentunya. Mengapa ASN berani kucing-kucingan dalam kontestasi demokrasi. Khususnya dalam pemilihan kepala daerah. Antara lain untuk mendapatkan atau tetap mempertahankan jabatan dan mendapatkan proyek. Hasil kajian KASN misalnya. Pada 2018 KASN mencatat 43,4 persen motif ASN tidak netral adalah untuk mendapatkan atau mempertahankan jabatan dan mendapatkan proyek serta ke kurang pemahaman terhadap regulasi tentang ASN. Padahal jika ASN benar-benar memahami posisinya sebagai ASN, maka tak semestinya mereka takut kehilangan jabatan. Undang-Undang ASN dan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2017 menegaskan, jabatan ASN telah dijamin dengan sistem kualifikasi kerja dan kompetensi yang dimilikinya. Sehingga tidak ada lagi alasan ASN tidak netral. Karena itu, pada pemilihan kepala daerah di Kukar, diharapkan ASN benar-benar menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai ASN. Tanpa bermain politik praktis. Yang justru mengancam karir kepegawaiannya. Diimbau kepada seluruh ASN di Kukar, kiranya tetap bekerja secara profesional, netral, dan tidak memihak kepada calon tertentu, serta tetap menjalankan fungsinya sebagai pelayan publik. Begitu juga pihak-pihak lain yang dilarang menurut regulasi. Seperti kepala desa dan perangkat desa, Badan Permusyawaratan Desa, kepala dusun, kepolisian, TNI, dan penyelenggara pemilu. Agar menjaga diri dan keluarganya dari jeratan kepentingan Pilkada sesaat. Sebab sanksinya cukup variatif. Dari yang ringan sampai berat. Pada 23 September 2020 akan dapat memilih Bupati Kukar yang terbaik. Yang dipilih secara demokratis, jujur, adil, langsung, umum, bebas dan rahasia. (qn/*Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unikarta Tenggarong)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: