Banjir Melanda, Rakyat Menderita

Banjir Melanda, Rakyat Menderita

ANCAMAN terbesar saat hujan deras bagi Balikpapan adalah banjir. Sehingga perlu dilakukan langkah penanggulangan. Salah satu proyek normalisasi drainase dan gorong-gorong seperti di Jalan Jenderal Sudirman dengan Balikpapan Super Block, Jalan S Parman Gunung Malang, hingga di Jalan Indrakilla Balikpapan Utara. Anggota DPRD Balikpapan, Syukri Wahid menyebut, anggaran penanganan banjir sebesar Rp 123 miliar. Telah dimasukkan dalam rencana strategis Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum. Pada dasarnya kebutuhan anggaran penanganan banjir mencapai Rp 600 miliar. Anggaran ini sudah termasuk pembebasan lahan di kawasan Sungai Ampal. Artinya, bila pemerintah pusat membantu Rp 300 miliar, berarti sudah mencakup 50 persen kebutuhan anggaran daerah. Apalagi menurut Syukri, penyelesaian masalah banjir ini masuk dalam rencana strategis jangka panjang. Dilihat besaran anggaran yang dibutuhkan dalam penanggulangan banjir, tentu akan muncul pertanyaan. Mampukah pemerintah mengatasi masalah banjir bak langganan setiap tahun? Penulis beranggapan, penggunaan dana sebesar apa pun tidak akan mampu menjadi solusi tuntas dalam penanganan banjir. Dalam mengatasi banjir, pemerintah perlu mencari akar masalahnya. Sejatinya hujan merupakan rahmat dari Allah SWT. Namun belakangan ini, hujan menimbulkan derita bagi masyarakat. Hal ini tidak terlepas dari minimnya kesadaran individu. Yang tidak menjaga lingkungan. Sehingga hujan bukan lagi sebagai rahmat. Melainkan penyebab bencana banjir. Jika ditelisik lebih dalam, sejatinya banjir saat ini merupakan teguran dari Allah SWT. Karena manusia sudah banyak meninggalkan aturan-Nya. Negara menerapkan sistem sekuler-kapitalis dalam mengatur urusan umat. Buktinya, pembangunan dan pembukaan lahan yang massif mengakibatkan banjir yang selalu berulang saban tahun. Diperparah kebijakan pengelolan Sumber Daya Alam (SDA) yang berlandaskan konsepsi liberal. Dengan pengaturan yang serba liberalistik tersebut, banjir akan selalu berulang karena solusi dari penguasa tidak menyelesaikan akar penyebab banjir. Dalam jangka panjang, tidak menutup kemungkinan pula masyarakat akan menghadapi krisis air bersih, kekeringan di musim kemarau, dan sederet problem lainnya. Sistem ini sesungguhnya merusak dan menyusahkan. Dalam sistem ini semua diatur dan diputuskan berdasarkan asas manfaat. Sehingga yang mendapatkan keuntungan hanyalah para pemilik modal, swasta, dan asing. Prinsip ekonomi kapitalis selalu mengejar keuntungan pada setiap aspek kehidupan. Tidak pernah berpihak pada rakyat kecil. Apalagi lingkungan. Eksploitasi SDA secara serampangan di Kaltim pada dasarnya bertentangan dengan sistem Islam. Islam mengatur aspek ibadah dan kehidupan manusia. Termasuk mengatur kepemilikan, pengelolaan SDA, politik, dan lain sebagainya. Dalam Islam, SDA merupakan kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola negara dan hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat. Sebaliknya, haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta, dan asing. Agama ini sungguh dengan sangat jelas mengatur pemanfaatan SDA yang merupakan rahmat dari Allah SWT. Dalam sistem Islam, pembangunan kota pun diatur dengan baik. Tidak dengan didasarkan keinginan individu, penguasa, dan pengusaha. Kembali pada sistem Islam merupakan satu-satunya solusi yang akan menyelesaikan masalah banjir yang kerap terjadi dan berulang. Pengelolaan SDA secara islami akan membawa kebaikan bagi seluruh makhluk. Karena sejatinya hujan merupakan berkah dari Allah SWT. Bukan musibah. Wallahua'lam. (qn)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: