2020 (Tetap) Tahun Politik di Kaltim

2020 (Tetap) Tahun Politik di Kaltim

GEGAP gempita menyambut tahun baru 2020 baru saja berlalu. Kemarin, momen 1 Januari 2020 sebagai lonceng pertanda datangnya tahun baru telah berdentang. Tahun 2019 sebagai tahun politik dan hiruk pikuknya memberikan warna bagi bangsa Indonesia. Kengerian yang diprediksi akhirnya tak terbukti, meski hawa panasnya dapat dirasakan. Tahun 2020 sebenarnya (juga) tahun politik. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) terjadi di 170 kabupaten/kota dan provinsi di Indonesia yang melibatkan lebih dari 107 juta pemilih. Kaltim akan melaksanakan pilkada di sembilan kabupaten/kota kecuali Kabupaten Penajam Paser Utara. Nuansa tahun politik yang dirasakan pada tahun 2019 agaknya masih akan merambat pada 2020. Pemilu 2019 adalah pemilu bersejarah dalam perjalanan demokrasi bangsa Indonesia. Satu sisi, pemilihan legislatif dan pemilihan presiden secara serentak pada pemilu 2019 meningkatkan partisipasi pemilih hingga 81 persen. Tapi di sisi lain, kerumitan pemilu menjadi salah satu sebab banyaknya korban jiwa. Tak kurang dari 554 penyelenggara pemilu yang meninggal dunia. Di Kaltim sendiri yang meninggal dunia mencapai 10 jiwa. Meski kegaduhan kampanye yang panjang dapat diredam hingga menciptakan kondusifitas, tapi penyelenggaraan pemilu juga diwarnai pelbagai pelanggaran pada tahapan pemilu. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mencatat pelanggaran dibagi pada pelanggaran pidana, administratif, etik atau pelanggaran peraturan lainnya, seperti netralitas aparatur sipil negara (ASN). Pelanggaran pidana pemilu ada 380 perkara berdasarkan putusan pidana pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Pelanggaran administratif adalah pelanggaran terbanyak. Angkanya mencapai 16.124 perkara. Kemudian, pelanggaran etik penyelenggara pemilu sebanyak 373 perkara, sementara pelanggaran netralitas ASN tercatat 466 pelanggaran. Sementara penanganan pelanggaran pemilu oleh Bawaslu Kaltim mencatat pelanggaran pidana 6 perkara, pelanggaran administratif 85 perkara termasuk mencoret 7 caleg sebagai peserta pemilu. Pelanggaran yang melibatkan ASN sebanyak 19 pelanggaran dan 6 pelanggaran etik penyelenggara pemilu. Sejumlah fakta pelanggaran yang terjadi sepanjang pemilu 2019 menyumbangkan kekhawatiran pilkada yang jujur dan adil termasuk pilkada sejumlah kab./kota di Kaltim. Akankah pilkada berlangsung secara jurdil. Melalui pilkada yang jurdil harapannya menghasilkan pemimpin yang berintegritas. Mencari pemimpin yang memiliki integritas menjadi ujian dalam proses elektoral lokal. Dampaknya akan sangat terasa bagi pembangunan daerah dan masyarakat yang semuanya berpulang pada pemimpin yang berintegritas. Penegakan Hukum Pilkada Tak dapat dipungkiri telah terjadi polarisasi masyarakat dalam kontestasi elektoral. Tokoh daerah yang ikut dalam pilkada bisa saja menciptakan terbelahnya kelompok masyarakat. Hujatan dan ujaran kebencian menjadi serial cerita di media sosial hingga menjalar ke dunia nyata. Eskalasi politik lokal tak hanya berhenti pada hari pemungutan suara, bahkan akan meningkat saat penetapan hasil pemilihan. Pasca pilkada narasi yang akan bersileweran tentang penyelenggara pilkada curang; Bawaslu tidak adil dan KPU berpihak. Tidak mudah bagi Bawaslu yang diamanatkan undang-undang sebagai penegak hukum pilkada yang berada di garda depan. Sebagai penjaga pintu utama sistem peradilan pilkada terhadap berbagai laporan dan temuan pelanggaran. Baik yang sifatnya pidana hingga administratif yang bersifat terstruktur, sistematis dan masif dengan melibatkan aparat struktural, terencana dan terjadi di banyak wilayah. Di satu sisi penindakan yang cepat dalam proses tindak pidana pilkada sangat diperlukan, mengingat waktu yang terbatas guna mendapat kepastian hukum. Sementara di sisi lain, pemeriksaan yang sangat singkat ternyata menyulitkan dalam pembuktian adanya tindak pidana. Dalam konteks demikian, Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dalam sentra gakkumdu harus bertindak secara professional, sehingga perkara tindak pidana pemilu dapat dibuktikan baik formil maupun materiil. Masih dalam konteks penegakan hukum pilkada, kendati UU Pilkada menjelaskan penyelesaian sengketa proses berada pada dua ranah penegak hukum. Bawaslu di kab./kota yang menyelenggarakan Pilkada pada tahap pertama dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) pada tahap berikutnya. Sistem hukum ini tidak lain adalah upaya memindahkan peradilan jalanan menjadi peradilan yang lebih bermartabat, elegan dan konstitusional. Akhirnya, tahun 2020 akan tetap menjadi tahun politik di Kaltim. Pilkada di Kaltim sebagai harapan lahirnya pemimpin yang berkualitas dimulai dari cara berkontestasi dengan integritas para kandidat. Tentu kondusifitas Kaltim yang selama ini terjaga dengan baik perlu komitmen kuat dari semua pihak termasuk kerja prima dari penyelenggara pilkada. Kita semua berharap konsolidasi demokrasi di Kaltim akan semakin meningkat dengan penegakan hukum baik pada saat pilkada maupun saat setelahnya dan perlindungan hak-hak sipil. (*/Anggota Bawaslu Provinsi Kaltim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: