Negeri Karamumus dan Sungai Karang Mumus
SUNGAI Karang Mumus pada masa belum dikenalnya nama Samarinda, merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat di bantaran anak Sungai Mahakam tersebut. Selain sebagai prasarana mandi, cuci, kakus (MCK), airnya juga untuk konsumsi sehari-hari. Sumber sejarah untuk kampung kuno Karang Mumus adalah kitab klasik beraksara Arab Melayu berjudul Salasilah Raja dalam Negeri Kutai Kertanegara. Kitab ini selesai ditulis oleh Khatib Muhammad Thahir pada 1849. Thahir adalah seorang Banjar yang bekerja sebagai juru tulis Kerajaan Kutai Kertanegara. Kitab yang populer disebut Salasilah Kutai ini mencatat nama “Karamumus” sebagai satu dari enam negeri atau kampung awal yang terdapat di kawasan yang kini disebut Samarinda. Eksistensinya minimal sejak abad ke-13 Masehi alias menjelang berdirinya Kerajaan Kutai Kertanegara di Kutai Lama. Penyebutan nama lokasi di tikungan Mahakam ini tempo dulu adalah Karamumus, bukan Karang Mumus. Saya memiliki duplikat kitab Salasilah Kutai. Adapun benda fisik kitab yang asli tersimpan di Perpustakaan Berlin Jerman, tidak ada di Indonesia. Pada halaman ke-16, terdapat penulisan sebuah negeri yang abjadnya terdiri atas tujuh huruf Arab. Ketujuh huruf tersebut secara berurutan yaitu kaf, ra, mim, waw, mim, waw, dan sin. Tidak ada huruf Arab Melayu “nga” di antara ra dan mim. Abjadnya jelas terbaca Karamumus, bukan Karang Mumus. Tradisi lisan mengungkapkan, nama Karamumus berasal dari bahasa Banjar atau Melayu. Karamumus berasal dari dua kata, “karam” dan “lumus”. Karam artinya tenggelam. Lumus artinya habis atau lenyap. Boleh jadi asal usulnya dari peristiwa perahu, jukung atau kapal yang tenggelam di sungai ini. Bisa juga dari peristiwa korban jiwa tenggelam dan hilangnya jenazah tanpa ditemukan. Kitab Salasilah Kutai tidak merinci siapa penduduk Karang Mumus abad ke-13. Namun, mengingat saat itu Kerajaan Kutai Kertanegara belum berdiri, sedangkan di pedalaman terdapat pusat Kerajaan Kutai Martapura Dinasti Mulawarman, dan belum ada informasi tentang bermukimnya para pendatang dari pulau seberang Kalimantan. Maka dapat diinterpretasikan bahwa penduduk Karang Mumus kala itu adalah komunitas Kutai kuno. Dari penamaan Karamumus, tampaknya bahasa sebagai sebuah unsur kebudayaan komunitas primitif ini bersinggungan dengan kebudayaan masyarakat di selatan Kalimantan. Mengapa mereka tidak memilih di tengah kota? Ketika Samarinda belum menjadi kota, maka pilihan lokasi permukiman adalah kawasan yang dekat dengan sungai. Ini adalah karakteristik masyarakat Kalimantan klasik yang bertumpu pada dunia maritim. Sungai adalah sumber kehidupan. Selain Karang Mumus, pemukiman kuno berada di Karang Asam dan Loa Bakung yang memiliki anak Sungai Mahakam, serta Sambutan dan Pulau Atas yang airnya langsung bersumber dari Mahakam. SKM mulai berfungsi sebagai jalur transportasi manusia pada permulaan abad ke-20. Ketika pemukiman di daratan Samarinda kota mulai berkembang dengan keragaman penduduk dari etnis Banjar, Jawa, Tionghoa, dan lainnya. Jalur SKM terhubung dengan Kampung HBS, yakni kawasan seputaran Pasar Pagi, yang rutenya melalui Jalan Pangeran Hidayatullah, Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan KH Khalid, hingga Jalan KH Mas Temenggung. Sampai 1980-an selokan di sisi jalan tersebut sebenarnya merupakan Sungai Karang Mumus yang bisa dilalui ketinting atau perahu bermesin ces. Sayangnya, sejak era 1990-an cabang sungai tersebut tereduksi menjadi sekadar saluran drainase. Lalu, pada dekade kedua abad ke-21, seluruh permukaannya dilapisi penutup beton. Sehingga makin lumuslah jejak sungai tersebut. Kemudian, sejak adanya Pasar Segiri pada era 1980-an, Sungai Karang Mumus juga menjadi jalur transportasi dagang, selain mobilisasi manusia. Sungai Karang Mumus merupakan sebuah anak sungai terbesar dan terpanjang di wilayah Samarinda. Muaranya di Jembatan Selili yang dulu bernama Jembatan Satu. SKM terhubung lagi dengan beberapa cabang dan anak sungai yang mengiris kota. Antara lain Sungai Dama, Sungai Pinang, Sungai Segiri, Sungai Lempake, dan Sungai Siring. Karena banyaknya anak dan cabang sungai ini, pada masa perjuangan kemerdekaan 1945–1949, kondisi ini menguntungkan bagi gerilyawan dalam taktik persembunyian. (/*penulis adalah pemerhati sejarah Kaltim)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: