Belajar dari Gerbong Kereta Bekas Bersama Toto-chan

Belajar dari Gerbong Kereta Bekas Bersama Toto-chan

Anime Toto-chan diangkat dari judul buku yang sama,Totto-chan: The Little Girl at the Window Toto Chan: -tangkapan layar-

Dua tahun setelahnya, musim penghujan 1943, hidup Toto Chan berubah drastis. Usianya sudah beranjak tujuh tahun. Kehidupan ekonomi keluarga mereka susah. Tidak ada lagi roti karamel yang menjadi teman sarapan. Menu ikan Denbu yang menjadi pelengkap makan siang di sekolah sudah tidak bisa lagi ditemui. 

Di salah satu scene, perang telah mengubah drastis kehidupan masyarakat Tokyo. Korban perang dengan tubuh tidak utuh, menjadi pemandangan harian di sepanjang jalan. 

Toto Chan melihat semua anak-anak seusianya justru bermain perang-perangan. Dengan polosnya anak-anak itu memakai masker lalu memegang senjata dan mengarahkannya ke teman mereka. Dor. Si anak lain berpura-pura kena tembak. Kepala sekolah Kobayashi stress dengan kondisi peperangan. Ujian semakin bertambah ketika Yasuaki, justru meninggal karena sakit yang ia derita. Makin lengkaplah rasa kehilangan itu. 

1945, mendekati akhir perang dunia pertama, kota Tokyo dibombardir oleh sekutu. Sekolah Tomoe memerah. Terbakar oleh api yang jatuh dari langit. Kepala Sekolah Kobayashi hanya terdiam menatap api membumbung menuju angkasa di sekolah yang ia cintai. Tapi optimisme tetap terpancar. Di depan kobaran ia masih berucap, “Sekolah apa lagi yang ingin kita buat setelah ini.” 

Kecintannya kepada anak-anak tetap tidak padam, meski diberangus oleh api yang membara. 

BACA JUGA:Tanamkan Budaya Membaca Sejak Dini Serta Menyambut Hari Ibu, Disputakar Gelar Pelatihan Menulis Untuk Anak

Film anime berjudul Toto Chan tadi diangkat berdasar kisah nyata dan dari judul buku yang sama, Totto-chan: The Little Girl at the Window adalah film Jepang yang berjudul asli Madogiwa no Totto-chan. Film biografi ini diangkat dari kisah kehidupan nyata aktris legendaris Jepang, Tetsuko Kuroyanagi. Kisahnya dijadikan novel otobiografi berjudul sama yang terbit pada 1981.

Fitria Ikasari, Divisi Acara Komunitas Samarinda Read Aloud, komunitas yang menyelenggarakan acara nonton bareng Toto Chan sempat sedih dengan jalan cerita anime yang disutradarai Shinnosuke Yakuwa itu. 

“Sedih pas ada yang meninggal. Dari alur filmnya sudah diajarkan bagaimana itu kehilangan. Sedih boleh, kehilangan sesuatu itu its oke,” katanya.  Nobar Toto Chan sendiri digelar di CGV Samarinda, Sabtu 22 Juni 2024.  Meski berkategori semua umu (SU), pihak penyelnggara membatasi hanya anak berusia 7 tahun ke atas yang boleh menonton. Itu pun wajib didampingi orang tua. Dikarenakan ada scene yang harus mendapat penjelasan khusus. 


Nonton bareng Toto Chan bersama Samarinda Read Aloud di CGV Samarinda.-bayong/disway-

“Seperti scene perang dunia dan scene meninggal. Nah disitu perlu bantuan orang tua untuk menjelaskan.” 

 Pelajaran yang bisa diambil dari anime ini cukup banyak. Seperti jangan melihat anak dari sisi kekurangannya saja. Padahal mereka bisa bertumbuh menjadi lebih baik. Orang tua pun harus bisa mengobservasi minat dan bakat si anak. Meski pun itu tidak mudah dan membutuhkan waktu. Orang tua juga harus lebih sering berinteraksi dengan anak-anak mereka.  

“Belum tentu yang bikin ulah, buat noar itu nakal, bisa jadi mereka punya ide tapi tidak bisa diutrakan,” kata Fitria.  

Termasuk karakter anak inklusi atau berkebutuhan khusus yang ditayangkan dalam film. Itu justru menjadi sarana belajar anak-anak agar tidak membeda-bedakan dalam bergaul. Anak-anak jangan diajarkan berinteraksi kepada mereka karena rasa iba semata. 

“Artinya ketika anak-anak kita bertemu denegan mereka, kita bisa memberi tahu bahwa merkea juga sama. Mereka anak-anak difabel juga punya emosi.” 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: