Apakah Serangan Houthi di Laut Merah Efektif Menggoyangkan Ekonomi Israel?
Sebuah kapal kontainer melintasi Teluk Suez menuju Laut Merah sebelum memasuki Terusan Suez, di El Ain El Sokhna di Suez, sebelah timur Kairo, Mesir.-AFP-
NOMORSATUKALTIM – Ketegangan di Laut Merah terus terjadi setelah Houthi menembak sejumlah kapal komersil milik AS dengan rudal balistik, sebagai bentuk protes genosida Israel terhadap Palestina di Gaza. Apakah serangan ini berdampak pada ekonomi Israel. Kata sebagian pengamat, tidak. Untuk jangka pendek.
Sebagaimana diketahui, Houthi telah melakukan puluhan serangan terhadap kapal-kapal komersial yang mereka katakan memiliki hubungan dengan Israel. Termasuk yang melewati selat Bab-el-Mandeb selebar 30 km (20 mil). Mereka menuntut agar Israel menghentikan pemboman Gaza dan mengizinkan bantuan kemanusiaan.
Sebuah koalisi yang dipimpin oleh Amerika Serikat mencoba untuk menghalangi Houthi dengan menempatkan kapal perusak dan platform militer lainnya di Laut Merah. AS juga menembak jatuh rudal dan pesawat tak berawak milik kelompok Yaman tersebut. Namun, Houthi telah menyatakan dengan jelas bahwa mereka tidak berniat untuk berhenti sampai Israel mengakhiri perangnya, yang telah menewaskan hampir 24.000 warga Palestina.
Buntut ketegangan itu, lalu lintas di Laut Merah turun lebih dari 40 persen sehingga mengganggu rantai pasokan global. Beberapa operator pelayaran terbesar di dunia telah mengalihkan kapal-kapal mereka di sekitar Tanjung Harapan di ujung selatan Afrika, sehingga menunda waktu pengiriman dan menambah jarak tempuh menjadi 3.000-3.500 mil laut (6.000 km).
Dikutip al-Jazeera, sejauh ini sebanyak 26 kapal telah diserang oleh Houthi sejak mereka menyita kapal Galaxy Leader yang terkait dengan Israel pada bulan November. Kapal-kapal perang AS di wilayah tersebut telah menggagalkan beberapa serangan lain oleh Houthi.
Laut Merah sendiri menghubungkan Asia dengan Eropa dan Mediterania, melalui Terusan Suez. Saat ini, sekitar 12 persen dari pelayaran dunia melewati Laut Merah, dengan rata-rata sekitar 50 kapal per hari, membawa kargo senilai antara $3 miliar hingga $9 miliar. Secara keseluruhan, nilai barang yang melewati rute ini diperkirakan mencapai lebih dari satu triliun dolar per tahun.
Tidak semua kapal pelayaran terdampak
Pengiriman peti kemas tampaknya yang paling terpukul. Namun, data yang dirilis oleh Reuters awal pekan ini tampaknya menunjukkan bahwa perjalanan kapal tanker minyak hampir tidak terpengaruh.
Data yang dikutip dari MariTrace menunjukkan bahwa, selama Desember 2023 lalu rata-rata 76 kapal pengangkut minyak berada di Laut Merah. hanya dua lebih sedikit dari rata-rata bulan sebelumnya. Pelacak lain melaporkan peningkatan marjinal selama periode yang sama.
Pada awal Januari, Houthi mengumumkan bahwa jika sebuah kapal yang ingin transit di daerah tersebut menyatakan kepemilikan dan tujuannya sebelum memasuki perairan, maka kapal tersebut tidak akan ditembak. Maersk dan Hapag-Lloyd sejak saat itu membantah telah mencapai kesepakatan apa pun dengan kelompok pemberontak.
Apakah serangan-serangan tersebut telah merusak reputasi Israel sebagai mitra dagang yang aman?
Masih dari data al-Jazeera, pertengahan Desember 2023 satu-satunya Pelabuhan Laut Merah Israel tepatnya di Eilat, melaporkan terjadi penurunan aktivitas sebesar 85 persen sejak serangan dimulai
Sementara sebagian besar lalu lintas laut Israel datang melalui pelabuhan Mediterania di Haifa dan Ashdod. Kemudian ekspor kalium Laut Mati, serta impor mobil buatan China dimana 70 persen dari penjualan mobil listrik Israel bergantung pada Eilat
Bagi banyak operator, risiko terhadap kapal dan kru sangat signifikan. Bahkan maskapai penerbangan milik China, Cosco, bersama dengan anak perusahaannya, OOCL menangguhkan sementara waktu pengiriman ke Israel.
Namun, Brad Martin, mantan kapten Angkatan Laut AS dan direktur Institut Keamanan Rantai Pasokan di RAND Corporation memperingatkan agar tidak melebih-lebihkan tantangan di hadapan Israel.
"Gangguan pengiriman Laut Merah, dan bahkan beberapa pengirim yang mengurangi kargo Israel, tidak akan membuat Israel bertekuk lutut secara ekonomi," katanya dikutip Al-Jazeera.
"Arus melalui Mediterania kemungkinan akan terus berlanjut tanpa hambatan. Israel mungkin berada dalam posisi yang lebih baik untuk menyerap gangguan daripada kebanyakan negara tetangganya. Namun, pelayaran dan perdagangan dapat menjadi sasaran tindakan diplomatik dan politik, sehingga isolasi yang merusak secara ekonomi tentu saja dapat terjadi di sisi itu," katanya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: