Ujian Nadiem
BARU menjabat menjadi Menteri Pendidikan, Nadiem Makariem sudah disorot. Kebijakannya menuai kontroversial. Atau bahkan kekecewaan.
Bang Nadiem-saya lebih suka menyebutnya begitu karena usia kami terpaut tipis, tidak sampai satu dasawarsa- konon disebut sebagai perwakilan kalangan milenial. Di kalangan pejabat negara. Menteri pula.
Kekontroversialannya adalah apalagi kalau bukan melanjutkan kebijakan ujian nasional. Kebijakan yang menjadi hantu bagi setiap menteri. Mulai dari namanya Ebtanas. Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional. Hingga menjadi UN.
Mulai dari Menteri Muhammad Nuh, Muhadjir Effendi, sampai Bang Nadiem. Mungkin ia tahu itu. Dia saksi sejarah. Terkait potret pendidikan kita. Yang penuh tanda tanya.
Semula ia punya tekad pembaharu. Layaknya kaum milenial. Seperti saya. Inginnya mengubah sistem. Mendestruksi cara pandang. Dan merekonstruksi ulang menjadi lebih modern. Lebih segar. Tujuannya satu. Agar lepas dari genggaman generasi baby boomers. Atau kalangan tua istilah kerennya.
Dimana cita-citanya adalah menghapus UN. Alasannya katanya sudah tidak relevan diterapkan dalam sistem pendidikan kita. Sistem pendidikan kita harus berbenah. Tidak lagi menjadikan kemampuan kognitif sebagai standar.
Tapi semua hal. Standardisasi itu dianggap menghambat perkembangan anak didik. Sehingga konon katanya menjadi generasi kaku. Nanti tidak bisa membaca perkembangan zaman.
Pendidikan kita harusnya mengarah ke sana. Terlebih latar belakang bang Nadiem adalah pengusaha. Yang cenderung menghindari formalitas. Lebih fokus pada inovasi. Mengedepankan practice atau pengalaman. Lalu hasil akhirnya. Ya, ala-ala milenial gitu.
Lalu, apakah itu akan berjalan? Tahan dulu jawabannya. Bang Nadiem mungkin perwakilan menteri milenial. Bersama staf khusus presiden lainnya. Tapi itu bukan jaminan. Berada di dalam sistem yang masih menghamba pada tatanan sebelumnya.
Ia adalah pengejawantahan right man in the wrong place. Orang hebat di tempat yang tidak tepat. Mau bukti? Tengok saja nanti tahun depan. UN masih berjalan. Penghapusannya ternyata cuma wacana. Yang semula cita-cita kini jadi cuit-cuitan. Cuma berakhir di ujung lisan.
Dan akhirnya kita patut mengeluarkan kata-kata anak kekinian: Hello (entah kata ini masih ngetrend atau tidak) Pak Menteri, eh Abang Menteri.
Bukannya ingin pesimistis. Toh juga baru menjabat beberapa bulan. Ya mungkin saja ini langkah politis Bang Nadiem. Agar kalangan baby boomers di bawahnya tidak kaget. Dengan proyek -eh salah maksud saya program- UN ini.
Dia butuh waktu untuk meyakinkan kalangan-kalangan tua agar visi dan misinya tentang pendidikan bisa diterapkan. Karena bicara pendidikan ini kompleks. Ada pendidikan mental. Karakter. Kurikulum. Dan lain sebagainya.
Belum lagi soal kesejahteraan guru honorer. Pemerataan pendidikan di perbatasan. Semua benang kusut pendidikan itu harus dirajut. Lalu, apakah nanti kurikulum pendidikan kita akan menyisipkan materi entrepreneur? Sehingga anak-anak didik mengerti, bagaimana caranya membangun usaha. Atau mungkin guru honorer juga mau dicetak seperti itu? Jadi pengusaha juga?
Bisa saja UN tetap dijalankan. Tetap jadi standar. Tapi musti ada reward. Yang lulus dengan nilai terbaik dikasih juga modal usaha dong. Agar bisa mempraktikkan kurikulum entrepreneur yang dipelajari di sekolah -Kalau ini jadi diterapkan-.
Karena Bang Nadiem bukanlah juru selamat. Bukan Rakai Pikatan yang bisa membangun Prambanan dalam semalam. Ia hanya Nadien Makariem. Suami dari Franka Franklin. Seorang pengusaha biasa. Yang pekerjanya hampir seperempat penduduk Indonesia.
Ia lelaki yang punya mimpi membangun Indonesia. Lebih santai tapi menuai hasil. Layaknya kaum milenial.
Kita tunggu saja gebrakan dari Bang Nadiem. Apakah ia akan jadi menteri pertama yang out of the box. Atau malah terpaku di sistem yang sama.
Kalau toh tak berubah. Menteri-menteri sebelumnya mungkin akan standing applaus. Lalu berucap: ternyata kita sama saja bro, cuma beda umur. (*)
*/Redaktur Disway Kaltim
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: