Mobil Dinas

Mobil Dinas

Saya pun naik mobil dinas bupati menuju Sampung: 18 km ke arah Sarangan. Sebenarnya naik mobil sendiri lebih enak. Lebih baru. Tapi saya ingin ngobrol sepanjang jalan. Mobilnya: Fortuner. Tahunnya tua: 2005. "Selama empat tahun jadi bupati saya tidak pernah melakukan pembelian mobil dinas baru," ujar Sugiri.

Dari kantor bupati kami menuju arah barat. Melewati jalan raya menuju Purwantoro, Wonogiri. Setelah 8 km dari kota, kami belok kanan. Ke jalan raya menuju Parang, Magetan dan Sarangan. Sepanjang 10 km. Agak mendaki. Ke arah gunung kapur Sampung.

Pun di musim kemarau seperti sekarang, Sampung tidak lagi gersang kerontang seperti dulu. Tidak terlalu pula berdebu.
Kami berhenti di depan warung. Banyak anak kecil. Sugiri merangkuli mereka. Lalu menyalami orang-orang dewasa di desa itu.

Gunung gampingnya (gunung kapur) di belakang kampung ini. Hanya sekitar 500 meter dari jalan raya. Mobil bisa masuk jalan kecil di situ. Mendaki. Sampai: ada kerangka gedung sedang dibangun. Sudah mencapai 9 lantai. Masih akan tambah 14 lantai lagi.

Ternyata proyek ini sudah dimulai.

Saya tidak naik ke atas proyek. Dari kakinya saja saya sudah merasa berada di ketinggian. Bisa menatap lembah di bawah sana. Atau menatap Gunung Wilis di kejauhan.

Saya pilih memasuki lantai dasarnya. Kokoh. Ada bagian untuk lift sebanyak 4 buah. Ada dua tangga naik dan turun di sisi timur dan barat. Lift itu akan membawa turis naik ke patung reog.

Ini pekerjaan besar. Masa jabatan Sugiri akan berakhir tahun depan. Rasanya ia akan maju lagi. Tetap lewat PDI-Perjuangan. Ia ingin menuntaskan proyek yang akan mengubah kemiskinan Sampung selamanya.

"Kampung ini akan diapakan?" tanya saya.

"Kami sudah mendapat persetujuan anggaran dari DPRD. Kampung ini akan direvitalisasi secara tuntas. Akan berubah total. Tidak ada yang digusur," katanya.

Jumlah rumahnya sekitar 200 buah. Bentuk kampung yang baru nanti dibuat serasi dengan Monumen Reog.

Kami pun diskusi untuk langkah-langkah berikutnya. Lalu makan siang di desa itu. Di warung pinggir jalan. Menunya: mentok dibuat rica-rica.

"Bisa makan mentok?" tanya bupati.
"Mau minta sashimi pun kan tidak ada gunanya," jawab saya. Kami tertawa.

Kami berpisah di warung mentok itu. Saya terus ke selatan. Ke pondok Tremas. Pak Iskan pernah mondok di situ. Di sekitar masa perang dunia pertama. Zaman setelah itu ada istilah Pondok 3 T: Tremas, Takeran, Tebuireng. Tremas di Pacitan, Takeran di Magetan, dan Tebuireng di Jombang.

Sampai di Tremas sudah pukul 17.00. Pondok ini maju sekali. Santrinya lebih dari 6.000 orang. Saat saya tiba, upacara penurunan bendera Merah Putih dimulai. Peserta upacaranya santri wanita semua. Hanya pembina upacara yang laki-laki: Kiai Abdillah Nawawi. Pakai jas, sarung, dan kopiah. Suara komandan upacaranya, santri wanita, tidak kalah lantang dengan kolonel yang di Istana Merdeka.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: