Hasil Riset: Industri Sawit Lestarikan Kemiskinan Petani

Hasil Riset: Industri Sawit Lestarikan Kemiskinan Petani

Nomorsatulaltim.com - Sejak beberapa dekade silam, industri sawit dan atau perkebunan kelapa sawit diklaim telah mampu mensejahterakan rakyat. Dari para pekerja, petani, dan  masyarakat di sekitar perkebunan kelapa sawit.

Banyak pihak juga mengklaim industri sawit mampu membuat Indonesia memenuhi target yang ditetapkan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainability Development Goals (TPB/SDGs).

Tapi sejak lama ada pula pendapat berseberangan yang selama ini berkembang terkait perkembangan industri sawit bagi petani.

Di satu sisi, sawit diyakini menyumbang penurunan angka kemiskinan secara signifikan. Sawit juga menyediakan lapangan pekerjaan bagi jutaan juta warga.

Namun, di sisi lain ada juga keyakinan bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit, sebenarnya menciptakan kemiskinan lebih dalam bagi masyarakat.

Poin kedua itu, ditunjukan dari hasil riset para peneliti dan akademisi. Yang sebagiannya  dituangkan dalam buku berjudul: The Paradox of Agrarian Change: Food Security and the Politics of Social Protection in Indonesia.

Buku itu pernah dikupas di Jogja pada medio Januari silam. Buku tersebut hasil penelitian akademisi dari Australia, Indonesia dan Belanda.

Menurut laporan Voa Indonesia, yang disadur media ini pada Rabu (5/4/2023), dijelaskan salah satu peneliti tersebut adalah Henry Sitorus.

Henry dikenal seorang dosen dan peneliti dari Universitas Sumatra Utara. Ia telah melakukan riset di dua kabupaten sentra perkebunan sawit di Sumatera Utara, yaitu di Asahan dan Langkat.

Hasilnya, ungkap Henry, dilihat dari angka stunting yang merepresentasikan kesejahteraan, sawit terbukti tidak berperan banyak setidaknya sejak era 1980-an.

“Di Asahan itu menurut data Riskesdas tahun 2013, bahwa stunting itu 44,7 persen. Sementara di Langkat itu 55,5 persen,” ujar Henry Sitorus.

Ia menekanlan, "Penting untuk dicatat, bahwa dua kawasan ini sebenarnya adalah pusat dari produksi minyak sawit,” tehas Henry.

Sebagai pengingat, Riskesdas akronim dari Riset Kesehatan Dasar, dan menjadi salah satu riset skala nasional yang berbasis komunitas.

Riskesdas dilaksanakan berkala oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI.

Hasil Riskesdas telah banyak dimanfaatkan untuk tujuan perencanaan, pemantauan, dan evaluasi program pembangunan kesehatan baik di tingkat nasional maupun lokal.

Hasil penelitian Henry mencatat, lebih dari 50 persen wilayah lokasi penelitiannya adalah lahan sawit, dengan setidaknya 30 persen lahan itu dikelola petani rakyat atau smallholder.

Bersama John F. McCarthy, peneliti dari Australian National University, Henry memusatkan penelitiannya di dua desa di pusat produksi sawit, untuk membandingkan perubahan yang terjadi.

Dari sisi kemiskinan, data membuktikan di dua wilayah itu jumlah penduduk yang tetap berada di kelompok miskin tetap besar, sehingga dampak perkebunan sawit layak dipertanyakan.

“Yang menarik adalah yang tetap berada dalam kemiskinan, ada 81 persen di Langkat kemudian juga di Asahan itu 41 persen,” ujarnya.

Warga yang bisa lepas dari kemiskinan setelah menerima manfaat dari perkebunan sawit di Langkat hanya 11 persen. Sedangkan di Asahan ada 33 persen.

Ada sejumlah faktor mengapa masyarakat tetap miskin di tengah ekspansi sawit.

Menurut penelitian Henry, faktor itu antara lain posisi tawar petani sawit yang rendah, lahan yang kecil dan harga yang tidak menentu.

Jual beli tandan buah segar (TBS) sawit, kata dia, juga dikooptasi oleh elit tertentu.

“Jadi, ada aspek gangster. Ada kepala preman yang menjadi tauke sawit, itu bahasa Medan-nya, seperti itu. Nah, jadi tauke tapi sekaligus juga elit. Faktor itu mempengaruhi ekonomi masyarakat juga,” tambah Henry.

Selain itu, kebanyakan masyarakat hanya menjadi buruh harian lepas di perkebunan yang sangat rentan posisinya. Pekerjaannya dapat hilang sewaktu-waktu ketika perkebunan tidak membutuhkan. Perusahaan sawit semakin lama juga membutuhkan tenaga kerja dengan kualifikasi lebih baik.

Dosen senior di Departemen Antropologi, Universitas Indonesia, Suraya Abdulwahab Afiff juga mengonfirmasi hasil penelitian itu. Ia  melakukan penelitian terpisah di Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatra Utara.

“Desa ini desa di pinggir PTPN 3. Satu desa sama sekali enggak punya lahan, seperti di Langkat. Dia sebenarnya lahannya dikuasai dan diklaim oleh PTPN 3, sementara desa lain itu punya beberapa lahan yang dia klaim sebagai lahan dia, tapi juga terganggu untuk expand penguasaan lahannya,” ujar Suraya, seperti dalam laporan Voa Indonesia.

Suraya menemukan fakta, bahwa hampir seluruh anak muda di kawasan itu merantau keluar wilayah karena tidak memiliki akses pekerjaan. Perempuan bisa bekerja di perkebunan, sebagai buruh harian lepas dengan upah hanya Rp 5 ribu sehari.

“Tidak ada satupun perempuan yang di-hired sebagai pekerja. Ada sekitar 5.000 warga disana, yang diterima sebagai pekerja betul, pekerja full time cuma 700 orang dan semuanya laki-laki,” imbuhnya.

Guru besar Antropologi, Universitas Gadjah Mada, Pujo Semedi Hargo Yuwono menilai, hasil penelitian ini menggambarkan nasib para petani yang secara sosial ekonomi tertinggal oleh kereta pembangunan.

Mereka menghadapi masalah pangan dan anak-anaknya terancam stunting.

“Paradoknya itu, katanya kita maju, kita makmur, tapi kok masih ada yang stunting dan ketinggalan,” ujarnya.

“Bagaimana bangsa ini menciptakan kemakmuran, pada saat yang sama juga memproduksi kemiskinan,” lanjutnya tentang paradoks yang terjadi.

John F. McCarthy, dari Australian National University sebagai salah satu editor buku hasil penelitian ini merekomendasikan empat langkah untuk mengatasi masalah yang ada.

Pertama, ia menyarankan upaya membangun kapasitas penghidupan, mempertahankan tanah dan ekologi lokal untuk mendukung sistem pangan lokal dan diversifikasi pangan.

Kedua, saran McCarthy, penting bagi Indonesia untuk mengembangkan sistem perlindungan sosial yang lebih inklusif dan adil sesuai kebutuhan lokal.

“Saat ini, Indonesia memiliki sistem perlindungan sosial yang dibawa Bank Dunia dari Amerika Latin. Ini tidak dirancang untuk diterapkan di Indonesia dan kami yakin ini tidak sesuai dengan logika masyarakat lokal di Indonesia,” paparnya.

Masukan ketiga, para ahli berkeyakinan bahwa bantuan sosial tidak akan pernah cukup.

Karena itulah, penting untuk berinvestasi dalam penciptaan nilai dan pembangunan yang inklusif. Usulan terakhir, memahami skenario perubahan di setiap sektor agraria secara khusus.

Di tengah kontroversi, hasil dari industri sawit tetap menjadi salah satu primadona setidaknya dalam empat dekade terakhir.

Di laman Kementerian Pertanian disebutkan bahwa Indonesia menjadi salah satu penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia dengan luasan lahan 16,38 juta hektare dan produksi 46,8 juta ton CPO.

Industri sawit diklaim menyerap 16 juta tenaga kerja, berkontribusi 13,5 persen terhadap ekspor nonmigas dan menyumbang 3,50 persen terhadap total PDB Indonesia.

Dikuasai Asing

Komisi Pengawas Persaingan Usaha Republik Indonesia mengungkap fakta mencengangkan tentang ketimpangan yang tajam ihwal penguasaan lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Sebab, 54,42 persen lahan perkebunan sawit di Indonesia dikuasai oleh investor asing, terutama dari Malaysia. Data ini sebagaimana, dilaporkan Asia Today.

Menurut Direktur Kebijakan Persaingan KPPU, Marcellina Nuring, berdasarkan data yang ada, jumlah pekebun rakyat mencapai 99,92 persen dari total pelaku usaha perkebunan.

Namun, mereka hanya menguasai sekitar 41,35 persen lahan sawit dari total perkebunan sawit nasional.

“Sedangkan jumlah perusahaan perkebunan swasta hanya 0,07 persen dari total pelaku usaha tetapi menguasai lahan seluas 54,42 persen,” terang Marcellina, Selasa (31/5/2022).

Sedangkan perusahaan perkebunan negara hanya 0,01 persen dari toal jumlah pelaku usaha dan menguasai sekitar 4,23 persen lahan

Perusahaan Sawit Terkaya

Mengacu laporan Bursa Efek Indonesia (BEI) beserta data yang disarikan dari annual report (2019), berikut 10 perusahaan sawit terbesar di Indonesia sesuai total pendapatannya:

Sinar Mas Agro Resource and Technology (Rp36,19 triliun).

Astra Argo Lestari (Rp17,45 triliun).

Salim Ivomas Pratama (Rp13,65 triliun).

Dharma Satya Nusantara (Rp5,73 triliun).

PP London Sumatra Indonesia (Rp3,69 triliun).

Sawit Sumbermas Sarana (Rp3,27 triliun).

Sampoerna Agro (Rp3,26 triliun).

Eagle High Plantations (Rp2,51 triliun).

Bakrie Sumatra Plantations (Rp1,98 triliun).

Asutindo Nusantara Jaya, total pendapatannya di tahun 2019 sebesar Rp 1,82 triliun. (*)

Sumber: Voa Indonesia/ Asiatoday/ Annual Report

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: