Dilema Wakil Kepala Daerah: Kuat Secara Legitimasi, Lemah Secara Kewenangan
Oleh : Dwi Farisa Putra Wibowo - Asisten Muda Ombudsman RI SEJAK dulu kala wakil kepala daerah tidak boleh lebih besar dari kepala daerah, tepatnya ketika Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah berlaku. Berbeda dengan kondisi pemerintahan daerah saat ini, posisi wakil kepala daerah dulu kala tidak didudukan sebagai jabatan politis. Melainkan jabatan pendukung yang berasal dari unsur Pegawai Negeri Sipil (PNS). Bahkan posisinya di sesuaikan dengan kebutuhan daerah, bisa ada bisa tidak. Pada Belied itu tepatnya di Pasal 24 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah, setidaknya mengambarkan bahwa posisi wakil kepala daerah eksistensinya tergantung dari kebutuhan kepala daerah. Sebab keberadaan wakil kepala daerah berdasarkan usulan kepala daerah. Pun demikian dengan tugas dan fungsinya wakil kepala daerah. Selain menggantikan kepala daerah jika berhalangan hadir, tugas atau kewenangan lainnya tidak diatur secara jelas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah kala itu. BAGAIMANA KEDUDUKAN HUKUMNYA? Kedudukan dan posisi hukum wakil kepala daerah sangat minim eksistensinya secara norma. Baik berdasarkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebelum amandemen atau pun setelah amandemen. Pun demikian dengan Undang-Undang yang eksis mengatur dasar pelaksanaan tata Kelola penyelenggaraan kepemimpinan daerah. Bila menilik Pasal 18 UUD sebelum amandemen hanya mengatur “Pembagian Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan daerah kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa,” Lalu dalam amandemen UUD tahap II Tahun 2000 Pasal 18 tersebut diubah menjadi beberapa ayat. Salah satunya pasal 18 ayat (4) yang berbunyi “Gubernur, Bupati dan Wali Kota masing masing sebagai kepala pemerintah daerah Provinsi, Kabupaten, dan Kota dipilih secara demokratis”. Norma amandemen Pasal 18 UUD tidak menyebutkan secara eksplisit wakil kepala daerah. Nampaknya para perumus yang berada di Komisi Konstitusi, Tim Ahli/pakar serta Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak melihat wakil kepala daerah sebagai konsep kepemimpinan daerah di era otonomi. Berbeda dengan konsep kepemimpinan nasional yang secara jelas menyebutkan kedudukan Wakil Presiden pada Pasal 4, UUD yang menyatakan “Dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden. Pasca reformasi posisi wakil kepala daerah mulai bergeser dan tidak lagi berdasarkan usulan kepala daerah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang pada pokoknya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dipilih dalam satu paket oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Begitu pula dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merupakan era awal pemilihan secara langsung oleh rakyat, kedudukan Wakil Kepala Daerah menjadi satu kesatuan paket pada pemilihan Kepala Daerah. Satu dekade berlalu. Posisi wakil kepala daerah kembali konsep awal, yakni wakil kepala daerah merupakan usulan kepala daerah. Setidaknya demikian yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Hal ini merespon dinamika sosial dan politik pada Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang berdampak negatif secara sosial di masyarakat. Begitu pula pola hubungan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang disharmoni. Namun keberadaan belied dimaksud hanya seumur jagung. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Perppu ini ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 lalu memasukkan kembali Wakil Kepala Daerah sebagai satu kesatuan paket dalam pemilihan Kepala Daerah, hingga penataan pemilihan Kepala Daerah secara serentak Tahun 2017, 2018, 2020 dan 2024. BAGAIMANA TUGAS WAKIL KEPALA DAERAH? Bila menilik Pasal 66 Ayat 1 Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, tugas utamannya wakil kepala daerah adalah “membantu” kepala daerah dalam kepemimpinan daerah. Setidaknya dalam belied tersebut tergambarkan wakil kepala daerah dilarang “lebih besar”. Gambaraan tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang lebih bersifat kedalam, yakni mengkonsilidasikan internal yakni mengoordinasikan kegiatan Perangkat Daerah maupun menindaklanjuti laporan dan/atau temuan hasil pengawasan aparat pengawasan serta memantau dan mengevaluasi penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Selebihnya kewenangan di kepala daerah, mulai pengusulan, pembahasan dan memutuskan Peraturan Daerah serta pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Bahkan kewenangan kepala daerah sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian yang menentukan “piring nasi” nasib Aparatur Sipil Negara sebagaimana Undang-Undang Nomor 05 Tahun 2014 Tentang Apartur Sipil Negara. Peluang untuk menaikan derajat wakil kepala daerah sebenarnya terbuka jika menilik Pasal 66 Ayat 2 Undang Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Namun sekali lagi hal itu bergantung dari niat baik kepala daerah mau apa tidak mendelegasikan kewenangannya. Pembagian tugas ini setidaknya harus dibahas pada awal kepemimpinan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Setidaknya mengurangi dinamika pemerintahan daerah kedepannya. Namun pandangan ini sangat normatif melihat dalam kaca mata aturan, tentunya sangat berbeda dengan kondisi politik dan dinamika di daerah. Sebenarnya wakil kepala daerah cukup melaksanakan tugas yang ada, tanpa berharap lebih. Sedari awal konsekuensi dari pilihan politik sebagai wakil kepala daerah adalah tidak boleh lebih besar dari kepala daerah. Fenomena wakil kepala daerah “dianggurin” oleh kepala daerah kerap terjadi. Bahkan di Kalimantan Timur, Bupati Penajam Paser Utara melaporkan Wakil Bupati Penajam Paser Utara ke Gubernur pernah terjadi beberapa tahun lalu. Apalagi belakangan lagi hangat di pemberitaan mengenai hubungan Bupati Berau Dan Wakil Bupati Berau yang kurang harmonis akibat mutasi PNS. Drama serupa nampaknya semakin banyak bermunculan ditahun depan, mengingat tahun depan merupakan tahun politik. Oleh karena itu dapat disimpulkan keberadaan wakil kepala daerah merupakan open legal policy pembentuk Undang-undang yakni Pemerintah dan DPR. Adapun dinamika hukum yang ada berimplikasi pada kedudukan tugas dan fungsinya sebagai mitra Kepala Daerah yang tidak tergambar secara jelas. Di sisi lain mekanisme pemilihan satu paket calon kepala daerah dan wakil kepala daerah membuat legitimasi politik wakil kepala daerah kuat. Tentu menjadikan posisi tawar sangat kuat sehingga memunculkan “matahari kembar” dalam pelaksanaan kepemimpinan di daerah.(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: