Catcalling, Bentuk Pelecehan Seksual bagi Kaum Perempuan

Catcalling, Bentuk Pelecehan Seksual bagi Kaum Perempuan

Balikpapan, DiswayKaltim.com - Sebagai kaum perempuan, pernahkah Anda mendapatkan catcalling? Yaitu suatu momen atau kondisi di mana Anda menerima siulan atau komentar laki-laki terhadap penampilan atau tubuh Anda, saat Anda berpapasan atau lewat di depan sekumpulan pria.

Ya, di satu sisi, tindakan yang dilakukan laki-laki itu merupakan candaan semata. Begitu juga anggapan kaum perempuan yang mengalaminya. Di sisi lain, hal itu sebenarnya merupakan pelecahan terhadap kaum perempuan.

Hal ini, menjadi salah satu bahasan dalam diskusi pada kegiatan Ngoplas (Ngobrol dan Ngopi Santai) di Klandasan Coffee, Gedung Klandasan, Jalan Jenderal Sudirman, Jumat (28/6) sore.

Edisi Ngoplas hari itu, bicara tentang feminisme dan tubuh perempuan. Dipandu Vanessa Rossalie, menghadirkan pemantik sekaligus narasumber penggiat dan pemerhati isu perempuan. Mereka adalah Maulidia Rani, Mentari Ramadhianty dan Putri Imaniah.

Tari, sapaan Mentari Ramadhianty dan Putri Imaniah berkomentar tentang catcalling tersebut di sela-sela penyampaian pandangannya mengenai feminisme.

"Kekerasan seksual, pelecehan seksual, memang tidak sesimpel pemaksaan penetrasi penis ke vagina. Tapi juga lebih dari itu. Seperti siul-siulan atau catcalling, itu sudah termasuk kekerasan seksual, pelecehan seksual," kata Tari.

Memang, dalam beberapa kasus terdapat laki-laki yang sadar bahwa tindakan catcalling yang dilakukan merupakan bentuk pelecehan. Namun ada juga yang tak sadar, bahwa tindakannya itu melecehkan perempuan yang menjadi objek catcalling tersebut.

Hal ini, menurut Tari, memiliki benang merah dengan sistem patriarki yang selama ini tertanam. Di mana, sistem itu membentuk konstruksi sosial yang mengakibatkan ketimpangan dan menindas kaum perempuan.

"Bahwa masyarakat, menggunakan standar laki-laki menjalankan kehidupan sehari-hari. Kenapa mereka (laki-laki) tidak sadar melakukan pelecehan seksual? Karena nilai-nilai patriarki secara tidak sadar tertanam pada laki-laki. Sehingga ketika dia melakukan kekerasan seksual, pelecehan seksual dan menurut dia (laki-laki) itu hanya heaving fun doang dan tidak bermaksud melecehkan, padahal menurut perempuan itu melecehkan. Ya itu tadi, karena ada nilai-nilai patriarki yang diinternalisasi cukup panjang," jelasnya.

Yang harus dilakukan, lanjut Tari, adalah mengubah patriarki menjadi berkeadilan gender. "Meski mengubah patriarki menjadi berkeadilan gender sama dengan mengubah peradaban Indonesia secara umum dan global," ungkapnya.

Namun meski begitu, ada saja perempuan yang merasa tak dilecehkan dengan perbuatan catcalling tersebut.

"Ada yang tidak masalah dengan itu (catcalling). Karena memang mungkin mereka tidak sadar. Ya, ada yang memang ingin dicatcalling. Tapi ada juga yang tidak mau. Karena mereka sadar itu pelecehan bagi mereka," kata Putri.

Dalam kondisi setelah menerima tindakan catcalling, biasanya perempuan hanya memilih diam. Bukan karena terima dengan perlakuan itu. Melainkan karena takut untuk menyuarakan rasa tak terimanya atas perlakuan catcalling oleh laki-laki.

"Tidak melawan bukan karena terima. Tapi karena takut. Itu sungguh bentuk pelecehan verbal yang berujung pada penindasan," tutur mahasiswi Program Studi Sastra Inggris Universitas Balikpapan itu. (ari/dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: