Apresiasi untuk Sikap Presiden Jokowi, Tapi…
Jakarta, nomorsatukaltim.com - Sikap Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) terhadap protes dan gugatan terhadap larangan ekspor bijih nikel ke Eropa, oleh Uni Eropa melalui World Trade Organization (WTO), seperti yang ramai diberitakan media-media, membuat saya kagum. Itu menunjukkan suatu kedaulatan. Sikap yang berdaulat. Dan menurut saya, itu patut mendapat apresiasi. Apalagi, soal kebijakan larangan itu, dipertanyakan oleh beberapa negara saat KTT G20 di Roma, Italia, yang berlangsung akhir Oktober lalu. Terhadap tekanan negara-negara agar Indonesia membatalkan larangan itu-termasuk dengan menggugat Indonesia melalui WTO, Presiden Jokowi tak gentar. Rasa-rasanya, tak berlebihan, kalau sikap Jokowi itu mengingatkan saya kepada Presiden Ir. Sukarno di tahun 1960. Kala itu, Sukarno menyerukan Djuanda membuat aturan tentang pengelolaan pertambangan migas yang lebih berdaulat. Karena Indische Mijnwet-aturan pertambangan zaman penjajahan Hindia Belanda, tak memberi kedaulatan bagi negara. Posisi negara atas haknya sebagai pemilik sumber daya alam di aturan itu, lemah. Sehingga atas perintah Sukarno itu, dibentuklah UU No. 44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Migas. Ketika UU itu terbit dan berlaku, tiga perusahaan minyak multinasional yang beroperasi di Indonesia saat itu, datang menghadap Sukarno. Mereka adalah Stanvac, Caltex dan Shell. Undang-undang tersebut, memang mengancam kepentingan bangsa asing untuk menguasai sektor energi migas Indonesia. Tiga perusahaan itu kemudian mendatangi Sukarno di istana dengan satu maksud; membujuk Sukarno agar membatalkan undang-undang itu. Namun Sukarno tegas menolak. Bahkan ketika didesak dan dipaksa, Sukarno meradang dan tetap kukuh menerapkan UU itu. Tak hanya itu, Sukarno juga menawarkan sistem pembagian hasil keuntungan 60:40 terhadap pengusahaan minyak di Indonesia. Yang berarti 60 persen laba produksi bagi Indonesia dan 40 persen bagi kontraktor asing. Termasuk tiga perusahaan tersebut. Di samping itu, perusahaan migas asing juga diwajibkan memenuhi kebutuhan pasar domestik dengan harga yang ditentukan oleh pemerintah. Apa yang dilakukan Sang Proklamator itu, menunjukkan sikap kedaulatan. Sungguh heroik di mata saya. Bahkan rakyat Indonesia. Tentu, itu dilakukan agar Indonesia merebut daulat terhadap sumber daya alamnya, yang tujuan pengelolaannya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat Indonesia. Dan apa yang dilakukan Jokowi tentang larangan ekspor bijih nikel yang berdampak pada gugatan Uni Eropa, saya pikir, mirip dengan sikap politik Sukarno tersebut. Menunjukkan kedaulatan sikap, kedaulatan atas sumber daya alam Indonesia. Tapi, ada tapinya. Kita tahu, alasan pelarangan ekspor itu adalah hilirisasi. Presiden Jokowi ingin menarik investasi masuk ke Indonesia. Ia menghendaki harus ada pabrik pengolahan biji nikel di Indonesia. Intinya, agar investasi sektor hilirisasi masuk ke Indonesia. Sehingga yang diekspor adalah hasil olahan. Bukan bahan mentah. Bagi Jokowi, ini dalam rangka meningkatkan pendapatan negara dan penyerapan tenaga kerja lokal. Namun, bicara proyek, tentu bicara pembangunan. Persoalannya, dalam beberapa kasus, pembangunan malah memunculkan persoalan baru. Yakni konflik agraria. Dan konflik itu selalu melibatkan dan merugikan warga. Karena mengancam keberlangsungan lingkungannya, termasuk juga kepemilikan lahannya. Masih belum hilang di benak kita, perlawanan warga Kendeng terhadap pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. Yang terkenal dengan isu Kendeng. Mereka-petani dan warga-menentang pembangunan tersebut karena pabrik itu dibangun di wilayah karst yang berfungsi menyerap air. Yang dampaknya, bila karst rusak, beberapa wilayah di Rembang mengalami kelangkaan air. Warga sadar, dampak pembangunan itu mengancam keberlangsungan kehidupan mereka. Kemudian pembangunan Bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA). Terkenal dengan isu Kulon Progo. Ini juga tak lepas dari konflik dengan warga. Atau yang terbaru, aksi demonstrasi kelompok masyarakat di Balikpapan, Kalimantan Timur, terhadap pembangunan jalan tol Balikpapan-Samarinda. Mereka yang hingga saat ini masih menuntut janji ganti rugi lahan yang belum dibayarkan. Yang dijanjikan sejak lama sebelum pembangunan jalan rampung. Hingga jalan tol itu beroperasi, mereka belum menerima pembayaran. Seperti disampaikan Komisioner Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM Sandrayati Moniaga, konflik agraria masih terus terjadi di Tanah Air. Hal itu terus meluas dengan eskalasi yang semakin meningkat dan berimplikasi pada pelanggaran hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maupun hak sipil dan politik. Dari datanya, sepanjang tahun 2020, hak kesejahteraan adalah tipologi yang paling banyak diadukan oleh masyarakat ke Komnas HAM. Yakni 1.025 kasus. Termasuk di dalamnya konflik agraria. Bahkan proyek pemerintah-proyek strategis nasional (PSN)- juga tak lepas dari konflik agraria. Konflik agraria di sektor infrastruktur didominasi kasus yang melibatkan PSN. Dari total 30 kasus yang tercatat dalam laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) tahun 2020, konflik agraria PSN sebanyak 17 kasus. Dalam konterks ini, saya ingin menekankan, jangan sampai pembangunan semakin memperpanjang konflik agraria di Tanah Air kita. Presiden Jokowi boleh saja mengundang investasi ke dalam negeri dalam rangka misi hilirisasi. Tapi keselamatan dan keberlangsungan hidup masyarakat harus terjaga. Jaminan keselamatannya harus hadir di tengah undangan investasi ke dalam negeri untuk hilirisasi itu. Berikutnya, soal penyerapan tenaga kerja. Seperti yang telah disampaikan di atas, pelarangan ekspor bijih nikel adalah untuk hilirisasi. Sehingga ada pembangunan pabrik di Indonesia. Intinya, menarik investasi ke dalam negeri, dan itu diharapkan bisa menyerap tenaga kerja Indonesia. Niat yang bagus. Asalkan serius. Pasalnya, selama ini, di masa pemerintahan Presiden Jokowi, adanya investasi tak selalu maksimal dalam menyerap tenaga kerja lokal. Apalagi mengurangi jumlah angka pengangguran. Atau daya serap tenaga kerjanya semu. Maksudnya, penyerapan tenaga kerja hanya untuk pembangunan awal atau konstruksi bangunannya saja. Hadirnya perusahaan-perusahaan sektor migas di Kecamatan Batui, Kabupaten Banggai misalnya. Saat pembangunan infrastruktur perusahaan itu, penyerapan tenaga kerjanya masif. Namun itu tak berlangsung lama. Ketika pembangunan infrastruktur selesai, para pekerja banyak yang dirumahkan. Tak diperpanjang kontraknya. Mereka pun kembali menganggur. Tak dilibatkan lagi dalam berjalannya perusahaan. Alasannya, tak memiliki kualifikasi. Padahal, kualifikasi bisa diwujudkan perusahaan bila memang niat investasi itu untuk menyerap tenaga kerja lokal. Berdirinya perusahaan-perusahaan migas itu juga tak mampu secara signifikan memberi kontribusi menurunkan jumlah pengangguran di kabupaten itu. Tahun 2010 misalnya, di saat perusahaan-perusahaan itu belum beroperasi. Jumlah penganggurannya berjumlah 4.773 jiwa. Di tahun 2019, setelah beberapa tahun perusahaan-perusahaan itu beroperasi, jumlah pengangguran di kabupaten itu berada di angka 4.097 jiwa. Dalam konteks nasional, serapan tenaga kerja justru minim di tengah masifnya investasi yang masuk ke Indonesia. Sebagai contoh pada tahun 2018, ketika investasi tumbuh 4,11 persen, kemampuan menyerap tenaga kerja malah mengalami penurunan 18,4 persen (year on year/yoy). Sementara itu, realisasi investasi di kuartal II 2021 naik menjadi Rp 223 triliun dari realisasi pada kuartal I, yang tercatat Rp 219,7 triliun. Namun naiknya angka realisasi investasi itu tak diiringi oleh realisasi serapan tenaga kerja-yang cenderung stagnan. Dari data Kementerian Investasi, realisasi serapan tenaga kerja dari jumlah investasi pada kuartal II 2021 sebesar 311.922 pekerja. Angka itu, cenderung stagnan bila dibandingkan dengan realisasi penyerapan tenaga kerja pada kuartal I/2021, yang tercatat sebanyak 311.793 orang. Dari jumlah itu, artinya, tambahan realisasi investasi yang masuk ke RI di kuartal II 2021 sebesar Rp 4 triliun itu, hanyah menyerap 129 tenaga kerja baru. Beberapa hal tersebut di atas harus menjadi pengawalan dan perhatian pemerintah, khususnya Presiden Jokowi. Bahwa, pelarangan terhadap ekspor bijih nikel ke Eropa-meski dihadapkan dengan gugatan negara-negara Uni Eropa melalui WTO-, memang merupakan bentuk sikap yang berdaulat, atas sumber daya alam Indonesia. Namun Presiden Jokowi juga harus memastikan, bahwa investasi untuk hilirisasi-berupa pabrik pengolahan bijih nikel, harus memperhatikan hak-hak rakyat. Jangan sampai menghadirkan pengrusakan lingkungan yang mengancam kelestarian alam, melupakan hak-hak masyarakat atas lahannya-yang justru malah memperpanjang kisah konflik agraria di Indonesia. Kemudian penyerapan tenaga kerja harus secara maksimal diwujudkan. Jangan sampai itu hanya bunyi-bunyian semata, hingga akhirnya masuknya investasi hanya menguntungkan beberapa orang saja. Dan tak memberi kontribusi maksimal pada pengurangan jumlah angka pengangguran di Indonesia. Terhadap sikap pemerintah di bawah Presiden Jokowi yang tetap menghentikan ekspor bijih nikel meski digugat negara-negara Uni Eropa melalui WTO, saya apresiasi. Tapi persoalan-persoalan di atas, merupakan tantangan yang dihadapi yang tak boleh terulang bila investasi hilirisasi seperti pembangunan pabrik pengolahan bijih nikel masuk ke Indonesia. (*/Koordinator Nasional Forum Energi Nasional Indonesia (FENI)/Kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI))
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: