Emotional Bounding vs Disruption Era
INI tulisan pertama saya sejak hampir satu tahun vakum dari aktivitas menulis. Tulisan ini menggabungkan banyak artikel, jurnal dan referensi dari beberapa praktisi dan akademisi.
Terlepas dari saya yang kuliah di beberapa bidang keilmuan; pernah 3 tahun kuliah jurusan Teknik Perminyakan, 2 tahun Teknik Sipil, 1 tahun Ekonomi dan 2 tahun Manajemen, he he he...
Sepekan yang lalu saya hadir dalam acara salah satu kampus tempat saya kuliah dulu. Dalam acara tersebut saya melihat mahasiswa yang dulu saya pernah ada di posisi mereka (sedikit bernostalgia).
Sepanjang kegiatan saya perhatikan wajah mahasiswa baru satu per satu dan muncul raut wajah kecemasan saya.
Orang-orang seusia saya sudah mempelajari soal artifficial intelligence (AI), machine learning (ML), blockchain dsb.
Saya belum bisa membayangkan apa yang akan dihadapi anak cucu saya nantinya. Kembali ke soal mahasiswa-mahasiswa baru yang saya amati. Saya yakin akan datang suatu masa saat AI mampu menyamai kecerdasan manusia. Atau ML yang bisa bekerja lebih baik dari manusia. Saat dipikir kembali, kecemasan saya akan sangat beralasan. Prof Clayton Christensen, pencipta teori disrupsi, pada tahun 2014 memberikan prediksi yang membuat dunia tercengang.
“50 persen dari seluruh universitas di AS akan bangkrut dalam 10-15 tahun ke depan.”
Penyebabnya, karena universitas-universitas itu terdisrupsi oleh beragam terobosan inovasi. Seperti online learning dan Massive Online Open Courses (MOOCs).
65 persen anak-anak kita yang kini memulai sekolah nantinya bakal mendapatkan pekerjaan-pekerjaan yang saat ini belum ada. 75 juta (42 persen) pekerjaan manusia akan digantikan oleh robot dan artificial intelligence pada tahun 2022 (World Economic Forum, 2018).
60 persen universitas di seluruh dunia akan menggunakan teknologi virtual reality (VR) pada tahun 2021 untuk menghasilkan lingkungan pembelajaran yang imersif (Gartner, 2018). Sebagai seorang yang punya perhatian di bidang pendidikan dan sosial, saya sudah membaca ratusan artikel di bidang itu.
Walau background saya hanya seorang pedagang. Ada titik terang di balik tantangan yang akan dihadapi oleh para generasi penerus.
Satu bagian yang tidak akan bisa ditandingi oleh AI dan ML, adalah emotional bounding. Kemampuan berempati dan bersimpati. Di sinilah saya belajar pentingnya sebuah networking profesional.
Berkuliah di 4 kampus berbeda dan tergabung di beberapa perusahaan membuat saya memahami emotional bounding menjadi kunci berkompetisi di tengah kerasnya tantangan dunia.
Bertarung head to head dengan teknologi akan menguras tenaga dan pikiran kita. Tapi menguasainya dengan keterampilan emotional akan membuat kita jadi lebih mudah berkompetisi.
Bangkit, terus belajar dan kembangkan kecerdasan emotional dalam membangun ikatan. */ Founder Swakarya Technology (Swatech). Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Information Technology (IT).
Bagas Raga Mojokerto, 11 April 1994 Alamat: M Said Straat 6 Blok E No 103 Samarinda, Kaltim. Background: Business, Technology, Education, Social Enterprise.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: