Bukan Likuefaksi

Bukan Likuefaksi

Gubernur Kaltara, Irianto Lambrie saat mengunjungi lokasi tambang milik salah satu perusahaan pertambangan di Kaltara, beberapa waktu lalu. Soal tambang, LIPI mengingatkan agar ada sistem pemantauan bahaya longsor sebagai peringatan dini secara cepat dan efektif. (dok/pelitanews) Longsor yang terjadi di Kabupaten Tana Tidung, Kaltara merupakan longsor aliran, bukan likuefaksi atau hilangnya kekuatan lapisan tanah akibat beban getaran gempa). Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengonfirmasi, peristiwa itu berbeda dari likuefaksi yang terjadi pascagempa di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa waktu lalu. Video longsoran yang menyerupai likuefaksi itu viral lewat pesan berantai grup pembicaraan di media sosial warga di kawasan tersebut. Dalam video viral berdurasi 0,21 detik, terlihat tanah di lokasi tambang tiba-tiba bergerak mirip pencairan tanah atau likuefaksi tanah. Terdengar suara orang berteriak kaget melihat bencana tanah longsor itu. Namun, Peneliti Geoteknik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Adrin Tohari menyebut, longsoran ini berbeda dengan likuefaksi yang terjadi di Palu. Perbedaannya terletak dari pemicu longsor aliran. Longsor aliran di Palu disebabkan gempa, sementara longsor di daerah tambang akibat hujan atau ulah manusia. Perbedaan lainnya dari jenis tanah yang terkena longsoran. Pada longsor tambang yang terjadi di Kaltara, terjadi pada tanah lapisan lempung lunak akibat tinggi muka air tanah. Sementara pada likuefaksi, lapisan pasir yang lepas akibat kondisi jenuh air. "Perbedaaan dengan likuifaksi yang terjadi di Palu adalah pemicunya. Likuifaksi dipicu gempa, sedangkan longsoran ditambang dipicu kejenuhan lapisan tanah oleh hujan atau karena kesalahan pemotongan lereng. Untuk kasus di Kaltara ini perlu dicek apakah kejadian kelongsoran itu setelah hujan atau tidak," kata Adrin kepada CNNIndonesia, Kamis (31/10). Menurutnya, daerah tambang batu bara biasanya memang terdapat lapisan lempung lunak di bawah permukaan tanah. Lapisan lempung lunak inilah yang menyebabkan terjadinya longsoran. Apalagi jika kondisi hujan, maka akan meningkatkan kondisi muka air di daerah tambang bertanah lempung. Hal ini memperbesar potensi longsor aliran. Sebab, faktor kenaikan muka air tanah menyebabkan kenaikan tekanan air di lapisan lempung. Akibatnya, lapisan lempung mudah bergeser. Kesimpulan ini didapat setelah Adrin mengamati rekaman video longsor tersebut. Dalam video tersebut tampak adanya genangan air di kaki lereng. Ia mengatakan hal ini mengindikasikan adanya aliran air yang keluar dari kaki lereng. "Kondisi kejenuhan tanah di bagian dasar lereng tersebut menyebabkan kelongsoran berubah menjadi aliran (flow slide)," kata Adrin. Ia menjelaskan, kondisi tanah yang jenuh air itu artinya pori-pori dalam massa tanah sudah terisi oleh air. Secara singkat, jenuh air adalah kondisi di mana tanah sudah tidak mampu lagi menampung air ke dalam porinya. Sehingga biasanya menimbulkan genangan. Untuk menghindari longsor aliran, perlu diperhatikan keberadaan lapisan lempung lunak dan aliran air di dalam lereng dalam aktivitas tambang terbuka. Selain itu perlu sistem pemantauan bahaya kelongsoran untuk memberikan peringatan dini secara cepat dan efektif. (*)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: