Permendikbud Ristek PPKS Ditolak STIPER Muhammadiyah Tanah Grogot

Permendikbud Ristek PPKS Ditolak STIPER Muhammadiyah Tanah Grogot

PASER, nomorsatukaltim.com - Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbud Ristek) Nomor  30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi menuai pro dan kontra. Ini pun jadi pembicaraan hangat serta ditanggapi sejumlah kalangan. Secara lugas, Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan (Diktilitbang) Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah menolak pengesahan Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021. Meminta segera untuk dicabut dan direvisi. Paling krusial yang tertulis dalam Pasal 5 ayat (2), adanya frasa "tanpa persetujuan korban". Dirasa kegiatan seksual bisa dibenarkan jika ada persetujuan korban. Baca juga: Kaltim di Ambang Darurat Kekerasan Seksual Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian (STIPER) Muhammadiyah Tanah Grogot, Arrahman, mengatakan, pada dasarnya mendukung penolakan yang dilakukan PP Muhammadiyah. Mendukung apapun kebijakan atau langkah yang diambil dari pusat dalam menyikapi Permendikbud Ristek itu. "Jika terjadi hubungan badan asal ada persetujuan dari kedua belah pihak, padahal tak terikat pernikahan tentu saja melegalkan zina," katanya, Jumat (19/11/2021), dikutip dari Harian Disway Kaltim - Disway News Network (DNN). Tak hanya itu, salah satu lembaga pendidikan di bawah naungan Muhammadiyah ini juga  menanggapi Pasal 7 Permendikbud Ristek Nomor 30 tahun 2021 mengenai pencegahan kekerasan seksual oleh pendidik dan tenaga kependidikan. Di antaranya membatasi pertemuan dengan mahasiswa secara individu di luar kampus, di luar jam operasional kampus, dan atau untuk kepentingan lain selain proses pembelajaran tanpa persetujuan kepala prodi atau ketua jurusan. Kata Arrahman, pasal dalam Permendikbud Ristek ini dinilai mengganggu otonomi kampus. "Secara pribadi dan institusi, saya menganggapnya itu statement yang tidak logis. Ini kan salah satu aturan yang sulit untuk diterima di institusi pendidikan atau perguruan tinggi. Kalaupun terjadi sungguh tidak masuk akal," urainya. Menurutnya hal itu harus ditentang. Namun ia melihat jika hanya satu lembaga pendidikan atau perguruan tinggi saja, dirinya sadar untuk menyuarakan suara pada penentu kebijakan bakal sulit. "Kalau saya sarankan, kami harus membangun kelompok sehingga ada kebersamaan. Didiskusikan secara bersama-sama, kemudian menyuarakan yang disepakati kepada penentu kebijakan," pungkasnya. ASA/ZUL

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: