Aturan Kepemilikan Tanah: Perorangan Hanya Berhak 5 Hektare

Aturan Kepemilikan Tanah: Perorangan Hanya Berhak 5 Hektare

KUBAR, nomorsatukaltim.com – Konflik agraria di Kutai Barat (Kubar) masih kerap terjadi. Sengketa tanah itu biasa terjadi antara masyarakat dengan perusahaan perkebunan maupun tambang batu bara. Tak hanya mencaplok lahan, bangunan yang berdiri di atasnya tak jarang jadi sasaran penggusuran karena klaim pihak lain. Lantas bagaimana aturan atas kepemilikan hak atas tanah tersebut? Pelaksana tugas (Plt) Kasi Survei dan Pemetaan Kantor Pertanahan Nasional (BPN) Kubar, Nurjaman mengatakan, regulasi tersebut sudah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) dan sejumlah aturan lainnya. Baca juga: Pengurusan Tanah di Desa Tapis Paser Terhalang HPL “Bahwa setiap warga negara yang ingin mengajukan sertifikat hak milik secara perorangan, negara hanya mengesahkan maksimal 5 hektare,” kata Nurjaman dikutip dari Harian Disway Kaltim - Disway News Network (DNN). Masyarakat boleh memiliki tanah seluas-luasnya, yang penting dikelola dan dimanfaatkan. Tapi untuk pemberian haknya, harus mengajukan permohonan tanah tersebut untuk disertifikatkan. Maka ada aturan yang membatasinya. Hak milik perorangan atau pertanian maksimal 5 hektare. Sedangkan perumahan 3.000 meter persegi. Jika lebih dari 5 hektare, maka wajib memiliki badan hukum. “Karena tidak mungkinlah masyarakat satu orang mengelola sebesar itu, Ini tidak masuk akal. Pasti dimanfaatkan untuk usaha lain. Jadi dia harus punya badan hukumnya dan pemberiannya pun bukan hak milik,” tegasnya. Adapun tanah perorangan seluas 5 hektare itu tidak serta merta diterbitkan sertifikat. Nantinya BPN akan memperhatikan dengan tata ruang wilayah. Jika lokasi yang diajukan berada dalam kawasan khusus, seperti daerah aliran sungai (DAS), sumber mata air atau pemukiman maka akan dikurangi. Adapun munculnya konflik pertanahan di Kubar, kata dia, karena kesadaran masyarakat untuk mengurus legalitas tanah masih rendah. “Kelemahan di masyarakat adalah jarang mensertifikatkan tanahnya,” katanya. Tidak dapat dipungkiri, setiap pemanfaatan akan tanah memerlukan kepastian hukum atau legalitas dalam penguasaan, kepemilikan, penggunaan, maupun pemanfaatan tanah. Namun faktanya mayoritas masyarakat hanya menguasai atau mengelola tanah secara turun temurun. Mereka tidak memiliki legalitas resmi versi negara atau pemerintah. Baik surat keterangan tanah (SKT) apalagi sertifikat. Kondisi ini kerap dimanfaatkan para mafia tanah atau spekulan untuk memonopoli tanah-tanah masyarakat. Bahkan menjual sepihak ke perusahaan dengan modal surat Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang dikeluarkan kepala desa atau camat. Yang mencengangkan, ada masyarakat yang memiliki tanah ratusan bahkan ribuan hektare. Nurjaman menjelaskan, secara umum masyarakat boleh menguasai tanah sesuai kemampuan. Namun saat pengajuan sertifikat akan diatur sesuai peruntukannya. LUK/ZUL

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: