COP: Janji Palsu, Konferensi Semu  

COP: Janji Palsu, Konferensi Semu   

Conference of the Parties (COP) mulai dibancaki hingga 12 November mendatang. Itu adalah konferensi dunia yang membahas soal iklim, ke-26  kali dalam 3 dekade terakhir. Sudah sebanyak itu digelar, mengapa persoalan iklim tak jua mendekati penyelesaian? SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - COP idealnya disambut baik oleh para pegiat dan/atau pemerhati lingkungan hidup. Karena konferensi itu menjadi harapan, akan terciptanya kebijakan yang bijak. Dalam hal penanganan permasalahan iklim dunia. Termasuk juga Indonesia. Namun sambutan berbeda terjadi di Samarinda. Sehari sebelum kick-off COP 26 yang dilangsungkan di Glasgow, Britania Raya pada 31 Oktober 2021. Mereka menggelar aksi sederhana. Yang intinya adalah menyambut COP dengan kekecewaan. Aksi tersebut diagendakan mulai pada pukup 9 pagi. Titik kumpulnya di Red Front. Namun hujan yang belum kunjung reda, membuat rencana sekelompok orang tersebut harus tertunda. Bukan mereka takut hujan, tapi karena perangkat aksi menggunakan bahan karton bekas. Sehingga rawan basah dan luntur. Dua jam kemudian, hujan mereda. Rombongan langsung menuju kantor gubernur. Sepeda motor mereka parkir di area ATM Drive Thrue dekat pintu masuk kantor gubernur. Kelengkapan aksi disiapkan, kemudian dibentangkan menutup gerbang pintu kantor gubernur. Tanpa orasi, kedatangan rombongan tersebut sempat tak disadari oleh penjaga keamanan. Setelah tersadar, baru lah beberapa petugas Satpol PP mendekat. Beberapa personel memotret aksi, sisanya bergegas menutup gerbang. Khawatir massa akan merapat ke halaman. Nyatanya tidak, rombongan aksi tak berminat masuk. Pun meneriakkan aksi, apalagi memaksa bertemu gubernur. Toh, Sabtu sedang libur juga. “(Kalian) dari mana ini? Yayasan apa?” Seorang petugas bertanya. “Bunga Terung,” sahut seorang peserta aksi bersungguh-sungguh. Petugas tak familiar dengan nama itu. Hingga tak dicari tahu keabsahan Yayasan Bunga Terung yang dimaksud. Kemudian berkata lagi, “Harusnya ada izin lebih dahulu.” “Ndak lama, Pak. Mau foto-foto saja,” jawab peserta aksi sambil terus menata formasi foto. Tanpa menciptakan keramaian, kemacetan, dan tak sampai diusir. Peserta kemudian bergeser ke taman baru yang berada di tepi Jembatan Mahkota IV. Tepat di seberang kantor Polresta Samarinda. Di sana, mereka melakukan aksi serupa. Didatangi Satpol PP dengan cecaran pertanyaan yang sama pula. “(Kami) dari Kamisan. Mau foto-foto sebentar dengan latar Jembatan Kembar,” jawab peserta aksi. Reaksi petugas pun sama. Tak mengiyakan, tak melarang, sekadar memotret aksi tersebut. Untuk selanjutnya ditinggalkan oleh peserta aksi yang melenggang setelah puas berfoto. Di antara tulisan-tulisan yang mereka bentangkan melalui karton bekas, difoto, lalu disebarkan melalui media sosial berbunyi: COP IS LIAR, DICARI BUMI YANG LAYAK HUNI, KEEP COAL IN THE GROUND, REAL ZERO NOT NET ZERO, COP 26 SOLUSI PALSU PERUBAHAN IKLIM. Dan masih banyak lagi. Pengamat lingkungan hidup yang merupakan satu di antara motor aksi tersebut, Yustinus Sapto Hardjanto ketika dikonfirmasi mengatakan bahwa inti dari agenda tersebut adalah ketidakpercayaan pada COP yang ke-26 ini. “Sudah 26 kali digelar, sebetulnya kebijakan tentang iklim dunia yang nyata itu tidak terlalu kelihatan hasilnya,” ucapnya pada percakapan 9 menit 24 detik bersama Harian Disway Kaltim – Disway News Network (DNN), kemarin petang. Program yang mengentaskan persoalan iklim, disebutnya selalu ada setiap kali COP selesai digelar. Namun melihat hasil di lapangan, rupanya program tersebut tidak cukup relevan dan konkret. Di Kaltim misalnya, bukan tidak pernah ada program penanganan iklim. Dulu pernah ada Dewan Iklim, yang kemudian dibubarkan. Lalu dibentuk Badan Rehabilitasi Gambut dan Mangrove. Kaltim di periode sebelumnya juga sudah mendeklarasikan diri sebagai provinsi hijau. Namun dari semua itu, belum tampak nyata hasilnya. “Buktinya, ada tambang ilegal aja gubernurnya bilang kalau itu bukan kewenangannya.” “Padahal dulu Kaltim berkomitmen kan soal iklim. Karena kita punya banyak dokumen tentang iklim, yang menjadi dasar provinsi hijau itu. Ada green grout compact, dan macam-macam. Banyak juga lembaga internasional yang bekerja di sini untuk program iklim, kan.” Pemulihan iklim memang mencakup banyak hal, termasuk pengurangan emisi. Di Kaltim, bentuk kegagalan menjaga iklim adalah dengan tidak terbendungnya aktivitas konversi lahan gambut menjadi lahan kering, membongkar kawasan hutan, hingga pemakaian energi berbasis fosil. Pada 23 Mei 2021, President Designate untuk the 26th UN Climate Change Conference of the Parties (COP26), Alok Sharma. Ketika menggelar pertemuan virtual dengan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya. Mengatakan bahwa Indonesia adalah negara super power di bidang penanggulangan iklim. Ketika disinggung soal betapa hebatnya Indonesia di mata dunia itu, Yustinus hanya tertawa renyah. “Jangan-jangan kita dipuji karena sudah menjaga iklim. Padahal selama ini, setelah COP ada komitmen pembiayaan, kan.” Jadi seolah-olah, negara barat tetap bisa abai pada perubahan iklim untuk memacu pertumbuhan teknologi dan industrinya. Sementara negara berkembang, seperti Indonesia, yang memiliki kewajiban menjaga iklim. Yang dikompensasi dengan pembiayaan program. Kaltim, kata Yustinus, sebenarnya memiliki atribut yang lengkap untuk turut menjaga iklim. Tinggal bagaimana pemerintah mengelola kebijakan ekonominya. Di mana basis perekomian Benua Etam terletak pada keanekaragaman hayatinya. Sehingga semestinya dimanfaatkan secara keberlanjutan. “Semestinya basis ekonomi kita bukan ekstraktif. Atau kalau bicara tren ekonomi sekarang, tentu ekonomi kreatif yang berbasis pada pemakaian sumber daya alam yang berkelanjutan. Mestinya begitu, ya.” “Termasuk juga di pariwisata, mestinya yang jadi unggulan itu ekowisata atau wisata budaya,” lanjutnya. Maka jika bicara soal keikutsertaan dalam menyelamatkan bumi,  yang berdasar laman resmi Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), komitmen untuk menjaga kenaikan suhu bumi agar tidak lebih dari 1,5 derajat celsius dapat mengurangi emisi CO2 di dunia sebanyak 45 persen pada 2030, dibandingkan pada 2010. Dunia juga dapat mencapai target nol emisi pada 2050. Kaltim bisa berperan melalui hal-hal yang paling mendasar. Mulai kelestarian hutan, mencegah konversi lahan secara brutal, hingga menerapkan perekonomian hijau. Karena dampak-dampak dari ketidakterjagaan iklim sudah besar terasa. Seperti banjir dan longsor yang mulai merata di seluruh wilayah Kaltim. Hal-hal itu, semestinya menjadi perhatian. Agar pemerintah daerah tidak mengendurkan langkah menjaga iklim. “Kalau lihat sejarahnya kita pernah populer di bidang iklim. Kita pernah jadi yang terdepan dan menjadi contoh bagi provinsi lainnya untuk mengikuti.” “Lalu kita satu-satunya daerah yang memiliki Dewan Perubahan Iklim. Dan sebenarnya kita juga punya banyak kampung iklim yang dikenal dunia, seperti Merabu.” “Tapi ternyata itu enggak berlanjut dalam masa gubernur saat ini. Malah sepertinya kita rontok soal program penanganan iklim itu. Tidak menunjukkan sebagai Kaltim Berdaulat,” tuntas Yustinus sembari memacu pemprov kembali bekerja di ranah itu. Dengan atau tanpa asupan dana dari luar negeri. Terpisah, Maulana Yhudistira, aktivis dari kelompok pemerhati lingkungan Bunga Terung menyebut bahwa hanya menjadi ajang mengutarakan kata-kata besar dan janji palsu para pemimpin dunia. Pada kenyataannya, mereka tak pernah melakukan aksi nyata yang relevan. Dalam spektrum Kaltim, Maulana Yhudistira memandang bahwa daerah ini seperti tak ingin berhenti mewariskan kerusakan bagi para penerus dan warga dunia. Dengan pengerukan dan penghancuran hutan yang masif dari tahun ketahun. "Padahal kita tahu penyebab utama krisis iklim adalah pembongkaran hutan dan pembakaran energi," tuturnya. Aktivitas yang menjadi tumpuan ekonomi Kaltim itu disebut berkontribusi sebesar 71% sebagai penyebab utama krisis Iklim dunia. Dan itu hanya dilakukan oleh 100 perusahaan. Dan sebagian di antaranya ada di Kaltim. "Yang kita butuhkan adalah memastikan adanya kedaulatan masyarakat dalam sistem pembuatan kebijakan dan penentuan pembangunan para negara. Melalui adanya balai masyarakat yang berdaulat, acak, adil dan representatif, terbebas dari kekuasaan terpusat dan konflik kepentingan," papar Maulana Yhudistira. Ia menyerukan bahwa untuk mengeluarkan dunia dari krisis iklim ini, dibutuhkan partisipasi aktif semua pihak. Untuk melaksanakan solusi yang sebenarnya sudah ada. Untuk menyebarkan kebenaran seluas-luasnya agar menjadi mandat bagi semua lapisan masyarakat berkolaborasi guna membantu situasi. "Untuk memberhentikan ke(tidak)bijakan yang memperburuk situasi. Untuk melaksanakan investasi dan kebijakan yang kita butuhkan. Untuk mengupayakan semua yang bisa diupayakan guna menyelamatkan kita semua dari malapetaka." Sekali lagi ia menegaskan, kepada para pemangku kebijakan, agar segera sadar. "Bahwa yang dilakukan sekarang adalah membawa kita berlari ke jurang kehancuran ekologis dan keruntuhan sosial," tandasnya. AVA/DAS/YOS  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: