Samarinda Mulai Kaji Pemanfaatan Lubang Bekas Tambang

Samarinda Mulai Kaji Pemanfaatan Lubang Bekas Tambang

SAMARINDA, nomorsatukaltim.com - Pemerintah Kota Samarinda mulai mengkaji pemanfaatan bekas lubang tambang menjadi kolam penampung limpahan air. Program yang merupakan bagian dari rencana strategis dalam upaya pengendalian banjir di ibu kota provinsi Kaltim. Gagasan yang dicanangkan pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Andi Harun-Rusmadi Wongso sejak kampanye Pilkada 2020 itu disebut telah memasuki tahap feasibility study. Setidaknya ada dua lubang bekas tambang batu bara yang tengah diuji kelayakan untuk mewujudkan rencana tersebut. Masing-masing berada di wilayah utara Samarinda dan di Kecamatan Sungai Kunjang. "Ada dua sekarang lubang eks void (bekas tambang) yang kita FS (feasilibity studi) untuk nanti memberi daya dukung kolam retensi. Lokasinya satu di utara satu di sungai kunjang," ujar Andi Harun baru-baru ini. Ia mengatakan, ada beberapa parameter yang menjadi poin studi kelayakan untuk menyulap bekas lubang tambang menjadi kolam retensi. Salah satunya, reservoir baizing harus dekat dari saluran primer atau sungai. Agar memungkinkan adanya sirkulasi air dari dalam ke luar kolam penampung tersebut. "Jadi, dua ini yang sementara kita identifikasi, apakah bisa menjadi kolam retensi untuk menjadi penampung-penampung baru bagi pengendalian banjir," bebernya. Lebih lanjut, dijelaskan bahwa skema pemanfaatan eks void tambang ini mengacu pada Permen ESDM Nomor 07 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Penutupan Pasca Tambang. Di mana, setiap pemilik izin usaha pertambangan (IUP) diwajibkan melakukan reklamasi atau penutupan lubang tambang pasca operasi. Menurut Andi Harun, regulasi tersebut memungkinkan reklamasi dilakukan dalam bentuk lain. Misalnya, memanfaatkan eks void menjadi kawasan obyek wisata. Menjadi sumber penampung air baku, tambak ikan dan sebagainya. "Itu namanya reklamasi dalam bentuk lain. Nah kita akan manfaatkan menjadi pengendali banjir," sebut wali kota. Menurutnya, skema ini setidaknya akan memberi dua jenis manfaat. Satu sisi menguntungkan pengusaha pemilik izin pertambangan. Di sisi lain memberi manfaat bagi masyarakat dalam hal pengendalian banjir tadi. Setelah kajian kelayakan selesai, katanya, Pemkot akan melakukan langkah persuasif lebih lanjut. Yakni berdiskusi dengan pemilik IUP agar bersedia melepas lubang bekas tambang kepada Pemkot untuk dimanfaatkan. Sebelumnya, Andi Harun menegaskan bahwa prioritas utama kepemimpinannya di Samarinda saat ini adalah pengendalian banjir. Pernyataan itu berkesinambungan dengan postur anggaran pemerintah kota dalam APBD Perubahan tahun 2021. Ia mengeklaim, bahwa Pemkot telah menelurkan sejumlah inovasi dan gagasan dalam upaya mengatasi problematika menahun di Samarinda itu. Meskipun sedang berada di tengah keterbatasan anggaran. "Yang kita butuhkan dalam pengendalian banjir sekarang selain perawatan waduk benanga, adalah pembangunan polder-polder penampung air, dan termasuk rencana memanfaatkan dua eks void menjadi kolam retensi." "Dan satu per satu, setahap demi setahap semua rencana tersebut akan kita jalankan. Percayalah bahwa kita berkomitmen untuk mengatasi masalah ini," tuntasnya.

Sisi Positif dan Negatif

Pengamat lingkungan yang konsen pada isu banjir di Samarinda, Yustinus memandang rencana pemanfaatan eks void tambang menjadi kolam retensi memiliki sisi positif dan negatif. Yang pertama, ia mengakui bahwa penambahan kolam penampung sementara berpotensi akan mengurangi titik-titik dan ketinggian genangan yang biasanya terjadi di Kota Tepian. Hanya saja, pada saat bersamaan, pemilihan lubang bekas tambang untuk diberi fungsi tersebut, mengandung risiko yang tidak main-main. Yakni jebolnya kolam dan ancaman banjir bandang di belakangnya. "Karena umumnya lubang tambang berada di tempat atau dataran yang lebih tinggi. Jarang di tempat rendah," sebut Yustinus kepada Disway Kaltim, Minggu, (26/9). Sehingga ia menyarankan, pertama, Pemkot harus benar-benar memperhitungkan ketepatan lokasi lubang tambang yang akan dimanfaatkan. Apakah berada pada aliran air atau bukan. Kedua, memperhatikan titik lemahnya. "Karena kalau tidak, bisa jebol begitu ditambah air hujan. Potensi terjadi banjir bandang. Sebab lubang tambang itu kan lubang mati, tanpa inlate dan outlate," tambahnya. Yustinus memaparkan, bahwa pada dasarnya, masalah banjir di Samarinda disebabkan oleh limpasan air permukaan yang berlebih. Di mana ketika curah hujan tinggi, sebagian besar air tidak mampu diresapkan ke dalam tanah. Hal itu, karena karakteristik tanah di Samarinda memang tidak mampu menyerap air secara cepat. Sehingga butuh tutupan vegetasi untuk membantu mempercepat proses tersebut. Masalahnya, pembukaan lahan di kota itu sudah kadung menjadi-jadi. Yang dampaknya kian mengurangi atau mempersempit kemapuan resapan tanah karena terkupasnya vegetasi. Dan akhirnya berperan dalam menyumbang peningkatan limpasan volume air permukaan. Diperparah pagi, sambungnya, Samarinda telah kehilangan banyak kehilangan tampungan-tampungan air alamiah. Seperti kawasan rawa-rawa dan sebagainya. "Jadinya sekarang, sebagian besar tutupan lahan di Samarinda adalah tanah urug," imbuhnya. Memang kemudian perlu ada upaya menahan lajunya air dari hulu. Agar tidak menggenangi titik rendah dalam waktu bersamaan. Sebelum mampu diresapkan dan dialirkan melalui saluran buatan seperti drainase. Karena sekarang terjadi banjir karena kemampuan resapan dan aliran air buatan tidak cukup untuk menahan laju air dari hulu. Yustinus menambahkan, saat ini di Samarinda, memang diperlukan penambahan kolam penampung untuk memarkir air berlebih dalam jangka waktu tertentu. Lalu selanjutnya secara pelan-pelan dialirkan ke badan sungai. "Pertanyaannya apakah memang lubang tambang itu lokasinya tepat pada titik banjir yang parah. Lubang sendiri kan sebetulnya sudah ada airnya. Dan tidak akan kering. Lubang tambang akan selalu berair dan penuh. Lalu bagaimana caranya menampung air?” Di samping itu, kata dia juga, lubang tambang sejatinya tidak didesain untuk menampung air. "Bahaya juga, bisa jebol. Itu sisi lemah yang harus dipikirkan," papar Yustinus. "Jadi skema ini sama dengan logika polder, yang ketika tidak hujan harus dikeringkan. Sementara, bagaimana caranya membuang air dari lubang tambang. Karena pada dasarnya lubang tambang, sekalipun tidak hujan tetap ada airnya. Karena sifatnya seperti sumur. Akan ada air tanah yg terus keluar." Pun dari sisi biaya, diperkirakan akan lebih mahal dari membangun polder. Terutama dari sisi biaya operasional. Yang selalu menjadi persoalan. Contohnya saja, pengelolaan polder yang ada. Malah cenderung diabaikan. Air dari polder tak disalurkan keluar. "Polder yang ada selama ini kan tidak pernah dikeringkan. Malah diisi ikan. Padahal, betul saja langkah membangun polder. Hanya saja operasionalnya salah. Logikanya salah. harusnya kan dikosongkan. Bukan malah dipakai pelihara ikan," jelas Yustinus. Selain itu, Yustinus juga mendorong agar ada perhitungan potensi luapan air dengan kemampuan kolam penampung. "Kita memang belum menghitung persis berapa potensi air permukaan ketika sedang hujan. Berapa kemampuan kolam penampung tapi kemungkinan kehadiran kolam retensi akan mengurangi titik-titik banjir. Dan mengurangi kedalaman genangan. *DAS/YOS

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: