Kewaspadaan Stabilitas Bank Indonesia Terhadap Sistem Keuangan saat Pandemi
PADA tahun-tahun belakangan ini kondisi pasar keuangan global menjadi perhatian. Lebih-lebih oleh Bank Indonesia (BI). Penyebabnya tentu karena penyebaran COVID-19 di banyak negara, termasuk negara Indonesia. Hal ini tentu jadi ancaman bagi stabilitas makrofinansial dan genetik.
Pandemi COVID-19 menekan perekonomian negara-negara di seluruh dunia. Hingga, Bank Indonesia memperkuat komposisi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain dalam melakukan langkah-langkah stabilitasi nilai tukar rupiah. Serta memitigasi dampak risiko COVID-19 saat ini terhadap perekonomian dosmetik. Berbagai langkah sudah diambil untuk memutus rantai penyebaran COVID-19. Hampir semua negara juga menerapkan keBank Indonesiajakan kontra siklus, yaitu kebijakan guna mengatasi pergerakan siklus ekonomi yang ekstrem seperti krisis ekonomi, bahkan resesi ekonomi (Sri Susilo, 2020). Menghindari dampak krisis itu beberapa kebijakan diambil. Mulai dari memberikan stimulus fiskal yang diterapkan dengan melakukan peningkatan pengeluaran pemerintah dan pemotongan pajak. Selanjutnya, ada pula pelonggaran moneter yang tidak hanya terbatas pada menurunkan suku bunga saja. Tetapi juga pelonggaran kuantitatif melalui pembelian sekuritas untuk memompa likuiditas perekonomian. Baca juga: Praktik Terlarang Medsos Anakdi Bawah Umur Namun, bagaimana cara Bank Indonesia menstabilkan sistem keuangan dalam jangka panjang? Pada bulan Februari, Bank Indonesia telah menaikkan suku bunga acuannya (BI 7 Day Reserve Repo Rate) dari 4,5 persen menjadi 4,75 persen. Kenaikan suku bunga ini merupakan salah satu acuan. Ini jadi langkah jangka pendek untuk mengantisipasi pelemahan rupiah yang begitu cepat. Serta menjadi upaya BI untuk menjaga inflasi pada kisaran sasarannya. Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan intervensi ganda di pasar surat berharga negara. Strategi operasi moneter juga diarahkan demi menjaga kelengkapan likuiditas di pasar uang rupiah dan antar bank. Selanjutnya Gubernur Bank Indonesia menegaskan kebijakan triple intervention untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sesuai dengan fundamental dan mekanisme pasar. Kemudian ada program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) 2020, sebagai upaya meringankan biaya produksi dan membantu menjaga arus kas sektor usaha pemerintah. Memberikan berbagai insentif perpajakan dan dukungan belanja negara termasuk dukungan dari sisi pembiayaan. Mengingat ketidakpastiaan yang masih tinggi terkait perkembangan COVID-19, kebijakan insentif pada sektor usaha tersebut dipandang masih diperlukan pada tahun 2021. Jika melihat dari beberapa poin penting dalam kajian reformasi sistem keuangan saat pandemi ini, tentu ada beberapa hal yang dapat diulas. Pertama, krisis keuangan Asia tahun 1997-1998 dan krisis keuangan global menjadi pengalaman berharga bagi Indonesia. Maka harus melahirkan langkah pembenahan dan reformasi sistem keuangan agar menjadi lebih stabil, efisien, mampu bertahan hidup, inklusif, dan dapat tumbuh berkelanjutan. Selanjutnya, pandemi COVID-19 telah menimbulkan tekanan luar biasa terhadap perekonomian dan sektor keuangan. Sistem stabilitas keuangan perlu untuk dijaga agar mengantisipasi dampak berat akibat tekanan pandemi yang masih terus berlangsung hingga saat ini. Proses penanganan permasalahan bank dan lembaga keuangan non-bank mesti terus diperbaiki. Seperti memperbaiki mekanisme kerja sama antara pemerintah, OJK, Bank Indonesia, dan LPS yang harus lebih intensif. Selain itu, fokus pemerintah pada penanganan COVID-19, pemulihan ekonomi serta menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mengerahkan seluruh instrumen kebijakan fiskal hingga kebijakan-kebijakan struktural lainnya sudah tepat. Namun harus berjalan secara akuntabel, efektif dan transparan dalam menghadapi tantangan extraordinary akibat pandemi COVID-19 ini. Harus diakui bahwa Bank Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menjaga stabilitas perekonomian. Didapat dari kebijakan triple intervention, pelonggaran moneter dengan instrument pelonggaran kuantitatif sebesar Rp 583,3 triliun sejak Januari 2020 hingga 19 Mei. Diperkuat oleh Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, jika pemerintah siap menanggung risiko dari kebijakan yang akan diambil untuk menstabilkan mata uang rupiah. Karena menurutnya, fokus dalam tujuan kajian ini adalah untuk menjaga stabilitas sistem keuangan dalam negara untuk mendukung pemulihan ekonomi. “Jadi kita harus selalu waspada dan terus siap siaga menghadapi seluruh kemungkinan akibat pandemi COVID-19,” kata Sri Mulyani. Oleh karena itu prospek pemulihan pertumbuhan ekonomi dibarengi stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan juga memerlukan penajaman kebijakan. Baik untuk mengakselerasi pemulihan yang bersifat struktural, menciptakan sumber baru pertumbuhan. Serta meningkatkan nilai tambah produksi dan integrasi antar sektor dan antar wilayah agar mendorong pertumbuhan yang inklusif. Apalagi Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) juga telah mendorong percepatan pemulihan ekonomi dengan memperkuat koordinasi dan sinergi kebijakan. Upaya ini diwujudkan dalam paket kebijakan terpadu, khususnya peningkatan pembiayaan dunia usaha dalam rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi untuk membantu sektor-sektor yang terdampak. Tujuannya agar tetap dapat bertahan dan memberikan insentif bagi sektor-sektor yang berdaya tahan (resilience) agar dapat mulai melakukan ekspansi usahanya sejalan dengan harapan membaiknya situasi pandemi sebagai hasil vaksinasi COVID-19 ke depan. *Penulis adalah Mahasiswa Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bank Indonesiasnis Universitas Muhammadiyah Malang.Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: