Durian Nitrogen
Keinginan untuk bangkit itu saya lihat mulai ada. Di Bangka mulai ada perkebunan durian unggulan (Lihat Disway 30 April 2020). Petani Tegal berkaus “Durian vs Everybody” tadi juga mulai tanam Musangking di kebunnya. Yanto Sodri, petani Tegal itu, menanam 80 pohon durian di situ. Dari 80 pohon sudah ada Musangkingnya: dua pohon. Selebihnya durian lokal jenis Bawor.
“Kenapa tidak tanam Musangking semua?” tanya saya.
“Dapat bibitnya ya Bawor itu,” jawabnya. “Musangkingnya hanya dapat dua pohon,” tambahnya.
Yanto sudah panen 4 kali. Termasuk yang Musangking. Harga jual Bawor Rp 300.000/kg. Musangking Rp 450.000/kg.
Meski hanya tamatan SD, Yanto pintar berhitung bisnis. Bawor adalah durian lokal termahal. Ia tidak mau tanam Montong. Yang harga jualnya hanya Rp 130.000/kg.
Saya jadi ingin tahu seperti apa jenis Bawor itu. Tapi tidak dijual di Rodjo Durian. Musimnya sudah lewat.
Dari pengalaman Yanto itu kita menjadi tahu: kita punya problem bibit dan problem musim. Di samping banyak problem lainnya.
Yanto berumur 40 tahun. Begitu tamat SD ia merantau ke Jakarta. Jualan koran. Lalu jualan sandal murah. Bertahun-tahun. Akhirnya punya toko sandal. Kian tahun toko sandalnya kian banyak.
“Berarti sudah punya tabungan? Sudah bisa beli rumah?” tanya saya.
“Saya belum pernah bisa beli rumah,” jawabnya.
Hah?
“Mertua sudah membelikan rumah,” jawabnya.
Tabungan yang punya: cukup untuk membeli tanah 1.600 m2 dan bibit durian 80 batang. “Saya tidak membayangkan kalau masih perlu biaya pemeliharaan. Ternyata mahal,” katanya.
Yanto mempekerjakan 10 orang untuk 80 batang itu. Untuk gaji mereka saja sudah Rp 20 juta sebulan. Belum pupuknya.
Kita masih begitu jauh dari yang harus kita kejar: Malaysia. Apalagi durian kita terlalu banyak ragamnya. Pembeli masih harus berjudi: dapat enak atau tidak.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: