Jurnalisme Warga dan Berita Palsu
KIRANYA sudah sekian lama berlalu era dimana audiens secara pasif mengkonsumsi konten yang kepatutan nilai beritanya itu hanya diputuskan oleh para editor jauh di dalam ruang redaksi. Dalam sistem tradisional tersebut, masyarakat harus menyesuaikan kebutuhan informasinya dengan keputusan media massa seperti misalnya tentang wacana apa yang dianggap penting untuk diketahui oleh publik. Namun di masa sekarang ini, media massa lah yang harus menyesuaikan praktik pewacanaannya untuk memenuhi perilaku konsumennya dan trend teknologi digital. Seperti misalnya mengangkat berita yang ramai di lini maya dan melakukan konvergensi dengan media digital untuk distribusi informasi. Bertumbuhnya jurnalisme digital dan terus berkembangnya peluang yang ditawarkan media merupakan hal yang luar biasa tetapi juga membawa konsekuensi nyata yang membayangi perkembangan bentuk jurnalisme baru. Media sosial yang berkembang di era teknologi digital tidak diragukan lagi mengubah wajah jurnalisme kita. Dimana orang-orang yang bermain didalamnya memiliki kemampuan untuk mengonstruksi cerita yang ingin mereka dengar atau lihat. Setiap orang berkesempatan berkontribusi untuk memberitakan sesuatu dengan mencuit suatu peristiwa atau berbagi laporan saksi mata atas suatu kejadian yang kemudian menjadi breaking news dengan sekali klik. Media mainstream juga terkadang menggunakan sumber dari twitter dan platform media sosial lainnya jika mereka tidak memiliki koresponden di tempat kejadian. Hal inilah yang juga menjadi salah satu pemicu orang-orang untuk menyajikan informasi yang unik dan berbeda melalui akun media sosial yang mereka miliki. Namun sayangnya tidak semua informasi yang disajikan orang-orang di media sosial tersebut dapat diverifikasi kebenarannya, sehingga dikategorikan sebagai ‘berita palsu’ atau yang lazim kita kenal sebagai hoaks. Inilah kemudian yang menjadi tantangan terbesar perkembangan jurnalisme warga karena praktik ini tidak melalui proses jurnalistik yang sama dengan yang dijalani oleh jurnalisme mainstream. Dimana konsumsi informasi yang didapat dari media mainstream cenderung lebih aman karena para editor yang bekerja keras mengecek dan memeriksa kembali keakuratan faktualnya. Hal demikian tidak berlaku pada jurnalisme warga karena tidak ada satupun yang akan melakukan pengawasan, regulasi dan pengecekan data secara formal. Karena pada dasarnya setiap orang bebas mempublikasikan apa yang mereka inginkan di media sosial bahkan ketika mereka tahu bahwa apa yang mereka publikasikan adalah hal yang tidak benar. Di era digital sekarang ini, berita palsu dengan mudah menyebar di dunia maya hanya dalam hitungan menit. Bahkan sebelum kita tahu kebenarannya, sebuah berita palsu bisa mencapai jutaan orang yang menerimanya sebagai fakta. Media sosial memberi kita begitu banyak kesempatan untuk berbagi dengan dunia sekitar, tetapi alangkah baiknya hanya karena setiap orang bisa menjadi pewarta bukan berarti setiap orang perlu berlomba-lomba menjadi pewarta. Facebook memang sudah menggunakan mesin algoritmanya untuk mengidentifikasi artikel-artikel yang mencurigakan agar diperiksa kebenarannya kemudian oleh pegawainya. Google juga sudah mengotak-atik algoritme mesin pencarinya untuk mengubur berita palsu yang muncul di hasil pencariannya. Twitter tidak mau kalah dengan mengembangkan alat yang bisa dengan lebih baik mendeteksi spammy behaviours yang mengindikasikan upaya penyebaran mis-informasi. Namun demikian, pengembangan alat tersebut tidak lantas menghilangkan asumsi tentang apakah sebuah berita otomatis dapat langsung dipercaya. Salah satu pertanyaan kritisnya adalah bagaimana kira-kira algoritma tersebut dilatih untuk menjawab pertanyaan ini: ‘Apakah sumber informasi ini kredibel?’ Membahas tentang kredibilitas sumber sebagai professional ataupun resmi pun juga penuh dinamika. Hal ini disebabkan kepercayaan terhadap media massa saat ini pun sangat bervariasi di seluruh dunia dan tidak sedikit yang mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir karena sejumlah alasan tertentu yang harus dibahas lebih lanjut. Namun mengingat masifnya penyebaran hoaks di media sosial saat ini, alangkah baiknya kita mencari informasi melalui media massa dan jurnalis yang memang diakui keberadaannya secara profesional. Kemudian lakukan perbandingan dengan media massa mainstream lainnya untuk menganalisis keakuratan informasinya. Hal tersebut jauh lebih mudah dilakukan untuk kita yang awam daripada mengecek apakah berita yang diposting oleh seseorang itu dapat dipercaya atau tidak karena tentunya harus dilakukan kasus per kasus yang tentunya lebih rumit dan memakan waktu. Oleh karena itu, sudah saatnya bagi kita semua untuk kembali mulai memupuk kepercayaan lebih kepada media massa dan para jurnalis professional untuk mendapatkan informasi yang berkualitas. Setiap orang memang berhak menjadi jurnalis warga, tetap sayangnya tidak semua orang memiliki kemampuan literasi media yang baik. Jika kita terus menerus terjebak dalam dilema ini, maka diseminasi berita palsu dengan mengatasnamakan jurnalisme warga di media sosial akan semakin marak yang tidak jarang hanya menimbulkan keributan dan kepanikan di ruang publik. Padahal tidak sedikit oknum yang suka mengambil keuntungan ditengah kegaduhan ini atas alasan politik dan ekonomi. Mengutip kalimat George Bernard Shaw ‘Beware of false knowledge, it is more dangerous than ignorance’ seorang novelis, kritikus, politikus penerima Nobel Kesusasteraan pada tahun 1925 lalu; kiranya memperkuat pesan Allah SWT melalui Rasulullah SAW melalui wahyu pertama yang diterimanya. ‘IQRA, bacalah!’ Bukan hanya sekedar membaca Alquran dan tafsirnya, tetapi juga takwil serta tabir-tabir di dalam Alquran. Yang diartikan Yusuf Qardhawi sebagai al-kaun atau alam semesta. ‘IQRA, bacalah!’ Yang secara luas menurut Quraish Shibab diartikan sebagai membaca, menganalisa, mendalami, merenungkan,menyampaikan,meneliti dan sebagainya terkait obyek apa saja. Karena dengan membacalah kita bisa mendapatkan ilmu, salah satu sifat mulia Tuhan, Allah SWT demi mencapai keselamatan manusia dan menghindarkan diri kita dari bencana dan kerusakan. Tentunya dengan membaca dan berbagi informasi yang akurat dan terpercaya. Ayo, mari membaca yang benar dan dengan benar. (*/Rina Juwita) (*Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Unmul)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: