ESL: Tentang Uang, Ketamakan, dan Esensi Sepak Bola

ESL: Tentang Uang, Ketamakan, dan Esensi Sepak Bola

Mereka ini, sudah tahu betul cara mendapat uang di sepak bola. Sampai celah terkecilnya pun sudah dikuasai. Lalu, masalah hadir. Masalah itu bernama UEFA, dan tentu juga FIFA.

Uang yang mereka kelola dari sebuah kompetisi ataupun kejuaraan sepak bola kelas atas itu tidak sedikit. Sangat banyak malah. Dan hebatnya mereka, ketika dihadapkan oleh tumpukan uang yang menggiurkan mata. Mereka mendadak jadi manusia. Iya, makhluk paling sempurna yang punya sikap tamak.

Segala cara dilakukan agar federasi dapat untung lebih banyak dari klub. Bermodal tahta ‘federasi’. Si pemegang kuasa sepak bola. Si pembuat aturan. Si pengatur kebijakan. Si pengembat miliaran euro. Ah.

Para pemilik klub yang paham betul cara mencari uang dari sepak bola. Kemudian berhadapan dengan orang-orang federasi yang sama cerdiknya. Mereka ini, sudah tahu sama tahu.

Lalu ketika ada salah satu yang berbuat curang. Yang satu tentu tahu. Dan mereka akan kesal. Sekesal-kesalnya. Masalah lainnya buat klub, ketika mereka bikin kecurangan. Sebut saja salah duanya memanipulasi pendapatan klub. Serta mengaburkan pembelian pemain tertentu. Maka sudah pasti, federasi akan menyemprit. Dengan senjata mereka, regulasi Financial Fair Play (FFP).

Tapi kalau federasi yang bertindak curang atau tidak adil. Klub bisa apa? Lalu, apakah membentuk kompetisi sendiri. Yang mereka inisiasi sendiri tanpa keterlibatan federasi bisa disebut langkah jitu?

*

Maka inilah yang terjadi saat ini. UEFA dan FIFA yang dikenal korup itu. Sedang berhadapan dengan 12 klub top Eropa. Klub-klub yang selama ini jadi lumbung uang mereka.

Juventus, Inter Milan, AC Milan, Barcelona, Real Madrid, Atletico Madrid, Liverpool, Manchester United, Chelsea, Arsenal, Manchester City,dan Tottenham Hotspur. Coba melakukan perlawanan awal. Entah hanya gertakan atau sungguhan.

Mereka setuju pada ide yang awalnya dicetuskan bos Juventus, Andrea Agnelli. Yang kepingin punya kompetisi yang hanya melibatkan tim-tim besar saja. Agar setiap laga adalah laga besar. Agar setiap laga adalah cuan besar. Yang tentu, cuan itu tidak perlu digerus oleh federasi lagi.

Kompetisi itu dinamakan Europe Super League (ESL). Sebuah kompetisi yang menjanjikan pendapatan hingga 3 miliaran euro. Dua kali lipat dari yang didapatkan oleh tim pemenang Liga Champions. Kompetisi antar klub paling laris manis itu.

Sampai saat ini, suara suporter sepak bola terbelah jadi dua. Ada yang setuju dengan adanya ESL. Ada juga yang menentangnya. Apapun itu, memang benar, siapa pun yang menang dari prahara ini. Ada dua pihak yang sebenar-benarnya kalah. Yakni suporter dan sepak bola. Menutup artikel ini, saya ingin mengutip perkataan jurnalis SetanMerahNet, Ajie Rahmansyah, sebagai berikut:

Kemungkinan besar, yang menjadi dalang dibuatnya ESL ada dua orang. Pertama Andrea Agnelli (Juventus). Dia ngerasa kalau uang yang diterima di Seria A itu kecil sekali dibanding liga lain.

Yang kedua itu Florentino Perez (Real Madrid). Tahun 2009 lalu, Peres pernah bilang kalau yang namanya Liga Champions itu tidak ada istilah Real Madrid vs Apoel atau Real Madrid vs Sparta Praha. Harusnya, ya tim bagus vs tim bagus juga.

(ESL) secara tidak langsung akan membunuh esensi sepak bola itu sendiri. Kita tidak bakal bisa melihat lagi Leverkusen mengalahkan Manchester United buat ke final (UEL). Atau RB Leipzig seperti musim kemarin. Tidak ada lagi kejutan-kejutan di sepak bola.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: