UU ITE Bungkam Kebebasan Berpendapat di Internet
Jakarta, nomorsatukaltim.com - Selama lebih dari satu dekade Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) telah menjadi wajah tata kelola internet di Indonesia. Pertama kali diberlakukan per 2008, undang-undang tersebut kemudian direvisi pada 2016. Hal ini memberikan pemerintah Indonesia kekuasaan yang cukup besar untuk mengontrol akses internet di Indonesia.
Titik Puji Rahayu dari Universitas Airlangga, mengatakan, sejak undang-undang tersebut diberlakukan, laporan dari outlet media di Indonesia telah mencatat betapa signifikan jumlah ‘netizen’ Indonesia yang terjebak dalam kasus hukum terkait unggahan daring mereka. Para akademisi juga mengungkapkan keprihatinan tentang bagaimana undang-undang tersebut mengancam kebebasan berbicara. Sejak revisi 2016, Jaringan Kebebasan Berekspresi Asia Tenggara (SAFENet) dan Lembaga Bantuan Hukum Pers (LBH Pers) telah menuntut revisi lebih lanjut terhadap undang-undang tersebut. Untuk menghapus ketentuan ambigu yang menurut mereka telah menyebabkan kriminalisasi yang tidak semestinya di internet. Pemerintah Indonesia telah lama membela undang-undang tersebut dari revisi yang diusulkan. Kementerian Komunikasi dan Informatika mengklaim, masalahnya bukanlah hukum itu sendiri. Tetapi interpretasi oleh pihak berwenang yang bertugas menegakkannya. Pada Februari 2021, Presiden Joko Widodo menyatakan akan meminta DPR bersama-sama merevisi undang-undang untuk menghapus pasal yang meragukan. Ini terdengar positif. Tetapi masih terlalu dini untuk dirayakan. Tidak jelas pasal mana yang akan direvisi setelah pernyataan Jokowi. Ketentuan tentang pencemaran nama baik (Pasal 27), hoaks dan ujaran kebencian (Pasal 28) berpotensi menekan kebebasan berbicara. Namun yang lebih penting, Pasal 40 (2a dan 2b) memberi pemerintah hak untuk membatasi akses internet. Kekuatan pembatasan akses internet ini digunakan selama krisis politik di Papua Barat pada Juni 2020. Mengklaim penyebaran berita palsu dan misinformasi selama krisis, pemerintah mengekang akses internet melalui pelambatan internet dan pemadaman listrik. Meskipun revisi UU ITE sangat dibutuhkan, mereka seharusnya tidak hanya menargetkan ketentuan yang ambigu tentang pencemaran nama baik, hoaks, dan ujaran kebencian. Peraturan tentang pembatasan akses internet juga perlu direvisi. “Akankah negara diberi hak untuk membatasi akses internet? Dalam keadaan apa akses internet harus dibatasi? Bagaimana prosedur untuk menerapkan pembatasan akses Internet?” tanya Puji. UU ITE belum menunjuk badan regulasi independen yang ditunjuk untuk mengatur penggunaan internet di Indonesia. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewenangan untuk mengawasi penyediaan internet. Pasal 1 undang-undang itu memberikan pemerintah hak untuk mengontrol penyediaan internet dan Kementerian Komunikasi dan Informatika saat ini bertugas mengawasi penyediaan internet di Indonesia. Kepolisian Republik Indonesia telah menahan orang-orang karena melanggar peraturan konten UU ITE tentang pencemaran nama baik, hoaks, dan ujaran kebencian. Struktur regulasi ini menimbulkan kekhawatiran tentang independensi regulator internet. Terutama bila kasus-kasus tersebut bertentangan dengan kebijakan atau pejabat pemerintah. Sangat penting untuk mempertimbangkan pembentukan badan pengatur independen untuk mengawasi penyediaan layanan berbasis internet di Indonesia. Hal ini mencerminkan semangat masa Reformasi di Indonesia pada 1998. Di mana masyarakat menuntut agar pemerintah memiliki kewenangan yang sama dengan badan regulator independent. Untuk memperkuat akuntabilitas politik. International Telecommunication Union mendukung pembentukan badan pengatur terpusat untuk sektor telekomunikasi di semua negara, dengan struktur yang independen dan bertanggung jawab kepada badan legislatif. “Akankah eksekutif dan legislatif Indonesia merevisi UU ITE dalam waktu dekat?” tanya Puji. Dengan tajuk berita terkini, wacana telah bergeser dari merevisi undang-undang menjadi perumusan pedoman tafsir bagi lembaga pemerintah yang bertugas menegakkannya. Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan menyatakan, rencana revisi dan penyusunan pedoman tafsir sedang berlangsung. Kata dia, terlepas dari kemajuan yang nyata ini, pemerintah telah meninggalkan pertanyaan-pertanyaan kunci yang belum terjawab. “Bagian mana yang akan direvisi? Pasal mana yang akan diberikan pedoman interpretasi? Apa legal standing pedoman interpretasi ITE?” katanya. “Akankah pedoman tersebut melindungi kebebasan berbicara dan melindungi mereka yang mengkritik pemerintah? Bagaimana pemerintah akan menyeimbangkan proses revisi undang-undang dan merumuskan pedoman tafsir? Bisakah kedua proses tersebut saling menghambat? Sayangnya, masa depan kebebasan berbicara di Indonesia masih belum pasti,” ujar Puji. (mmt/qn) Sumber: Masa Depan Suram Kebebasan Internet di IndonesiaCek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: