Perfilman Dalam Pandangan Sineas Lokal (1)

Perfilman Dalam Pandangan Sineas Lokal (1)

nomorsatukaltim.com - MEREKA punya impian. Negeri ini terbebas dari korupsi. Impian itu terjawantahkan. Meski hanya sebatas imaji berbentuk film. Negeri Impian judulnya. Karya dari kelompok sineas lokal asal Paser, Warna Film.

Genrenya campur. Ada komedi, drama hingga fantasi. Bahkan didukung dengan efek CGI. Pemutaran perdana ditonton 800 orang. Bahkan sempat road show di Kalsel 2018 lalu. Sang sutradara, Apriyal Faqih, bercerita panjang lebar. 15 karya dihasilkan dari tangan dinginnya bersama tim. Sejak terbentuk 2018 lalu. Ada perbedaan mendasar antara membuat film dengan merekam video melaui ponsel. Kualitas. Ponsel hanya mampu menangkap momen tertentu, lalu disimpan sebagai arsip. Setelah itu dipublikasikan. Film bukan begitu. Dalam film ada beragam proses yang harus dilalui. “Gambaran film yang baik adalah seberapa baik persiapan sebelum proses produksi,” jelas Faqih. Kualitas film yang bagus berakar dari naskah yang baik, kemudian diekspresikan oleh talent. Karakter mereka harus sesuai dengan naskah. Bukan sekadar beradegan di depan kamera. Mencari pemeran terbaik juga tak semudah membalikan telapak tangan. Mereka harus mengerti naskah. Tantangan para sineas belum usai. Naskah yang baik pun tidak lahir sehari layaknya Prambanan. Tim butuh penelusuran data, beradu kreativitas, peka terhadap realitas sosial, serta memberdayakan kearifan-arifan lokal. Semua diolah, diramu secara unik, menarik. Dipastikan nantinya menjadi produk visual yang membuat penonton betah berduduk lama, menjuruskan pandangan mereka ke layar lebar. Tak hanya itu. Selain kualitas naskah, dalam bidang sineas, sinematografi juga penting dalam membuat film. Yakni bagaimana kemampuan memilih shot terbaik, yang dianggap mewakili setiap adegan. Menurut Faqih, memutuskan satu pengambilan gambar diputuskan sebelum proses syuting. “Bukan ketika syuting tentunya. Itulah kenapa film adalah perjalanan. Karena tidak mudah untuk menghasilkan sebuah film yang baik,” ucapnya. Berbicara tentang produksi, tak mungkin tanpa modal. Kata Faqih modal terbesarnya bisa dari mana saja. Termasuk iuran kas kru Warna Film. Dari eksternal didapati dari donator. Lalu Warna Film menjajaki perusahaan. Pemasukan lain yakni dari penghargaan dari perlombaan. Baik festival film maupun film pendek. Tetapi lomba film pendek cukup berisiko. Kalah tak dapat apa-apa. Sementara ongkos produksi sudah keluar. Modal tidak kembali. Namun dalam lomba, kalah menang itu hal biasa. “Karena (kekalahan) menjadi barometer mengukur sejauh mana kualitas film kami (para sineas), baik tingkat lokal, Kaltim dan nasional,” ungkap Faqih. “Tentu film yang akan kami produksi, kalau bicara soal modal, bicara soal income (pendapatan, Red) berarti film orientasinya adalah ekonomi, bukan orientasi kreatif lagi,” lanjutnya. Dewasa ini konten creator banyak bermunculan. Bahkan lebih kreatif. Platform mereka menjajakan film lebih luas. Bisa melalui youtube, atau kanal-kanal lain. Lantas bagaimana upaya Warna Film untuk tetap hidup? Dari kaca mata Faqih, itu letak tantangannya. Film dengan kualitas bagus, menjadi pelecut untuk kerja lebih keras lagi. Meningkatkan kompetensi, menambah durasi nonton film dan membaca, intens berinteraksi, serta peka lagi kepada isu-isu lingkungan. “Karena film itu adalah proses membaca realita yang kemudian diekspresikan dalam bentuk visual. Jadi bagi saya, justru bukan sebuah tantangan, tetap menjadi pelecut kita untuk lebih berdaya lagi, lebih belipat ganda lagi, perjuangannya dalam menghasilkan karya yang baik,” tegasnya. Ada satu hal yang tak terbayangkan olehnya. Film lokal ternyata bisa mendapatkan pemasukan. Contohnya saat nobar film Negeri Impian. Faqih cs dapat income Rp 16 juta dari penjualan tiket. Dengan catatan satu tiket seharga Rp 20 ribu dan dibeli 800 orang. Sehingga peluang industri film sebenarnya menjanjikan. Asal para sineas memproduksi secara serius dan dengan semangat membara. Walaupun industri film butuh dukungan, tidak hanya perjuangan rumah produksi secara mandiri. Diterangkannya, Warna Film mencoba membuka satu kondisi baru. Bahwa film tidak hanya menghasilkan karya-karya kreatif dan idealis. Tetapi juga punya peluang mendapatkan pemasukan. “Sebenarnya industri film tidak bermain sendiri. Bisa memberdayakan potensi lain atau komunitas yang kemudian mensupport setiap produk film yang ditampilkan,” imbuhnya. Adapun jika berharap pada pemerintah mereka bisa tidak punya karya. Pun berharap pada kekuatan keuangan secara internal. Pasti tekor. Berkarya juga harus realistis. Mesti punya supporting secara keuangan. Karena itu Faqih cs mesti berpikir. Bagaimana secara mandiri menghasilkan uang. Sehingga saat membuat film, harus mengetahui atau menguasai pangsa pasar. Khususnya genre yang telah punya penggemar. Dan mesti pandai dalam memanajemen keuangan. “Pendapatan yang pernah diraih mulai belasan juta hingga puluhan juta dari juara lomba. Tentunya itu disisihkan dan sebagian memperbaharui peralatan syuting. Untuk durasi pembuatan film bervarian, dimana film pendek memakan waktu 10 sampai 15 hari,” tandasnya. Sebagai catatan, Warna Film menorehkan sejmumlah pencapaian.  Yakni kompetisi Police Movie Festival level nasional masuk 30 besar (2018), Hari Anti Narkoba tingkat Kaltim juara I (2018), Lomba Video Kreatif Iklan dan Layanan Masyarakat tingkat Kaltim Juara II (2019), Lomba Video Pendek tradisi dan budaya Islam Indonesia level nasional harapan II (2019), lomba kreativitas bela negara digital tingkat nasional masuk kategori nominasi video favorite (2019), penulisan skenario film pendek nasional capaian peserta terpilih (2020). Lomba Video LPCRM Nasional juara III (2029), Kaltim Islamic Short Movie Competition juara II (2020), Festival Film Islam Lampung (Peserta terpilih 2020), Lomba Video HUT Pertamina tingkat nasional juara II (2020). “Untuk saat ini kami masih konsen pada genre drama, termasuk juga dokumenter. Sekarang lagi menggarap film dari cerpen dan buku. Semoga nanti ada kesempatan untuk mengangkat film horor,” tutup Faqih. (asa/boy)  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: