Perusahaan Batu Bara Belum Pulih, Masih Tahan Produksi

Perusahaan Batu Bara Belum Pulih, Masih Tahan Produksi

Harga batu bara dunia memang terus membaik, namun sejumlah perusahaan tambang batu bara belum bisa pulih sepenuhnya, terutama soal operasional. Apalagi dalam setahun terakhir, pandemik COVID-19 benar-benar memukul perekonomian. Menahan produksi dianggap langkah yang tepat, lantaran emas hitam dinilai belum stabil.

SURAMNYA sektor pertambangan sepanjang 2020, tergambar dari catatan Bank Indonesia Perwakilan Kaltim yang mengutip data BPJS Ketenagakerjaan. Sebanyak 45.671 tenaga kerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan dirumahkan sepanjang tahun lalu. Kebanyakan dari sektor perhotelan, pertambangan, dan perdagangan. Rinciannya 22.043 di-PHK, sedangkan 23.628 orang dirumahkan se Kalimantan Timur (Kaltim). Pemerintah menyadari bahwa pandemik telah mengirimkan badai ekonomi yang berimbas kepada sektor ketenagakerjaan. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah bahkan memutuskan tidak menaikkan upah minimum pada 2021. Kebijakan itu tidak lain upaya pemerintah supaya sektor industri tidak kolaps, termasuk pertambangan. Bukan tanpa alasan. Publikasi laporan keuangan tiga perusahaan tambang batu bara di Indonesia menggambarkan keadaan tersebut. Adaro, contohnya, mengalami penurunan ekspor sebesar 29,95 persen tahun lalu. Adaro melaporkan hanya mengantongi laba bersih senilai USD 146,92 juta atau setara Rp 2,05 triliun. Laba korporasi pada 2020 turun hingga 63,65 persen dibandingkan 2019. Indo Tambangraya, induk PT Indominco Mandiri, juga senasib. Mereka meraup laba bersih USD 39,46 juta tahun lalu atau Rp 552,56 miliar. Laba bersih perusahaan turun 69,5 persen dibandingkan 2019. Sementara itu, Bukit Asam hanya mencetak laba bersih Rp 2,38 triliun atau turun 41,17 persen dibanding 2019. “Penurunan laba bersih ini menggambarkan kinerja perusahaan ikut berkurang. Artinya, sejak 2020, banyak perusahaan tambang yang mengurangi kapasitas produksinya,” jelas akademikus dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Mulawarman, Aji Sofyan Effendi. Perusahaan disebut memerlukan waktu untuk memulihkan operasinya. Akan tetapi, menurut Aji Sofyan, tidak semudah membalikkan tangan. Ada banyak faktor yang menentukan. Penurunan laba bersih tahun lalu, misalnya, menyebabkan aliran kas terganggu. Perusahaan harus berhitung dengan matang jika ingin menaikkan kapasitas produksi seperti sedia kala. Pola transaksi batu bara, jelasnya, ditentukan menurut kontrak. Batu bara yang diproduksi sekarang, sebenarnya, memakai harga di periode sebelumnya. “Berbeda dengan sembako, hari ini diproduksi, besok dijual menurut harga pasar yang berlaku,” terangnya. Pola jual-beli sedemikian menimbulkan time lag atau keterlambatan waktu buat perusahaan melancarkan arus kas. Hal itu juga berarti, sukar bagi korporasi menaikkan operasi ke kapasitas maksimal dalam waktu cepat. Krisis 2016 yang menghantam sektor pertambangan adalah contohnya. Waktu itu, perusahaan perlu setahun lebih untuk memulihkan kondisinya. Kebijakan menambah produksi batu bara juga sangat dipengaruhi harga dunia. Masalahnya, ketidakpastian selalu membayangi. Harga batu bara rawan turun lagi setelah musim dingin di Tiongkok usai. Banyak perusahaan belum berani mengoptimalkan faktor-faktor produksi, alat, modal, dan tenaga kerja. “Jadi, harga batu bara yang menembus USD 90 per ton belum cukup bagi perusahaan tambang memulihkan kondisi mereka. “Sekarang ini, baru empat bulan harga membaik. Pandemi juga belum selesai. Mustahil perusahaan bisa pulih secepat itu,” jelasnya. Sektor pertambangan yang belum pulih menyebabkan belum terbukanya lapangan kerja baru. Kebijakan internal seperti menambah insentif karyawan juga tentu harus melewati hitung-hitungan yang tepat. Aji Sofyan berpendapat, perusahaan yang masih beroperasi dan bisa menggaji karyawan saja sudah bagus dalam kondisi saat ini. Ketua Badan Pengurus Daerah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPD Hipmi) Kaltim, Bakri Hadi, setuju bahwa situasi ini menyebabkan sejumlah perusahaan mengerem investasi maupun kapasitas produksinya. Faktor utama yang bisa memperbaiki situasi seperti ini adalah program vaksinasi COVID-19. Kurva pandemik yang terus melandai sepanjang program vaksinasi memberikan harapan terhadap perbaikan ekonomi. “Akan tetapi, pandemi juga belum pasti berakhirnya. Saya pikir wajar bila perusahaan di sektor pertambangan sangat berhati-hati di tengah keadaan yang penuh ketidakpastian ini,” imbuhnya. Hipmi Kaltim mendorong pemerintah agar mengakselerasi program vaksinasi supaya berdampak kepada perbaikan ekonomi. Satu di antara usulan Hipmi adalah vaksinasi mandiri kepada sektor swasta yang berbadan hukum. Sebelumnya, Corporate Communication Manager PT Berau Coal, Arif Hadianto, membenarkan, bahwa harga batu bara pada awal 2021 memang membaik dibanding tahun lalu. Akan tetapi, perusahaan melihat bahwa harga tersebut masih fluktuatif. Perusahaan disebut tetap mengambil langkah tepat dan efektif agar mendapat manfaat dari kenaikan harga sekarang. ****/app

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: