Sebuah Nama

Sebuah Nama

Gaung pemilihan kepala daerah serentak, sudah menggema. Padahal, masih lama rentangnya. Masih ratusan hari lagi.

Coba simak: penetapan pasangan calon, 8 Juli 2020. Pemungutan suara, 23 September 2020. Tapi, beberapa nama sudah muncul ke permukaan.

Tak hanya di Balikpapan. Di Samarinda, begitu juga. Dus, daerah lainnya. Memang, tahun depan ada 270 daerah yang menghelat Pilkada Serentak. Termasuk di Kota Minyak.

Beragam nama mulai mencuat. Dari pengusaha, politisi, sampai jajaran Korps Polri dan TNI. Memang belum pasti. Tapi, nama mereka sudah mengudara.

Sebut saja Irjen Pol (Purn) Safaruddin, mantan Kapolda Kaltim. Ada juga nama Letkol Caj Solehudin Siregar. Perwira di Kodam VI/ Mulawarman.

Kehadiran dua nama ini menjadi menarik.  Sebab, selepas kepemimpinan Kol. Inf Tjutjup Suparna (1999-2001). Balikpapan dipimpin sipil. Sampai sekarang.

Pak Tjutjup, yang seangkatan dengan Wiranto, Agung Gumelar, dan Sutiyoso di Akademi Militer Nasional Magelang: diakui keberhasilannya. Membawa Balikpapan berkembang.

Meski usia Balikpapan, per 2019 sudah 122 tahun. Tapi, kota ini baru dipimpin oleh seorang walikota sejak 1960. Sejak tahun itu sampai sekarang, baru 10 orang. Yang menjabat walikota.

Diawali dari ARS Muhammad (1960-1963) hingga Rizal Effendi (2016-sekarang). Nah, sejak awal memiliki walikota, kepemimpinan Balikpapan didominasi non sipil. Baik dari Polri maupun TNI.

Persisnya, dari 10 walikota, enam di antaranya non sipil. Dimulai dari kepemimpinan Mayor TNI AD Bambang Soetikno (1963-1965).

Kemudian berturut-turut dari non sipil. Mayor TNI AD Imat Saili (1965-1967). Mayor Pol Zainal Arifin (1967-1973), Letkol Pol Asnawi Arbain (1974-1981).

Periode berikutnya, dipimpin Kol Czi TNI AD H Syarifuddin Yoes (1981-1989). Setelah itu, baru lah selama tiga tahun diselingi sipil. Itu pun hanya sebatas Plt, pelaksana tugas. Yakni Plt Hermain Okol (1989-1991).

Selanjutnya non sipil kembali memimpin. Dengan kembali terpilihnya kalangan militer, yaitu Kol. Inf Tjutjup Suparna (1999-2001). Sepeninggal Pak Tjutjup, Balikpapan terus menerus dipimpin sipil.

Nah di Pilkada tahun depan, dua nama non sipil kembali mengudara. Meski belum dipastikan maju di arena. Sebab penetapan calon walikota masih ratusan hari lagi.

Tetapi gerilya mereka sudah terasa. Gerakannya menggetarkan calon lawan.

Safaruddin telah mendaftar dan mengembalikan formulir penjaringan. Lewat PDIP Balikpapan.

Siregar telah mengajukan surat pegunduran diri dari TNI. Sudah pula mengumpulkan puluhan ribu dukungan KTP.

Baliho mereka berdua mulai tampak dimana-mana. Dengan kemasan aneka nuansa. Dari kacamata politik, jelas: mereka sedang menjajakan dirinya untuk tahun depan.

Tapi namanya politik, selalu penuh misteri. Begitu juga misteri tujuan para kandidat. Baik sipil maupun non sipil.

Masyarakat enggan memahami teori-teori politik, baik teori klasik, masa pertengahan. Maupun teori politik modern.

Tak perlu, misalnya, memahami: teori dan filsafat politik Socrates, Plato, Aristoteles, atau politik Machiavelli.

Tak juga butuh menguasai teori politik abad pertengahan semisal: teori politik Thomas Aquinas, Marthen Luther, Ibnu Khaldun, atau teori politik liberalis.

Dus, enggan pula mengunyah teori politik modern. Misalnya, teori politik Thomas Hobbes, Montesquieu atau John Locke.

Sebelum ke tempat pemungutan suara, tak juga pemilih menggunakan metode maieutik, ala Socrates.

Masyarakat juga enggan membandingkan visi misi para kandidat calon kepala daerah. Alih-alih mengevaluasi janji kampanyenya. Mengkalkulasi: apakah janji itu realistis atau sekadar gombalan manis.

Tetapi harus diakui: di Balikpapan, sebuah nama menjadi seksi. Figuritas masih menentukan. Masa bodoh, apakah nama itu dari sipil atau non sipil. Masa bodoh, apakah nama itu mampu membawa Balikpapan maju. Atau mundur jauh ke belakang.

Tak percaya? Sekarang, apa yang digali dari lembaga survei? Baik polling abal-abal sampai lembaga terkenal.  Jawabannya, sama: hanya menggali nama. Popularitas. Baru selanjutnya, elektabilitas. Tingkat keterpilihan.

Begitu dahsyatnya nama. Bisa menentukan seseorang menjadi nahkoda. Sebab, budaya perpolitikan kita memang masih seperti ini. Belum mau, menelisik visi misi. Baru mau, melihat siapa yang dikenalnya.

Maka, bagus-bagus kan lah namamu. Tetapi, bukan dengan pencitraan yang semu.

*Jurnalis.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: