Urgensi Penyertaan Sanksi Adat dalam Perda

Urgensi Penyertaan Sanksi Adat dalam Perda

Urgensi Penyertaan Sanksi Adat dalam Perda

OLEH: ACHMAD FITRIADY* Samarinda, Nomorsatukaltim.com - Secara sederhana, hukum merupakan kumpulan peraturan hidup. Di dalamnya ada perintah dan larangan yang mengatur tata tertib untuk ditaati seluruh masyarakat. Hukum atau sanksi memiliki tujuan yang bersifat universal. Mulai ketertiban, ketentraman, kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat.

Tulisan ini sebenarnya berangkat dari kegelisahan saya untuk mendorong hukum adat masuk ke dalam peraturan daerah. Hal ini berkenaan dengan upaya pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) yang sudah diproyeksikan sejak 2019 lalu oleh Presiden Joko Widodo. IKN di Kaltim akan dibangun di wilayah administratif Penajam Paser Utara (PPU) dan Kutai Kartanegara (Kukar). Hukum adat merupakan sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia. Termasuk negara lain seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Bersumber pada peraturan hukum tidak tertulis. Namun tumbuh dan berkembang. Kemudian dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Oleh sebab itu, hukum adat memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri, elastis, dan dinamis. Masyarakat PPU dan Kukar masih memiliki adat dan budaya yang terus dipegang teguh hingga sekarang. Merekalah yang akan menyambut tamu yang datang untuk berinvestasi dengan segala modal yang mereka miliki. Pemerintah harus mendorong agar hukum adat bisa masuk ke dalam peraturan daerah di PPU dan Kukar. Selain itu, kita juga berkaca di mana sempat terjadi konflik mengatasnamakan sara di PPU pada 2019. Kejadian itu dipicu oleh tindakan kriminal yang dilakukan remaja. Kemudian digiring ke arah rasisme hingga terjadinya demonstrasi yang mengakibatkan kerugian besar. Hal ini perlunya kedewasaan berpikir masyarakat adat untuk menyelesaikannya dengan kepala dingin. Hukum adat yang dimiliki masyarakat PPU dan Kukar perlu didorong masuk ke dalam hukum positif dan menjadi Prolegda inisiatif DPRD Kaltim. Agar peraturan itu sebagai salah satu bentuk pengakuan eksistensi masyarakat adat. Demi memecahkan masalah pelanggaran yang terjadi di masyarakat, dengan membawa nama adat dapat diselesaikan dengan cepat, tepat, dan memiliki kepastian hukum. Agar sanksi atau denda adat dapat terukur daan mampu dilaksanakan bagi yang menerima sanksi. Supaya tidak menjadi bom waktu yang menjadi gesekan sosial di tengah-tengah masyarakat adat. Bom waktu itu bisa terjadi kapan saja. Bisa meledak. Karena ada hal-hal yang tidak diakomodir dalam kepentingan masyarakat adat. Yang kemudian berpotensi menjadi conflict of interest di masyarakat adat. Masuknya hukum adat dalam Perda menjadi bentuk pendokumentasian sejarah kebudayaan yang terus ada di tengah waktu. Di mana revolusi terjadi oleh faktor sosial dan ekonomi. Sehingga bisa memengaruhi nilai yang ada. Masyarakat adat akan selalu ada terus-menerus. Meski masyarakat berubah. Namun tetap tak meninggalkan kebiasaan lama. Walaupun ada perubahan, tetap disesuaikan dengan perkembangan zaman. Hukum adat adalah kebudayaan, pancaran jiwa, dan struktur masyarakat Indonesia. Saya berharap masyarakat adat bisa mendorong masuknya sanksi adat ke dalam peraturan daerah di IKN. Ini juga berlaku bagi masyarakat adat muda untuk mendorong hal ini. Agar tak ada lagi pertumpahan darah yang mengatasnamakan adat tertentu. Demi terciptanya tatanan pemerintah ysng baik. Antara pemerintah dan masyarakat adat bisa duduk bersama merumuskan cita-cita ini. Sebagai bentuk dokumen sejarah keberadaan masyarakat adat. (*Pengamat Hukum Kaltim)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: