Revisi UU KPK; Kasus Korupsi Didominasi Anggota DPR, Disahkan DPR

Revisi UU KPK; Kasus Korupsi Didominasi Anggota DPR, Disahkan DPR

Ketua Koalisi Dosen Unmul Peduli KPK, Herdiansyah Hamzah. =============  

DiswayKaltim.com- Revisi UU KPK telah disahkan DPR Selasa (17/9/2019). Pro dan kontra semakin kencang. Dukungan terhadap lembaga anti rasuah itu pun kian meluas. Mereka bertanya, kenapa proses pengesahan itu begitu cepat? Sebaliknya, pihak yang khawatir dan menganggap KPK sebagai lembaga super powersepertinya juga tak akan surut. Apalagi revisinya sudah disahkan.

Apa sebetulnya yang ditakutkan itu? Sehingga harus ada Revisi UU KPK. Padahal, jika melihat faktanya. Kasus yang ditangani KPK jauh lebih sedikit ketimbang lembaga penegak hukum lainnya. Setidaknya bisa dilihat dari kasus penangangan korupsi di daerah.  

 Dalam kurun tahun 2014-2018, Pengadilan Negeri (PN) Samarinda sudah menyidangkan 355 perkara tindak pidana korupsi (tipikor). Ratusan perkara tersebut berasal dari kabupaten/kota wilayah hukum Kaltim dan Kaltara.

Humas PN Samarinda, Abdul Rahman Karim mengungkapkan, perkara tipikor yang di sidang di pengadilan itu tak ada satu pun yang berasal dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Penyidik Polri. Dan penyidikan dilakukan oleh penuntut umum,” ungkapnya kepada DiswayKaltim.com, Rabu (18/9/2019) siang.

Pada 2014, PN Samarinda menyidang 23 perkara sisa tahun sebelumnya. Sementara perkara baru sebanyak 69 kasus. “Tahun 2015, ada 24 perkara sisa tahun sebelumnya. Dan 61 perkara baru. Sisa tahun lalu ini, baru terdaftar di bulan Oktober 2014. Tapi pembacaan putusan Maret 2015,” bebernya.

Setahun kemudian. Pada 2016, perkara baru yang disidang di PN Samarinda meningkat. Terdapat 72 kasus baru. Dan 19 perkara sisa tahun sebelumnya.

Pada 2017 meningkat lagi. Yakni 86 perkara disidang pengadilan tersebut. “Sisa tahun lalu ada 52 perkara,” sebut Karim.

Tahun 2018, terdapat 67 perkara baru. Sedangkan kasus lama yang diproses PN Samarinda sebanyak 53 perkara. “Jadi, ada 90 perkara yang diputus di tahun 2018. Karena volume tipikor yang begitu banyak, persidangan biasa sampai malam hari,” jelasnya.

Sama halnya dengan di Berau, Kaltim. Kasus tindak pidana korupsi yang disidangkan dari tahun 2015, tak ada satupun yang ditangani oleh KPK. Sejak periode tersebut. Tercatat tiga kasus di antaranya merupakan operasi tangkap tangan (OTT). Semua ditangani tim penyidik dari Kepolisian.

Kapolres Berau, AKBP Pramuja Sigit Wahono malalui Kasat Reskrim, AKP Rengga Puspo Saputro mengatakan, kerugian Negara dari kasus korupsi sejak 2015 tercatat mencapai Rp 16.3 miliar. Dengan menetapkan 12 tersangka.

“Kasus Tipikor terbesar, yakni penyalahgunaan ADK Kampung Balikukup. Kerugian Negara mencapai Rp 1,2 miliar. Dan pengadaan Boiler IV PLTU Lati dengan kerugian Negara Rp 14 miliar,” katanya, kepada Disway Berau, Selasa.

Di Balikpapan, setidaknya ada 7 kasus korupsi selama 5 tahun terakhir ini. Dan hanya satu kasus yang ditangani oleh KPK. Yakni kasus suap hakim di Pengadilan Negeri Balikpapan pada awal tahun 2019. Sisanya, hampir semua ditangani tim penyidik Kepolisian.

Antara lain, kasus rumah pemotongan unggas (RPU) Balikpapan. Mulanya ini ditangani Polres Balikpapan pada awal tahun 2016. Kemudian dilimpahkan ke Polda Kaltim akhir 2017. Indikasi kerugian Negara mencapai Rp 11 miliar. Kemudian dugaan korupsi pengadaan mobil jeep fire oleh BPBD Balikpapan. Ditangani Polda Kaltim. Mencuat awal 2019.

Pun begitu dengan kasus korupsi TPU Balikpapan. Sumber dana APBD Balikpapan periode 2013 -2014. Dan dugaan korupsi dana hibah yayasan pendidikan. Sumber dana APBD Provinsi Kaltim. Juga ditangani penyidik Kepolisian. Tapi, ada juga kasus korupsi Panwaslu Balikpapan yang ditangani Kejaksaan Negeri Balikpapan. Sumber APBD Balikpapan 2015. Ada tiga tersangka. Mencuat tahun 2018.

Dari data tersebut, praktik penanganan kasus korupsi di Kaltim selama kurun waktu 5 tahun terakhir, lebih banyak dilakukan oleh Penyidik Polri dan Kejaksaan.

Secara nasional. Berdasarkan rilis Koalisi Dosen Unmul Peduli KPK, terdapat 1.064 perkara yang telah ditangani KPK. Ternyata DPR dan DPRD mendominasi kasus korupsi dengan 255 perkara. Disusul kepala daerah sebanyak 130 perkara. Pimpinan partai politik 6 perkara dan kepala lembaga atau kementerian 27 perkara. Dari proses penanganan perkara tersebut, KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) sebanyak 123 kali dengan 432 tersangka.

Ketua Koalisi Dosen Unmul Peduli KPK, Herdiansyah Hamzah, menyebut kepercayaan publik terhadap KPK masih tinggi. Ia menyadur survei yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada Agustus 2019. Persentasenya adalah 84 persen.

 “Justru lembaga yang mendapat kepercayaan publik paling rendah adalah DPR dan partai politik,” sebutnya.

 DPR hanya mendapat 61 persen. Parpol terendah. 53 persen. Ia pun menyebut langkah ini (Revisi UU KPK) dianggap sebagai upaya untuk melemahkan peran KPK. Kelebihan KPK dalam penanganan kasus berbeda dengan kejaksaan. Antara lain KPK tidak boleh melakukan penghentian kasus yang ditangani. Tidak boleh ada surat penghentian penyidikan perkara (SP3).

 “Kalau ada SP3, kasus mudah dimainkan. Sementara KPK yang tidak mengenal SP3. Itu yang membuat mereka lebih detail. Teliti dalam menangani perkara,” tambah dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman ini.

 Menurutnya, setelah Revisi UU KPK disahkan menjadi undang-undang. KPK akan dihadapkan pada beberapa persoalan. Dianggap melemahkan fungsi mereka. Yaitu tidak lagi independen. Kinerja KPK akan diawasi oleh dewan pengawas. Fungsi penyadapan pun harus sepengetahuan dewan pengawas. SP3 mulai diberlakukan jika ditemukan perkara yang belum selesai selama setahun.  (mic/qn/jun/boy/eny/dah)

Enam poin ditolak Koalisi Dosen Unmul dalam revisi UU KPK:  

1. KPK akan ditarik menjadi bagian dari cabang kekuasaan eksekutif atau pemerintahan.

2. Kinerja KPK akan diawasi oleh badan baru yang diberi nama Dewan Pengawas.

3. Upaya penyadapan KPK, harus seizin Dewan Pengawas.

4. Mengintegrasikan KPK secara penuh ke dalam sistem peradilan pidana konvosional, sesuai dengan hukum acara yang berlaku.

5. Memberikan kewenangan kepada KPK untuk menerbitkan SP3 terhadap perkara yang tidak selesai, dalam jangka waktu satu tahun.

6. Mengebiri kewenangan KPK atas kontrol terhadap LHKPN. Menyerahkannya kepada setiap instansi, kementerian dan lembaga.

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: