Tak Jadi Berangkat karena Anak Rewel

Tak Jadi Berangkat karena Anak Rewel

Takdir tidak bisa dibeli, itulah yang Linus simpulkan, setelah mendengar kecelakaan yang terjadi pada pesawat Sriwijaya dengan kode penerbangan SJ-182 rute Jakarta-Pontianak. Dia nyaris menjadi salah satu korban.

Tanjung Redeb, RENATA ANDINI  Tanggal 9 Januari 2021, mungkin saja bisa menjadi peringatan hari kematian pria bernama lengkap Damang Linus ini. Dia adalah Co-founder CAN Borneo sekaligus warga Kampung Merasa Kecamatan Kelay, yang merupakan calon penumpang menuju Pontianak dengan pesawat komersial Sriwijaya SJ182/SJY182 rute Jakarta-Pontianak jenis Boeing 737-524 yang hilang kontak sekitar pukul 2 siang pada 9 Januari 2021 di perairan Kepulauan Seribu. Akibat tangisan anaknya, Rea Utama yang baru berusia satu bulan itu, sukses menggagalkan perjalanan Linus menuju Kabupaten Sintang, Pontianak. Padahal, tiket pesawat itu telah dipesan pada tanggal 8 Januari 2021, hari ketika mendengar kondisi paman kesayangannya tengah kritis di Sintang. Tidak sendirian, dia pun turut mengajak adiknya, Idol yang berada di pulau perantauan Sangalaki, jika pada tanggal 9 anaknya berhenti rewel akan berangkat. “Anak saya menangis tidak seperti biasanya, dikasih ASI oleh ibunya tidak kunjung diam, diayun oleh neneknya juga tetap menangis, saya tinggal juga menangis,” jelasnya kepada Disway Berau, Minggu (10/1). “Saya sempat memaksa adik saya untuk bersiap-siap, kalau saya tidak jadi berangkat di hari itu juga. Karena paman sangat penting di kehidupan kami,” tambahnya. Bahkan, sebelum tanggal 9 pun, Linus sudah menuju Tanjung Redeb, untuk melakukan tes rapid antigen dan memastikan dirinya siap berangkat. Sebelumnya, dia juga menyiapkan skema, jika dari bandara Berau lockdown lokal, ingin terbang langsung melalui Balikpapan. Tetapi dia memesan tiket rute Berau ke Jakarta dengan pesawat Lion Air dan berganti pesawat Sriwijaya di Jakarta menuju Pontianak. Sebab, berapapun jarak dan biayanya, Linus ataupun adiknya harus sekali bertemu dengan paman di Sintang. Paman yang akrab disapa Om Dot. Jika kemarin dia jadi berangkat dengan pesawat tersebut, Linus bisa saja mendampingi peristirahatan terakhir Om Dot, menjadi cerita duka di keluarganya dan masyarakat Kampung Merasa. Linus sedikit menceritakan tentang Om Dot yang selalu menyisakan kuah mi soto kepadanya, dan dia akan melahap habis dengan campuran nasi. Sehingga dia akan terbiasa untuk menunggu Om Dot menyantap mi soto itu, bersama kedua adiknya. “Memori kecil seperti itu yang mendorong saya untuk segera pulang menemui paman. Meski saya tidak ada, dia akan mencari saya untuk memberikan kuah itu,” ceritanya. Sebab, Om Dot yang meninggal pada 9 Januari, itulah juga yang menggagalkan usaha Linus untuk kembali ke Sintang. Apalagi, keluarga di sana mengabarkan, bahwa jenazahnya tidak bisa disuntik formalin, dan keluarga di Sintang sepakat untuk segera menguburnya. Tidak menunggu Linus ataupun adiknya datang terlebih dahulu. Pada saat itu, Linus berpikir bahwa waktu tidak bisa berpihak padanya. “Adik saya sempat saya paksa lagi, tapi dari Sangalaki tidak ada speed boat yang siap, kami berdua gagal pergi dan tiket saya batalkan, dan kami belum tahu informasi adanya pesawat jatuh,” jelasnya. Saat berita duka itu datang, Linus segera membuka laptop dan melihat riwayat pembatalan tiket tersebut. Barulah dia menyadari bahwa kode pesawat yang akan ditumpangi sama persis dengan pesawat Sriwijaya yang kecelakaan. Diakuinya dia merasa beku seketika, dan segera menghapus riwayat pemesanan dari browser laptopnya. Dia takut membuat trauma pada dirinya. Lantas, Linus merasa diberi sebuah kesempatan kembali oleh Tuhan. Dia berpikir, mungkin bisa jadi dirinya harus menjalani hidup dengan menanam kebaikan yang lebih, atau mungkin dirinya masih diperlukan di daerahnya, dibutuhkan oleh keluarganya bahkan oleh Kampung Merasa, atau oleh hutan-hutan dan satwa yang harus dijaga. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berpendar di kepalanya, begitu juga dengan memorinya bersama Om Dot. “Mungkin Tuhan masih sayang dengan saya, dan mungkin Om Dot meminta kepada Tuhan agar kami berkumpul di waktu yang tepat. Tidak di tanggal 9 Januari kemarin,” tuturnya. Setelah membatalkan tiket, Linus kembali tersadar, meskipun dia memiliki ongkos untuk pulang, tapi dia tidak bisa membeli takdir yang diberikan Tuhan.*app

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: