Menemui Pemilik Merek Rina Jengkol, Produknya Ramai Dijajakan di Jalan P Antasari, Samarinda

Menemui Pemilik Merek Rina Jengkol, Produknya Ramai Dijajakan di Jalan P Antasari, Samarinda

Ini pentingnya punya merek dagang. Lebih dikenal dan punya ciri khas.

Oleh : Michael F Yacob

JIKA Anda warga Samarinda. Atau sering bepergian ke Kota Tepian itu. Mungkin pernah lihat atau baca tulisan “Rina Jengkol”. Tepatnya di Jalan P Antasari. Tak hanya satu spanduk. Spanduk dengan tulisan yang sama juga terlihat di beberapa toko penjual jengkol di kawasan itu.

Jika diperhatikan. Memang sepanjang kiri dan kanan perempatan Jalan P Antasari banyak penjual jengkol tahi lala. Jengkolnya yang sudah direbus empuk. Dibalut bumbu warna putih kental. Terbuat dari santan dan gula. Rasanya manis-manis begitu. Cocok untuk makanan camilan saat perjalanan. Atau saat santai di rumah.

Lalu, siapa sebetulnya pemilik brand Rina Jengkol ini? Namanya sudah kesohor di dunia perjengkolan. Eh..maksudnya bagi penghobi jengkol tahi lala. Ya, makanan tradisional ini, dipercaya kaya akan manfaat bagi kesehatan tubuh.

DiswayKaltim.com mencoba menelusuri pemilk brand tersebut. Dari informasi penjual di kawasan itu, dapatlah nomor telepon Rina Jengkol. Sama dengan mereknya. Nama pemilik brand itu adalah Rina, ibu anak tiga. Kelahiran 12 Maret 1978. Suaminya bernama Iwan.

Sabtu (14/9/2019) DiswayKaltim.com berkunjung ke kediaman Rina di Jalan M Said. Anak ketiga dari enam bersaudara pasangan H Nain dan Hj Nursiah.

Rina tersenyum. Kemudian mempersilakan masuk. “Silakan masuk, Mas,” ujar Rina. Rumahnya hampir 100 persen terbuat dari kayu. Hanya dibelakang tampak di semen. Ruang tamunya lega. Terlihat satu unit motor matic terparkir di depan rumah. Tim Disway pun disambut teh hangat.

Rina mengaku meneruskan bisnis yang dikelola orangtuanya. Mulai menggeluti sejak 2002. Setelah ibunya meninggal. Pada tahun yang sama.

Tak hanya Rina. Kedua kakaknya juga mengikuti jejak sang ibu. Yang sudah berjualan jengkol tahi lala dari tahun 1997. Namun kedua kakaknya tak punya merek jualan. Sementara Rina sudah sadar akan pentingnya merek dagang. “Biar mudah diingat dan punya ciri khas,” katanya.

Ia mengaku. Pendapatan perharinya saat hari kerja bisa menjual 200 bungkus jengkol tahi lala. Per bungkus di banderol Rp 8.000. Tapi, harga jual di toko. Stan pinggir jalan itu. Bisa lebih tinggi lagi.

Penjualan biasanya meningkat pas weekend. Bisa seratus persen peningkatannya. Lebih dari 400 bungkus per hari.

“Untuk produksi jengkol ini, saya hanya mengerjakan berdua dengan keponakan saya. Per hari, biasanya, kami mengambil 100 kg sampai 200 kg Jengkol. Kalau keuntungan bersih kami ya sekitar Rp 300 ribu per harinya. Itu minimalnya. Bisa juga lebih,” jelasnya.

Ibu tiga anak itu mengaku, jengkol yang diproduksinya didapatkan dari berbagai daerah di Kaltim. Antara lain dari Bontang, Sangatta, Berau, dan Samarinda. Bahkan, tak jarang dirinya mengambil jengkol dari Sulawesi.

“Dimana ada jengkol dan kualitasnya bagus, pasti saya ambil. Kalau di Kaltim sudah tidak ada. Tidak musim. Saya ambil di Sulawesi,” bebernya.

Untuk memproduksi jengkol tahi lala butuh waktu sehari. Proses merebus jengkol itu bisa sampai 2 kali. Biar lembut.

Namun, hingga saat ini. Rina belum terpikir untuk mengembangkan bisnisnya itu. Apalagi membuka toko untuk berjualan jengkol. Ia merasa cukup dengan menitipkan kepada toko yang ada di Jalan P Antasari itu.

Sementara dua kakaknya punya wilayah jualan berbeda. Satu kakak berada di wilayah Samarinda Seberang.

Menurut Rina, produk hasil buatannya hampir sama saja dengan produk jengkol tahi lala buata lain. Kelebihannya, lebih lama berjualan. Banyak konsumen yang sudah kenal. Dan merasa nyaman dengan produk Rina Jengkol. (dah)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: