Kemenangan Biden Tak Kunjung Diakui
Berdasarkan sajian data yang sama, peta AS terlihat seimbang dalam warna biru, lambang Partai Demokrat pengusung Biden, dan warna merah, yang mewakili Partai Republik pengusung Trump. Namun secara popular vote pun, Biden tetap mengungguli Trump dengan selisih sekitar lima juta suara.
Sejauh ini Biden mendapat 75.196.516 suara atau 50,6 persen. Sedangkan Trump mengantongi 70.803.881 suara atau 47,7 persen dari total suara sah.
Malam hari setelah pengumuman keunggulannya tersebut, Biden dan pasangannya, Harris, menyampaikan pidato kemenangan di hadapan para pendukung mereka di Negara Bagian Delaware. Wilayah asal Biden.
“Injil mengatakan kepada kita bahwa selalu ada masa bagi setiap hal. Masa untuk membangun. Masa untuk menuai. Masa untuk menanam. Juga ada masa untuk pulih. Sekarang adalah waktunya untuk pulih bagi Amerika,” kata Biden yang disambut sorak sorai pendukungnya.
Sementara itu, Presiden RI Joko Widodo melalui akun media sosial resminya, telah menyampaikan selamat kepada Biden atas terpilihnya ia sebagai Presiden ke-46 AS. Disertai dengan unggahan foto keduanya tengah berjabat tangan.
“Selamat saya haturkan kepada @Joe Biden dan @KamalaHarris atas pemilihan yang bersejarah. Jumlah pemilih yang tinggi menjadi cerminan dari harapan terhadap demokrasi,” tulis Presiden Jokowi dalam bahasa Inggris pada sebuah cuitan di Twitter.
“Saya berharap dapat bekerja erat dengan Anda dalam memperkuat kemitraan strategis Indonesia-AS, serta mendorong kerja sama kita dalam bidang ekonomi, demokrasi, dan multilateralisme. Demi rakyat kedua negara,” kata Jokowi.
PENDEKATAN BERBEDA
Biden akan melakukan pendekatan yang berbeda sama sekali dari pendahulunya, Trump. Baik dalam konteks politik dalam negeri maupun internasional. Demikian proyeksi Ahmad Khoirul Umam, Pengamat Hubungan Internasional dari Universitas Paramadina.
“Kepemimpinan Biden akan menjadi evaluasi dan koreksi total atas pendekatan dan kepemimpinan yang dijalankan oleh Donald Trump,” kata Umam kepada Antara di Jakarta, Minggu.
Menurut Umam, Trump dalam empat tahun jabatannya telah menjadi seorang tokoh yang erratic atau sulit ditebak sikapnya, serta menampilkan karakter politik luar negeri yang nasionalistik, cenderung melihat ke dalam, dan “tidak terlalu menaruh respek pada nilai yang selama ini dipegang dalam tradisi politik AS.”
Evaluasi itu termasuk soal sikap AS dalam menjalin relasi multilateral. Misalnya dalam isu penanganan pandemi COVID-19, keamanan nuklir, juga respons global terhadap perubahan iklim.
Yang terbaru, di tengah situasi puncak pandemi pada awal Juli 2020, Trump menyatakan AS mengundurkan diri dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Setelah ia menuduh lembaga itu tidak transparan dan condong kepada China dalam menyikapi wabah.
Sebelumnya, pada 8 Mei 2018, Trump mengumumkan AS mundur dari perjanjian nuklir Iran, Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA), dan memilih menjatuhkan sanksi ekonomi kepada Iran. Suatu keputusan yang menjadi salah satu titik ketegangan AS-Iran hingga saat ini.
Dan hanya dalam waktu setahun setelah menjabat, tepatnya 1 Juni 2017, Trump mengumumkan bahwa AS akan menarik diri dari keikutsertaan pada Kesepakatan Paris--perjanjian negara-negara dunia untuk menanggulangi perubahan iklim dengan komitmen mengurangi emisi karbon yang diinisiasi pada 2015.
Berdasarkan ketentuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), AS harus menunggu hingga 4 November 2019 untuk memulai proses satu tahun sebelum akhirnya resmi keluar dari perjanjian tersebut pada 4 November 2020.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: