Indonesia dalam Pusaran Prahara (2)
OLEH: UFQIL MUBIN*
Penyematan nama Presiden Indonesia Jokowi pada sebuah jalan di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab (UEA), bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri. Ada motif ekonomi dan politik di balik peresmian nama jalan di negara yang terletak di Teluk Persia dan Teluk Oman itu. Secara ekonomi, pemimpin negara yang menganut sistem federal, emirat, dan kerajaan itu ingin mengamankan beragam kerja sama bisnisnya di Indonesia.
Di balik itu, ekspansi perekonomian UEA ke Indonesia tidaklah terlepas dari masalah internal negara tersebut. Juga beragam langkah kontroversial negara itu dalam percaturan politik regional dan global. Yang telah memaksa UEA mengeluarkan dana super jumbo. Untuk membiayainya.
Pertama, Abu Dhabi menghadapi masalah keuangan pasca merosotnya harga minyak di tengah pandemi corona. Penurunan harga minyak membuat ekonomi negara itu jatuh dalam lubang resesi. Ketergantungan yang berlebihan dari ekspor minyak turut berkontribusi pada masalah perekonomian yang menghimpit UEA.
Saat ini, UEA belum kunjung keluar dari ketergantungan yang berlebihan terhadap pendapatan dari ekspor minyak. Minyak berkontribusi nyaris 80 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. UEA membutuhkan harga minyak Brent US$ 70 per barel. Untuk membiayai kebutuhan dalam negerinya. Sementara dalam beberapa bulan terakhir, harga minyak tak sampai US$ 40 per barel. Permintaan dari para importir minyak pun cenderung turun. Akibatnya, terjadi defisit anggaran negara.
Kedua, perang berkepanjangan di Yaman membuat UEA mengeluarkan dana miliaran dolar. Intervensi militer yang gagal di negara yang berbatasan dengan Arab Saudi itu telah meninggalkan utang yang nilainya triliunan rupiah kepada Amerika Serikat (AS). Utang itu berasal dari pengisian bahan bakar alat-alat tempur milik UEA selama perang di Yaman.
Keterlibatan UEA dalam perang Yaman telah meninggalkan luka yang cukup dalam terhadap bangsa itu. Otoritas Abu Dhabi mengeluarkan setiap sen uang dari minyak yang dikeruk dari bumi. Untuk memiskinkan dan mematikan orang-orang yang tidak berdosa di Yaman. Selama bertahun-tahun perang antara koalisi Saudi-UEA, Yaman telah berubah menjadi lautan darah yang “dihisap” dari anak-anak yang kelaparan di negara termiskin di Arab itu.
Jika ditarik ke belakang, UEA juga melakukan intervensi terhadap perang saudara dan kudeta militer di Libya. Langkah itu ikut menyumbang masalah keuangan terhadap pemerintahan Abu Dhabi. Tetapi misi ekonomi UEA di Libya tidak berjalan mulus. Biaya yang dikeluarkan dalam intervensi militer untuk menggulingkan Muammar Khadafi itu nilainya miliaran dolar. Sementara pendapatan negara tak cukup mampu menutupi biaya pembelian peralatan militer. Yang telah dibeli dan disediakan selama bertahun-tahun.
Ketiga, kehidupan pejabat negara yang hedonistik. Hal itu dicontohkan oleh Pangeran Sheikh Mohammed Bin Zayed al-Nahyan (MBZ). Kekayaannya yang berjumlah ratusan triliun didapatkan dari bisnis dan peninggalan ayahnya, Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan. Sehingga ia bisa memiliki kapal pesiar dan disebut-sebut pernah berkeinginan membeli salah satu pulau di Indonesia.
Kehidupan yang disertai dengan memewahan dari pejabat negara ini tak dapat disebut hak individual. Ia mempengaruhi struktur ekonomi negara dan pemerintahan. Sebagaimana kehidupan pejabat yang sederhana juga ikut mempengaruhi efisiensi keuangan negara. Begitu pula dengan kehidupan pejabat yang setiap langkahnya dapat menghabiskan anggaran negara.
PASAR POTENSIAL
Salah satu alasan mendasar Pemerintah UEA melakukan ekspansi investasi di Indonesia adalah diversifikasi ekonomi. Abu Dhabi ingin keluar dari ketergantungan yang berlebihan terhadap minyak. Yang akhir-akhir ini menyeret negara itu dalam jurang resesi.
Karena beberapa alasan di atas, UEA memperkuat hubungannya dengan Indonesia. Dalih bahwa UEA ingin berkontribusi terhadap bangsa ini karena memiliki kesamaan dari segi keagamaan penduduk tak bisa sepenuhnya diterima oleh akal sehat. Ia hanyalah bumbu diplomasi dalam menyentuh sisi emosional bangsa yang mayoritas beragama Islam ini. Motif politik dan ekonomilah yang kuat melatarinya.
Itu pula yang membuat UEA menancapkan beragam investasinya di Indonesia. Negara yang memiliki penduduk 9,9 juta jiwa itu menyasar beragam bisnis dan investasi di Tanah Air. Baik dari sektor pembangunan infrastruktur, pertanian, retail, maupun migas.
Atas dasar itu, keterlibatan dalam pembangunan ibu kota negara (IKN) di Kalimantan Timur juga tidak terlepas dari misi tersebut. Investasi UEA senilai Rp 312 triliun yang disepakati bersama Jokowi pada awal tahun ini adalah salah satu upaya negara itu masuk dalam berbagai bidang ekonomi bangsa ini.
Saya melihat upaya UEA melakukan investasi di Indonesia sebagai bagian yang tak dapat dipisahkan dari keberadaan pasar potensial di Tanah Air. Penduduk Indonesia yang berjumlah 268 juta jiwa adalah pasar potensial bagi produk-produk retail dan migas yang ingin dibangun UEA.
POSISI INDONESIA
Hubungan ekonomi Indonesia dan UEA adalah bagian dari langkah yang tidak berbanding lurus dengan kebijakan luar negeri negara ini. Politik luar negeri yang mengusung gerakan non-blok yang disuarakan Sukarno acap kali disalahgunakan dalam pelaksanaannya saat ini. Singkatnya, di saat Indonesia menerima pinangan investasi dari UEA, maka hal itu sama saja mencederai hubungan negara ini dengan Palestina yang menentang keras normalisasi hubungan Abu Dhabi dengan Tel Aviv.
Di sisi lain, pemberian karpet merah bagi investasi UEA di Indonesia sama saja mengamini langkah para pemimpin kerajaan itu melakukan serangan dan intervensi militer ke negara-negara di kawasan Timur Tengah dan belahan dunia lainnya. Pada titik tertentu, ketika menguatnya hubungan UEA dengan Indonesia, dan suatu saat terjadi konflik dalam negeri yang merugikan bisnis Abu Dhabi, bukankah tidak menutup kemungkinan pula bagi negara itu melakukan intervensi terhadap masalah dalam negeri Indonesia?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: