“Kita Bisa Satu Juta Barel”
Mimpi satu juta barel menjadi jalan mewujudkan ketahanan energi nasional. Kendati ada tantangan, peluang dan risiko yang mesti dikelola. SKK Migas meramunya dalam Transformasi Renstra IOG 4.0.
Darul Asmawan, Balikpapan, Disway Kaltim nomorsatukaltim.com Pukul 22.30 wita. Telepon Benny berdering. Di ujung telepon, Andri Pratomo, kawannya yang sedang bekerja sif malam memberi kabar. Dua pekan lagi akan ke Balikpapan. Dari lokasi kerjanya di Samboja, Kutai Kartanegara. Untuk beberapa hari ia akan singgah. Sekaligus bersilaturahmi sebelum pulang ke Jogjakarta. Andri, pria berperawakan sedang penghobi mobil klasik itu sudah 7 bulan jauh dari keluarga. Menjalani aktivitasnya sebagai engineer pengeboran. Bertugas di Samboja sejak April lalu. Kala angka penularan COVID-19 sedang naik-naiknya. Karena “tugas negara” memanggil. Ia mau tak mau harus tetap berangkat. Meski ketakutan wabah pagebluk menghampiri. Dilakoni demi periuk tetap ngebul. Panggilan bekerja ke tanah Borneo harus dijalani. Perusahaan tempatnya bernaung membekali dengan serangkaian tes sebelum berangkat. Itu juga menjadi syarat bisa bekerja di lokasi yang dituju. Di areal pengeboran milik PT Pertamina EP Asset 5. Tentu PEP juga punya serangkaian tes lagi sebelum pekerja yang masuk dinyatakan aman. Terbebas dari penularan virus corona. Rapid dan swab test mutlak. Berikut dengan karantina dan pemantauan kondisi kesehatan setiap harinya. Bukannya tidak ada kesempatan pulang. Setiap selesai mengebor satu sumur, Andri dan pekerja lainnya punya waktu libur. Sembari menunggu job berikutnya dimulai. Namun karena kondisi pandemi, ia lebih memilih tidak pulang. Menetap dan menjalani karantina mandiri di sebuah hotel di Kota Minyak. Bersama tiga kawan lainnya. Tentu semua tetap dibiayai perusahaannya. Yang juga menuruti keinginannya untuk tidak pulang. “Ah, kondisi begini lebih baik cari aman saja. Daripada dalam perjalanan tertular corona. Ya buat jaga-jaga saja. Istri dan anak juga maklum,” sebutnya. Industri hulu migas memang salah satu sektor yang tidak bisa berhenti. Meski terdampak dari segala sisi akibat virus yang disebut berasal dari Wuhan, China itu. Pemenuhan akan kebutuhan energi tidak bisa ditawar. Menemukan dan mengangkat minyak mentah atau gas dari perut bumi harus tetap dilakukan. Demi menjaga ketahanan energi negeri. Cerita Andri satu dari sekian tantangan hulu migas saat ini. Yang berada dalam bayang-bayang pagebluk. Hal ini bisa menganggu target produksi. Target lifting. Dan rentetan dampak-dampak lainnya. Apalagi, sejak awal 2020, mimpi besar memproduksi 1 juta barel oil per day (BOPD) digaungkan. Di sisi lain, seperti diketahui, Indonesia mengalami kecenderungan penurunan produksi minyak bumi (decline) cukup signifikan. Di saat kebutuhan domestik akan energi terus meningkat. Sejalan dengan laju perkembangan industri dan lonjakan populasi. Pemerintah tak mau tinggal diam. Melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), disusunlah mimpi besar bernama Transformasi Rencana Strategis Indonesia Oil and Gas 4.0 (Renstra IOG 4.0). Sebagai jembatan menuju target memproduksi minyak 1 juta barel minyak per hari (Barell oil Per Day/BOPD). Dan produksi gas 12 juta barel standar kaki kubik per hari (Milion Metric Standar Cubic Feet per Day/MMscfd) pada 2030. Bagaimana kisah lahirnya cita-cita besar ini? Bagaimana pula peluang dan tantangan hingga progresnya saat ini? Memang, kemampuan memenuhi kebutuhan energi adalah wujud kedaulatan dan kemandirian suatu bangsa. Sedangkan minyak bumi, masih menjadi komoditas dominan. Sebagai tumpuan pemenuhan kebutuhan energi nasional. Di sektor ini, Indonesia sebenarnya memiliki sejarah panjang. Yang membuktikan bahwa negara ini pernah swasembada. Indonesia mengalami puncak produksi minyak pada 1977. Kemudian terulang pada 1991. Dengan 1,7 juta BOPD minyak yang diproduksi. Terakhir Indonesia menghasilkan 1 juta BOPD pada 2006. Setelah melalui perjalanan panjang dengan beragam dinamika, Indonesia kini hanya mampu memproduksi minyak di kisaran 700 ribu BOPD. Hal ini menyebabkan status negara net-eksportir di sektor minyak, berubah menjadi net-importir sejak 2004. SKK Migas kemudian berakrobat untuk meningkatkan produksi migas dalam negeri. Membaca peluang dan tantangan yang dihadapi. Hingga lahirlah target mengulangi kejayaan sektor migas. Dengan memproduksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 MMscfd pada 2030 itu. Asa Transformasi Renstra IOG 4.0 merupakan buah pikir dari Kepala SKK Migas, Dwi Soetjipto. Dalam Buletin Bumi (bulletin milik SKK Migas) pada Juli lalu, ia mengungkapkan, untuk membangun masa depan harus ada keberanian membangun harapan. Dan harapan dibangun dari mimpi. Berangkat dari prinsip mendasar tersebut, Dwi mengajak para insan di lembaga yang dipimpinnya itu untuk membangun mimpi. Maka kemudian dikumpulkanlah para ahli. Melakukan diskusi-diskusi dan perhitungan-perhitungan. Lalu muncul keyakinan, “Kita bisa satu juta barel,” ungkapnya saat itu. Dari pemikiran-pemikiran tersebut, lahirlah Rencana Strategis Indonesia Oil and Gas 4.0 (Renstra IOG 4.0). Sebagai road map mewujudkan asa memproduksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 MMscfd. Serta diharapkan mampu meningkatkan multiplier effect, dan menjaga lingkungan yang berkelanjutan. SKK Migas membentuk transformation office team mengeksekusi ini. Tim ini dikukuhan Maret 2020. Kemudian segera bergerak cepat, mematangkan konsep Renstra IOG 4.0. Pada Juni 2020 kick off tanda dimulainya proses transformasi itu dilakukan. Transformasi Renstra IOG 4.0 adalah perubahan paradigmatik yang fundamental. Mencakup banyak hal. Di antaranya cara pandang, cara dan sistem kerja, proses bisnis, teknologi dan budaya kerja. “Kalau tidak begitu ambisi tidak akan tercapai,” kata Hery Margono, yang ditunjuk Dwi memimpin operasional harian tim transformasi tersebut.Transformasi Renstra IOG 4.0
SKK Migas berperan sebagai driving force. Memaksimalkan potensi besar. Melibatkan seluruh stakeholders industri migas nasional. Demi mencapai target tersebut. Untuk menjalankan langkah progresif transformasi tersebut, SKK Migas menetapkan 10 pilar. Terdiri dari enam pilar utama dan empat pilar enabler. Yang diturunkan menjadi 22 program charter dengan 80 target dan 200 action plan. Enam pilar utama yang didefinisikan sebagai kerangka kerja strategis IOG 4.0. Yaitu mempertahankan dan meningkatkan nilai aset, transformasi konversi penemuan sumber daya, meningkatkan recovery factor melalui Enhanced Oil Recovery (EOR), mengembangkan potensi eksplorasi; road to giant discovery. Kemudian melaksanakan program peningkatan daya saing pemasok nasional dan mendorong program decommissioning yang efisien dan kolaboratif. Sedangkan substansi dari empat pilar enabler ialah; people, process, Technology. Jika diturunkan maka rumusannya demikian; untuk memperkuat nilai organisasi akan ditopang oleh pilar enablers peningkatan peran dan kapabilitas SKK Migas. One Door Seevice Policy (ODSP) dan investasi akan menopang komersialisasi potensi yang ada dan digitalization berupa adopsi teknologi. Rangkaian transformasi dengan 10 pilar dan enablers ini diproyeksi untuk melahirkan keluaran berupa produksi minyak 1 juta barel per hari dan gas 12 MMbscfd pada 2030. Juga meningkatkan multiplier effect serta memastikan keberlanjutan lingkungan dan HSSE. Dalam outlook 2020 SKK Migas, menuju target besar itu akan melalui empat tahapan. Yakni, mempertahankan tingkat produksi eksisting yang tinggi, transformasi sumber daya ke produksi, mempercepat chemical EOR dan eksplorasi untuk penemuan besar. Transformasi IOG 4.0 akan mengubah paradigma dan cara kerja di sektor hulu migas. Tidak hanya di internal SKK Migas, tapi melibatkan pemangku kepentingan di sektor hulu. Dan SKK Migas sebagai driving force.Potensi, Tantangan dan Ambisi dari Turki
Target produksi ini bukan sekadar target ambisius semata. Pemerintah melalui SKK Migas dan seluruh stakeholders hulu migas melihat potensi yang cukup menjanjikan. Untuk meyakinkan dan memberanikan diri menyusun langkah-langkah strategis ke depan. Di antara potensi di depan mata itu ialah Indonesia memiliki total 128 cekungan. Yang sejatinya adalah tempat terendapkannya hidrokarbon atau minyak dan gas bumi. Dari 128 cekungan itu, baru 20 cekungan yang telah berproduksi saat ini. Sebanyak 27 cekungan masih berupa penemuan yang belum diproduksi, 13 cekungan belum ada penemuan sama sekali. Dan 60 cekungan belum dibor. Ke depan, ada 12 area potensial yang menjadi fokus eksplorasi untuk mewujudkan penemuan cadangan besar seperti yang ditargetkan. Pekerjaan untuk menemukan cadangan migas memerlukan kesungguhan dan keberanian. Selain biaya besar dan proses yang panjang. Disway Kaltim pekan lalu menemui Berry Moris. Seorang mahasiswa tingkat akhir pada salah satu perguruan tinggi di Kalimantan. Ia baru-baru ini terlibat dalam sebuah misi eksplorasi. Melalui sebuah program kerja sama. Antara kampus tempatnya kuliah dan perusahaan kontraktor jasa survei dan pemetaan geologi. Mahasiswa perminyakan itu, mengaku berada di pelosok Kalimantan selama kurang lebih dua bulan. Untuk memetakan potensi migas dengan memasang peralatan pengendus hidrokarbon di ratusan titik dan mencakup wilayah lintas provinsi. Ia melakukan eksplorasi tingkat lanjut untuk mendetailkan bukti-bukti keberadaan potensi minyak dan gas bumi di sebuah cekungan. Sederhananya, menguji anomali hidrokarbon pada sebuah lapangan baru. Yang sebelumnya telah melalui proses survei seismik. "Eksplorasi yang kami lakukan adalah eksplorasi mengarah ke detail, untuk membuktikan ada atau tidak minyak bumi di wilayah tersebut," paparnya. Menurut Berry, metode eksplorasi yang dilakukannya itu, masih terbilang baru untuk eksplorasi minyak dan gas bumi. Yaitu metode survei geokimia. "Geokimia adalah penggabungan antara disiplin ilmu geologi dengan disiplin kimia," ungkapnya. Teknologi yang digunakan yakni modul geokimia microseepage. Yang prinsip kerjanya mendeteksi keberadaan hidrokarbon dari permukaan. Dengan mengandalkan sensitivitas aroma dan kontak alat tersebut dengan lapisan batuan permukaan. Teknologi ini, kata dia, belum banyak digunakan dalam proses mencari minyak dan gas bumi. Sebab selain biayanya mahal, hanya ada satu laboratorium yang mampu mengaplikasikan Amplifed Geochemical Imaging di Indonesia. Dia bercerita, mengenai tantangan yang ditemui dalam keterlibatannya melakukan misi mencari emas hitam di pedalaman Kalimantan. Yang utamanya adalah soal medan. Apalagi di tengah hutan Pulau Kalimantan. Yang masih cenderung terisolasi, dan kontur alam yang kurang bersahabat. Sehingga, membutuhkan mental baja, fisik yang kuat serta kemampuan ilmu medan, navigasi dan survival. Selain paham mengenai metode eksplorasi itu sendiri, sebutnya. Terutama daerah yang disurvei itu, katanya, memiliki kondisi hutan yang masih primer. Mau tidak mau tim survei membuat jalur rintisan sendiri. Syukur jika ada sungai untuk disusuri sebagai jalan alternatif. "Penguasaan terhadap daerah yang dituju sangat penting sebagi modal. Apalagi kalau masuk ke pedalaman mesti mengikuti budaya dan kultur setempat," terang Berry. Ada dua daerah dengan tingkat kesulitan melakukan eksplorasi cukup tinggi di Indonesia. Yaitu Sumatera dan Kalimantan. Kesulitan itu menurutnya meliputi kondisi geografis, budaya, pemahaman dan tingkat penerimaan masyarakat. Dalam pandangan Berry, eksplorasi mencari cadangan migas, bukan pekerjaan praktis. Menemukan cadangan migas tidak semudah bayangan orang awam. Eksplorasi migas butuh waktu bertahun-tahun. Banyak proses yang mesti dilakukan. Yang semuanya bermula dari menganalisa potensi cekungan, sebagai langkah awal. Setelah itu, jika ditemukan ada indikasi hidrokarbon, masih banyak tahapan eksplorasi lanjutan yang mesti dilakukan. Untuk benar-benar membuktikan keberadaan migas yang diinginkan. Dia juga mengatakan, bahwa cadangan migas terbukti Indonesia saat ini ada di wilayah barat. Sehingga, wilayah Indonesia timur yang katanya lebih prospek saat ini. Meskipun, kondisi geografis dan kelengkapan infrastruktur di wilayah ini masih menjadi kendala tersendiri bagi para pencari sumber cadangan migas. "Cadangan minyak Indonesia terlihat sedikit, karena memang belum semua dieksplorasi. Karena pekerjaan melakukan eksplorasi membutuhkan biaya besar, tantangan yang besar dan waktu yang panjang. Butuh kajian dan riset mendalam," jelasnya. Oleh karena itu, Berry berpendapat, butuh keseriusan dan usaha keras untuk mewujudkan mimpi Indonesia memproduksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 MMscfd pada 2030. Memang berat, katanya, namun asa itu akan tetap ada. "Kita hanya perlu melakukan sebanyak-banyaknya eksplorasi pada sejumlah cekungan yang masih belum tersentuh dan wilayah-wilayah prospek lainnya. Cerita menggembirakan dalam penemuan cadangan gas, datang dari Turki tahun ini. Setelah kapal pengeboran lepas pantai (Drillship) miliknya; Fatih, berhasil menemukan cadangan gas besar di Laut Hitam (Black Sea). Ini tentu menjadi kebanggan tersendiri bagi Turki yang tengah berupaya keras mencari cadangan gas bumi. Agar terlepas dari ketergantungan pasokan gas dari negara lain. Dian Suluh, salah satu pekerja asal Indonesia, yang bekerja di kapal Fatih, bercerita kepada Disway Kaltim. Tentang bagaimana proses penemuan cadangan gas sebesar 320 miliar meter kubik itu. Dian Suluh adalah pemuda asal Balikpapan. Lulusan STT Migas Balikpapan. Yang sudah memiliki pengalaman bekerja di industri migas selama sepuluh tahun. Ia pernah bekerja di bidang yang sama selama enam tahun lebih di Indonesia. Kemudian di Arab Saudi selama setahun. Dan saat ini ia menjadi operator wireline logging di kapal eksplorasi milik Turki. "Turki memang cukup berambisi menemukan cadangan gas. Ingin bangkit di tahun-tahun ini. Turki ingin memenuhi kebutuhan gasnya secara mandiri agar tidak bergantung pada negara lain," kata Dian, ditemui di Balikpapan, Sabtu (24/10/2020) lalu. Ambisi itu, lanjut dia, coba dijawab oleh sebuah perusahaan pelat merah Turki. Yang bergerak di bidang eksplorasi minyak dan gas bumi. Dengan mengerahkan dua kapal pengeboran lepas pantai ke Laut Mediterania. Dua kapal itu adalah Yavuz dan Fatih. Selama berbulan-bulan kedua kapal tersebut mengebor beberapa sumur di Laut Mediterania. Namun, cadangan gas yang ditarget belum kunjung ditemui. Bersamaan dengan itu, eskalasi konflik di Laut Mediterania mulai meningkat. Akhirnya kapal Fatih diperintahkan untuk bergeser ke Laut Hitam (Black Sea). Fatih kemudian mulai melakukan pengeboran di Black Sea. Sumur pertama memakan waktu 3-4 bulan. "Ini lebih lama dari biasanya. Padahal umumnya satu sumur hanya di-schedule satu bulan. Sebabnya, saat itu ada satu peralatan logging baru yang coba digunakan. Penggunaan alat ini memang spesial, ditarget untuk mewujudkan ambisi menemukan cadangan gas," ujar Dian. Wireline logging adalah salah satu jenis pekerjaan dalam operasi pengeboran. Yang bertugas melakukan sampling, menguji sampel pasir, sampel batuan dan material lainnya dari proses logging. Untuk mendeteksi kandungan mineral, termasuk gas, di sumur yang tengah dibor. Peralatan logging yang digunakan saat itu adalah alat baru, ucap Dian. Itu pula yang membuat operator wireline logging bekerja lebih ekstra dan lama ketimbang job desk lainnya, selama pengeboran sumur tersebut. Tentu saja untuk mempelajari alat baru itu. Kebetulan alat itu membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan sampling. Terbukti, saat pengeboran pertama itulah, dengan alat itu pula, Fatih menemukan ladang gas, di Sumur Tuna-1, 100 mil dari lepas pantai utara Turki. Yang pengumumannya dilakukan langsung Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan 21 Agustus 2020 lalu. "Turki memang hanya fokus ingin mencari dan menemukan gas. Makanya penemuan itu disambut gembira. Heboh. Apalagi jumlahnya besar," jelasnya. Lantas, media ini menanyakan pelajaran yang bisa dipetik dari keberhasilan Turki menemukan cadangan gas tersebut. Menurutnya, Indonesia tidak kalah bersaing dengan Turki dalam hal ini. Baik dari sisi teknologi maupun SDM. "Indonesia tidak kalah canggih dan tidak kalah pintar dari Turki," imbuhnya. Tingkat kesulitan secara geografis juga dinilai sama. Malah Turki memiliki kedalaman laut sampai 4.800 meter. Dari pengalamannya melakukan pengeboran lepas pantai di Indonesia paling maksimal 2.000-an meter. Dian mengetahui Indonesia juga tengah mendorong peningkatan eksplorasi untuk mempertahankan decline rate produksi migas. Dan berupaya mencapai target satu juta barel pada 2030. Ia memiliki keyakinan bahwa ada peluang untuk mewujudkan mimpi itu. Dengan mengamati iklim perburuan sumber cadangan migas di Indonesia saat ini. Hanya saja, dia berpandangan, memang mesti ada keberanian dari pemerintah, untuk memodali usaha mencari migas yang penuh risiko. "Kalau eksplorasi kan bener-bener dari awal. Memang tidak ada kepastian menemukan cadangan. Intinya mau mencoba. Memang, kadang dapat, kadang tidak," tuturnya. Selain itu, ia sepakat perlunya transformasi soal budaya kerja. Dan perlu peran lebih pemerintah. "Kita kerja nothing to lose saja. Sesuai program. Hasilnya seperti apa, itu urusan nanti." Mengenai daya saing sumber daya manusia (SDM) menurutnya Indonesia sangat bisa bersaing. Buktinya, dari ratusan pekerja di kapal Fatih, 20 di antaranya berasal dari Indonesia. Dian mengatakan, pekerja Indonesia di sana, diakui secara mental, attitude, kemampuan adaptasi serta keterampilannya dalam bekerja. "Orang indonesia cepat mengatasi masalah. Makanya disenangi dan dihargai banget," pungkas Dian Suluh. * Sementara itu, meski menghadapi tantangan berat di tengah pandemi, Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto optimistis bisa mewujudkan mimpinya itu. Walau tantangan yang ada tetap harus diperhitungkan dan di-manage dengan baik. Dari pembacaan SKK Migas dalam outlook 2020, tantangan hulu migas saat ini yang pertama ialah pandemi COVID-19, kedua harga minyak rendah, penyesuaian harga gas bumi, dinamisnya pasar LNG, rendahnya serapan gas domestik dan sektor migas bukan lagi penyumbang terbesar penerimaan negara. Tantangan lainnya yaitu sulitnya memperoleh investasi di bidang industri padat modal ini. Menurut SKK Migas, iklim investasi yang diinginkan pelaku bisnis ialah adanya kepastian hukum, keterbukaan data, fleksibelitas sistem fiskal, tax yang bersaing serta insentif dan penalti. Oleh karenanya, strategi peningkatan investasi di hulu migas yang direncanakan dalam Renstra IOG 4.0 adalah; yang pertama memaksimalkan open data dan promosi open area yang masif. Mempertahankan keekonomian wilayah kerja, melakukan efisiensi biaya capex dan opex. Serta menerapkan OSDP. Masih dalam data outlook SKK Migas 2020, dijelaskan progres transformasi berjalan, sepanjang semester I 2020, OSDP telah berhasil mempercepat proses rekomendasi perizinan dari rata-rata 14 hari kerja menjadi 3,4 hari kerja. Terdapat 40 Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) yang sudah melakukan koordinasi melalui OSDP. Terdiri dari KKKS eksplorasi dan eksploitasi. Koordinasi itu berupa konsultasi dan pengurusan. Sistem digitalisasi dengan Integrated Operation Center (IOC) juga telah mendorong pemberian keputusan yang lebih cepat, efektif, dan efisien. Yang berdampak pada penghematan biaya operasi.Kondisi Produksi saat Ini
Dalam laporan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), pada 17 Juli 2020, yang dimuat di Buletin Bumi edisi Juli 2020, kinerja kegiatan usaha hulu migas sepanjang semester I 2020, tergambar dengan angka produksi minyak sebesar 720,2 ribu BOPD. Dan produksi gas sebesar 6.830 juta standar kaki kubik per hari (MMscfd). Sementara itu, realisasi lifting minyak pada periode yang sama hanya mencapai 713,3 BOPD. Masih di bawah atau 94,5 persen dari target APBN sebesar 755 ribu BOPD. Dengan lifting salur gas sebanyak 5.605 MMscfd, atau 84 persen dari target APBN, 6.670 MMscfd. Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto saat itu mengatakan, lifting minyak masih dapat diupayakan mendekati target APBN. Namun tidak demikian dengan target lifting gas, yang cenderung sulit dicapai. “Penurunan harga gas untuk industri yang efektif telah diberlakukan agar dapat meningkatkan serapan gas, belum mampu memberikan dampak optimal,” katanya. Pandemi COVID-19 dianggap telah menyebabkan penurunan kegiatan industri dan kelistrikan. Dan pada akhirnya menyebabkan penurunan penyerapan gas oleh end user. Dwi menyebut, pandemi memberi dampak secara nyata pada usaha hulu migas. Namun demikian pihaknya bekerja sama dengan KKKS membuat terobosan-terobosan untuk mendukung pencapaian target produksi 1 juta barel per hari pada 2030. Pandemi ini telah membuat pengerjaan beberapa proyek hulu migas terhambat. Termasuk megaproyek yang masuk dalam daftar proyek strategis nasional (PSN), seperti diakui Pelaksana Tugas Kepala Divisi Program dan Komunikasi SKK Migas, Susana Kurniasih dalam Buletin Bumi edisi Juli. Dia menyebut, pihaknya harus melakukan eksplorasi untuk menemukan cadangan baru. Sebab cadangan yang siap untuk diproduksikan saat ini sudah tidak banyak lagi. Salah satu treatment untuk mendorong eksplorasi ini ialah melalui penggunaan dana Komitmen Kerja Pasti (KKP). “KKP akan dikejar SKK Migas kalau KKKS tidak melakukan eksplorasi,” ucap Susana.Harapan di Indonesia Timur
Menurut Kukuh Jalu Waskita, akademisi sekaligus praktisi di bidang migas, tantangan pemerintah untuk bisa mendapatkan angka produksi minyak 1 juta BOPD dan gas 12 MMscfd di 2030 sangat berat. "Diakui banyak pihak, berat. Walaupun ada sedikit optimisme dan harapan ini bisa dicapai," katanya, kepada Disway Kaltim, Jumat 30 Oktober 2020. Analisis Kukuh mendalam mengenai realitas di lapangan. Bahwa sangat berat karena angka produksi migas Indonesia dari tahun ke tahun secara alami akan mengalami decline atau penurunan. Yang merupakan hal lumrah menurutnya. Karena kemampuan reservoir yang ada sekarang, untuk berproduksi kian hari makin berkurang. Mengenai strategi, ia berpandangan, untuk bisa mencapai target ambisius itu, tidak bisa hanya berharap lapangan pengembangan yang ada saat ini. Yakni blok-blok existing yang masih cukup besar produksinya. Seperti Blok Cepu, Blok Rokan dan Blok Mahakam. Hingga beberapa blok yang masih bisa ditingkatkan produksinya seperti Blok Natuna, Blok Tangguh, Blok Sangasanga dan beberapa blok lain. "Blok-blok tersebut yang saat ini harus secara masif melakukan pengembangan dengan penambahan sumur-sumur development baru," ujar pengajar mata kuliah Petropyhisics di STT Migas Balikpapan ini. Namun, lanjut dia, upaya pengembangan lapangan untuk mempertahankan produksi belum akan cukup. Perlu ada upaya lain. Yakni eksplorasi yang masif. Terutama di Indonesia bagian timur. Indonesia bagian timur dinilai memiliki prospek masa depan bagi cadangan migas Indonesia. Sebab di wilayah itulah yang belum banyak dilakukan eksplorasi maupun eksploitasi, seperti hal-nya di Indonesia bagian barat. Dan tantangannya tentu butuh modal yang besar. Dengan risiko yang tinggi. Ia bercerita, dulu, modal dan risiko yang tinggi itu masih banyak ditanggung oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) asing yang memegang kontrak. Namun, kondisi sekarang berbeda. Banyak blok-blok yang sebelumnya dikelola KKKS asing, kini diambil alih oleh BUMN migas: Pertamina. Sehingga, katanya, negara melalui Pertamina harus lebih berani melancarkan eksplorasi, seperti yang dilakukan KKKS asing. Termasuk pada lapangan-lapangan offshore laut dalam. Tidak hanya di onshore atau darat. Terakhir, Kukuh menyatakan, bahwa harapan juga ada di kegiatan Enhanced Oil Recovery (EOR). Yang berpotensi besar membantu meningkatkan produksi. "Tantangannya lagi-lagi sama, yakni masalah di biaya. Teknologi EOR ini masih dirasa terlalu mahal dalam kondisi saat ini. Jadi peluang ini bisa tercapai jika harga minyak tidak fluktuatif rendah seperti sekarang," tutupnya. (eny)Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: